Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembangunan Dermaga dan Pasar yang Ramai
Pagi itu, di Rivendale, suara ketukan palu dan derak kayu memenuhi udara di tepi sungai. Proyek pembangunan dermaga yang dirancang untuk mendukung aktivitas perdagangan baru dengan kota Silverhorn mulai menunjukkan kemajuan besar. Para pekerja, baik tukang kayu maupun insinyur lokal, bekerja tanpa henti, memasang tiang pancang besar yang akan menjadi fondasi dermaga baru.
Lord Adric berdiri di tepi dermaga, memantau pekerjaan dengan wajah serius. Di sampingnya, Lady Eleanor mencatat perkembangan proyek, memastikan bahwa anggaran tetap sesuai rencana.
“Dermaga ini akan menjadi nadi perdagangan kita,” ujar Lord Adric. “Dengan dermaga yang kuat dan terorganisir, pengiriman barang ke Silverhorn dan kota-kota lain akan jauh lebih efisien.”
Lady Eleanor mengangguk. “Dan dengan pasar yang semakin ramai, dermaga ini juga akan menjadi pintu masuk bagi para pedagang dari berbagai penjuru.”
Di alun-alun kota, pasar Rivendale kini menjadi pusat aktivitas yang tak pernah sepi. Para pedagang membuka lapak mereka sejak pagi, menawarkan berbagai barang mulai dari gandum, sayuran segar, hingga wol dari Silverhorn. Namun, daya tarik utama pasar Rivendale adalah tanaman obat yang dihasilkan dari kebun-kebun herbal di sekitar kota.
Rea, yang kini menjadi ahli herbal terkenal di kota itu, sering terlihat di pasar memberikan nasihat kepada para pembeli. “Daun ini sangat baik untuk mengobati demam,” katanya kepada seorang ibu yang membeli seikat daun hijau. “Dan ini,” tambahnya sambil menunjuk akar kering, “dapat membantu memperbaiki pencernaan jika diramu dengan benar.”
Kelan, yang bertugas mengatur keamanan pasar, berdiri di salah satu sudut, memastikan bahwa aktivitas perdagangan berjalan lancar. Dia sesekali berbincang dengan para pedagang, menanyakan apakah ada keluhan atau masalah yang perlu diselesaikan.
“Kelan, pasar ini semakin ramai saja,” ujar seorang pedagang gandum sambil mengatur karung-karung dagangannya. “Aku mendengar ada pedagang dari kota lain yang ingin menetap di sini.”
“Itu tanda baik,” jawab Kelan dengan senyum kecil. “Tapi kita harus memastikan semua tetap tertib. Rivendale akan menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk semua orang.”
Di luar kota, kebun-kebun herbal Rivendale tumbuh subur, memanfaatkan sistem irigasi baru yang dibangun setahun lalu. Penduduk desa yang dulu hanya menanam sayuran kini juga menanam berbagai jenis tanaman obat seperti lavender, mint, chamomile, dan echinacea. Kebun-kebun ini menjadi salah satu aset terbesar Rivendale, menarik perhatian pedagang dari kota-kota lain yang mencari bahan baku untuk ramuan obat.
“Tanaman obat ini telah mengubah Rivendale,” ujar Lady Eleanor dalam sebuah pertemuan di balai kota. “Bukan hanya sebagai sumber penghasilan, tetapi juga sebagai identitas baru kita. Rivendale dikenal sebagai kota penghasil herbal terbaik di seluruh wilayah.”
Lord Adric menambahkan, “Dengan dermaga baru, kita dapat memperluas jangkauan perdagangan kita. Kita akan menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan berbagai kota di wilayah ini.”
Pasar Rivendale menjadi simbol kemakmuran dan kerja keras penduduknya. Orang-orang dari berbagai latar belakang berdagang, berbincang, dan saling bertukar cerita, menciptakan kehidupan kota yang penuh warna.
Ketika matahari mulai terbenam, dermaga baru yang hampir selesai terlihat megah di tepi sungai, seolah-olah menyambut masa depan yang cerah bagi Rivendale. Kota ini, yang dulunya hanya dikenal sebagai desa kecil, kini telah berubah menjadi pusat perdagangan dan penghasil tanaman obat yang diakui di seluruh wilayah.
Sore itu, sinar matahari musim semi menerangi langit Rivendale dengan hangat. Di lokasi pembangunan dermaga, suasana dipenuhi suara palu dan gergaji. Kaelan, seperti biasa, berada di tengah-tengah para pekerja, memastikan semua berjalan sesuai rencana.
Namun, dalam kesibukannya, ia tidak menyadari bahaya di sekitarnya. Ketika mencoba memindahkan balok kayu besar, paku berkarat yang menonjol dari salah satu balok menggores tangannya. Luka itu cukup dalam, dan darah langsung mengalir. Kaelan meringis pelan, tetapi tidak menghentikan pekerjaannya.
“Kaelan, kau terluka!” seru seorang pekerja yang melihat kejadian itu.
“Aku baik-baik saja,” jawab Kaelan, meskipun ia tahu lukanya perlu segera dirawat.
Rea, yang sedang mengunjungi lokasi untuk mengamati tanaman herbal di sekitar dermaga, segera menghampiri. Matanya langsung tertuju pada tangan Kaelan yang berdarah.
“Kaelan! Kenapa kau tidak berhenti bekerja kalau terluka seperti ini?” seru Rea dengan nada khawatir.
“Ini hanya luka kecil,” jawab Kaelan sambil mencoba tersenyum, tetapi Rea tidak terpengaruh.
“Duduk di sana sekarang,” perintah Rea sambil menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon.
Kaelan tidak punya pilihan selain menurut. Rea segera membuka tas kecil yang selalu ia bawa, mengeluarkan botol kecil berisi ramuan herbal, kain bersih, dan jarum jahit.
Rea duduk di bangku di sebelah Kaelan, menarik tangannya dengan lembut untuk diperiksa. “Luka ini cukup dalam. Kau harus lebih berhati-hati.”
Kaelan mengangguk pelan, tatapannya tertuju pada Rea yang dengan serius membersihkan lukanya.
“Sakit?” tanya Rea sambil mengoleskan ramuan antiseptik ke luka itu.
Kaelan tersenyum tipis. “Sedikit. Tapi melihatmu serius seperti ini membuatku lebih gugup daripada rasa sakitnya.”
Rea mengangkat alis, menahan senyum. “Kau bisa bercanda meskipun terluka?”
“Kalau tidak bercanda, aku mungkin akan fokus pada rasa sakit ini,” jawab Kaelan dengan nada menggoda.
Rea menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, lalu mulai membalut luka itu dengan hati-hati. Jarinya yang ramping bergerak dengan lembut, dan Kaelan tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikannya.
“Rea, kau benar-benar berbakat. Kau tahu itu, kan?” ujar Kaelan tiba-tiba.
Rea berhenti sejenak, menatap Kaelan dengan sedikit bingung. “Apa maksudmu?”
“Kau selalu tahu apa yang harus dilakukan. Selalu tahu cara membuat semuanya lebih baik. Aku... aku kagum padamu.”
Wajah Rea memerah, tetapi ia segera menunduk, pura-pura sibuk dengan balutan luka. “Kau hanya mengatakan itu karena aku merawat lukamu.”
Kaelan tertawa kecil. “Mungkin. Tapi aku serius. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Rivendale tanpamu.”
Rea merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Kata-kata Kaelan terdengar tulus, dan itu membuatnya gugup sekaligus bahagia.
Setelah selesai membalut luka, Rea menatap Kaelan dengan serius. “Lukamu akan sembuh, tapi kau harus berhenti memaksakan diri. Kau harus menjaga dirimu.”
Kaelan tersenyum lembut, lalu tiba-tiba menggenggam tangan Rea yang masih memegang perban. “Dan aku akan menjagamu, Rea. Kau tahu itu, kan?”
Rea terkejut, tetapi tidak menarik tangannya. Tatapan mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti.
“Aku tahu,” bisik Rea akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Mereka tetap seperti itu untuk beberapa saat, hanya menatap satu sama lain, hingga suara pekerja yang memanggil Kaelan memecah keheningan.
“Aku harus kembali bekerja,” kata Kaelan, meskipun ia tampak enggan melepaskan tangan Rea.
Rea mengangguk pelan. “Jangan terlalu memaksakan diri, ya.”
Kaelan berdiri, tetapi sebelum pergi, ia menoleh dan berkata dengan nada menggoda, “Kalau aku terluka lagi, kau harus merawatku lagi. Janji?”
Rea tersenyum, wajahnya masih memerah. “Janji. Tapi jangan sengaja mencari alasan untuk terluka, Kaelan.”
Kaelan tertawa kecil, lalu berjalan pergi dengan hati yang lebih ringan. Di bawah langit musim semi itu, benih perasaan yang tumbuh di antara mereka semakin kuat.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih