Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Beli banyak lebih untung
Pasar kecil di desa itu adalah tempat yang ramai setiap pagi. Deretan pedagang dengan keranjang penuh sayur mayur, tumpukan buah segar, dan daging yang tergantung di kios-kios kecil membuat suasana begitu hidup. Bau rempah dan suara penjual yang berteriak menawarkan dagangan mereka bercampur dalam harmoni khas pasar tradisional.
Di tengah keramaian itu, berdirilah Lucius dan Rudolf—dua pria yang sama sekali tidak terlihat seperti penduduk desa. Dengan setelan sederhana yang dipinjam dari Antonius, keduanya tampak seperti turis yang tersesat. Lucius, meski wajahnya masih terlihat angkuh, memegang daftar belanjaan Luna dengan ekspresi serius. Sementara Rudolf, dengan tubuh kekarnya, sibuk menenteng keranjang yang semakin lama semakin penuh.
"Rudolf, katanya kita cuma perlu beli satu kilo daging. Kenapa kau beli lima kilo?" tanya Lucius, alisnya terangkat sambil melirik ke keranjang.
Rudolf mendesah kesal. "Aku sudah mencoba menawar, tapi penjualnya bilang kalau beli lebih banyak, harganya jadi lebih murah. Aku pikir itu ide bagus."
"Bagus untuk siapa? Untuk mereka, jelas!" Lucius memutar mata, lalu mendekati kios sayur berikutnya.
Penjual sayur, seorang ibu paruh baya dengan senyum ramah, segera menawarkan dagangannya. "Sayur segar, Tuan! Mau bayam, wortel, atau kentang?"
Lucius mengangguk kecil dan menunjuk ke arah bayam. "Tolong satu ikat saja."
"Tiga ikat lebih murah, Tuan. Hanya dua kali harga satu ikat," kata si ibu dengan lihai.
Rudolf, yang mendengar itu, langsung menyela. "Kalau begitu, kita ambil tiga!"
Lucius mendelik ke arahnya. "Kau tahu kita tidak butuh sebanyak itu, kan?"
"Lebih baik lebih banyak daripada kurang," jawab Rudolf santai, lalu membayar tanpa banyak berpikir.
...****************...
Ketika mereka akhirnya kembali ke klinik, keduanya terlihat seperti habis memenangkan lomba belanja. Rudolf memikul dua karung penuh sayuran, sementara Lucius membawa beberapa kantong daging dan berbagai bahan lain yang bahkan tidak ada di daftar belanjaan. Wajah mereka memancarkan kebanggaan, seolah-olah baru saja menyelesaikan misi penting.
Luna, yang sedang mengatur obat-obatan di meja, menatap mereka dengan mulut menganga. "Apa-apaan ini?" serunya, setengah berteriak. "Kalian belanja untuk pesta pernikahan atau apa?"
Lucius mengangkat bahu, mencoba terlihat tenang. "Kami hanya membeli yang ada di daftar."
Luna menghampiri mereka, matanya menyipit ke arah keranjang yang penuh sesak. "Daftar bilang satu kilo daging, bukan lima. Dan bayam ini? Kita cuma butuh satu ikat, bukan tiga! Lihat ini, kau bahkan beli jahe dan lada, padahal aku tidak menuliskan itu!"
Rudolf mencoba membela diri. "Penjual bilang kalau beli lebih banyak, kita dapat diskon."
Luna memutar matanya. "Dan kau percaya begitu saja? Ini bukan supermarket, Om Rudolf!"
Lucius menyilangkan tangan di dadanya, mencoba mempertahankan martabatnya. "Kami hanya ingin memastikan tidak kekurangan apa-apa. Lagi pula, kami tidak tahu kau ingin membuat apa dengan bahan-bahan itu."
Luna menatap mereka bergantian, lalu menghela napas panjang. "Kalau begini caranya, aku tidak akan menyuruh kalian belanja lagi. Kalian lebih buruk daripada ibu-ibu yang baru pertama kali ke pasar."
Rudolf, yang merasa tersinggung, membalas dengan wajah serius, "Kau tahu, Luna, ini pengalaman yang memperkaya jiwa. Aku sekarang paham kenapa orang-orang desa begitu pandai menawar."
Luna menatapnya dengan ekspresi datar. "Kau tidak menawar sama sekali, kan?"
Rudolf terdiam sejenak, lalu menggaruk kepalanya. "Yah... aku mencoba. Tapi akhirnya mereka menang."
Antonius yang mendengar keributan dari ruang sebelah hanya terkekeh pelan. "Lain kali, Luna, kau harus ikut mereka. Kalau tidak, kita akan punya stok bahan makanan untuk setahun."
Ribut-ribut antara Luna, Rudolf, dan Lucius tentang belanjaan yang berlebihan langsung terhenti ketika seorang pria masuk ke klinik. Dengan langkah santai, pria itu membuka pintu dan langsung menarik perhatian semua orang di ruangan. Dia berpakaian rapi, dengan kemeja hitam dan jas abu-abu, kontras dengan suasana pedesaan yang sederhana. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tetapi tatapan matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan.
Rudolf dan Lucius langsung membeku. Mereka saling bertukar pandang, ekspresi mereka berubah tegang dalam sekejap. Rudolf meneguk ludahnya pelan, sementara Lucius dengan cekatan menyembunyikan keterkejutannya di balik sikap tenang yang biasa dia tampilkan. Pria itu adalah salah satu bawahan Angela, dan kedatangannya ke tempat ini jelas bukan kebetulan.
Namun, keduanya pura-pura tidak mengenalnya. Lucius menundukkan wajahnya sedikit, berpura-pura memeriksa isi kantong belanjaan. Rudolf, di sisi lain, segera mengambil sapu terdekat dan mulai menyibukkan diri dengan membersihkan lantai yang sebenarnya sudah bersih.
Pria itu mendekat ke Antonius, mengangkat tangannya yang terluka. “Dok, saya cuma butuh sedikit perawatan. Luka kecil saja,” ujarnya dengan suara rendah, seolah menutupi sesuatu.
Antonius, dengan sikap profesionalnya, segera memeriksa luka di tangan pria itu. "Ini hanya luka ringan," katanya sambil mengambil obat antiseptik. "Saya akan membersihkannya dan memberikan salep. Tak perlu khawatir."
Sementara Antonius sibuk merawat pria itu, Luna berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dengan pandangan tajam. Tidak seperti Rudolf dan Lucius yang terlihat gelisah, Luna tampak biasa saja. Bahkan, dia melipat tangan di dada sambil mengamati pria itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Ketika Antonius selesai, pria itu mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan sejumlah uang yang cukup besar sebagai pembayaran. Antonius, seperti kebiasaannya, langsung menolak. "Terlalu banyak. Kami hanya meminta bayaran yang sesuai."
Namun sebelum pria itu bisa menarik kembali uangnya, Luna dengan sigap merebutnya dari tangan kakeknya. "Kakek, jangan lupa, kita masih punya tanggungan fee Jeffrey dan Magdalena yang tertunda karena pengobatan gratis untuk Om Lucius," katanya dengan nada tegas, tetapi tak kehilangan kelembutannya.
Pria itu terkejut sejenak, tetapi kemudian tersenyum tipis. "Tidak masalah. Anggap saja ini apresiasi untuk kerja keras Anda."
Luna memandang pria itu dengan senyum manis yang langsung membuat suasana ruangan menjadi lebih cerah. "Terima kasih atas pembayarannya," ucapnya dengan nada ramah. Senyumnya sangat manis, begitu tulus, hingga membuat Lucius yang sedang mencoba tidak mencuri perhatian mendadak terpana. Dia terdiam beberapa detik, pandangannya tertuju pada Luna yang tampak bercahaya di bawah sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela.
Rudolf, yang menyadari tatapan Lucius, mendekat dan berbisik dengan nada geli, "Hati-hati, Bos. Lidah tajam gadis itu bisa lebih menyakitkan daripada peluru. Selain itu, dia masih kecil, tunggu beberapa tahun lagi"
Lucius menghela napas pelan, berusaha mengalihkan pandangannya kembali ke kantong belanjaan. Namun, dalam hati kecilnya, senyum Luna yang tadi terlihat seperti menggoreskan sesuatu yang sulit dia abaikan.
...****************...
Setelah pria itu pergi, suasana di klinik kembali tenang. Antonius duduk di kursi sambil menyeka tangannya yang sedikit kotor setelah memeriksa pasien tadi, sedangkan Luna dengan santainya merapikan beberapa peralatan medis. Namun, keheningan itu hanya bertahan sebentar sebelum Rudolf berdiri dengan alasan yang terdengar sangat meyakinkan.
"Eh, sepertinya ada barangku yang tertinggal di salah satu kios di pasar. Aku pergi dulu untuk mengambilnya ya" katanya, sambil berjalan ke pintu dengan langkah tergesa. Luna dan Antonius tidak curiga, mereka mengangguk tanpa banyak bertanya, karena sudah terbiasa dengan tingkah laku Rudolf yang kadang-kadang suka kebingungan soal belanja.
Namun, begitu pintu klinik tertutup, wajah Rudolf berubah menjadi serius. Tanpa membuang waktu, dia berjalan cepat ke arah yang berbeda dari pasar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian. Dengan ketangkasan yang jarang dia tunjukkan di klinik, dia menyelinap di balik beberapa bangunan dan mengejar jejak pria yang tadi.
...****************...