Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bertemu Vanessa
Happy reading guys :)
•••
Koridor SMA Garuda Sakti terlihat cukup ramai, beberapa siswa-siswi masih sibuk mengobrol dan belum memasuki kelas masing-masing. Di antara para siswa-siswi itu, ada Angelina, Karina, dan Leka yang sedang berlari dengan sangat tergesa-gesa.
Keringat mulai keluar membasahi kening ketiga gadis itu. Namun, mereka mengabaikannya. Di dalam pikiran mereka kini hanya ada satu tujuan, yaitu sampai di ruangan OSIS untuk menemui Fajar dan Renata.
Angelina membuka pintu ruangan OSIS dengan begitu kasar, hingga menimbulkan suara bising yang membuat beberapa orang di dalam ruangan sontak menoleh ke arahnya.
Napas Angelina memburu, keringat telah memenuhi seluruh tubuhnya. Ia perlahan-lahan mulai berjalan memasuki ruangan dengan diikuti oleh Karina dan Leka di samping kanan-kirinya.
“Siapa orangnya, Kak? Siapa orang yang udah bikin Vanessa jadi kayak gini?” tanya Angelina, kepada Fajar, Renata, dan Gita yang sedang duduk di kursi pribadi mereka.
Gita bangun dari tempat duduk, berjalan mendekati Angelina dengan membawa tiga sapu tangan bergambar beruang miliknya.
“Tenangin diri lu dulu, Ngel,” kata Gita, menyerahkan sapu tangan kepada Angelina, Karina, dan Leka.
Leka menerima sapu tangan pemberian Gita. Namun, tidak dengan Angelina dan Karina. Kedua gadis itu seakan tidak mendengar apa yang telah Gita katakan, dan sekarang hanya memberikan tatapan penuh rasa penasaran ke arah Fajar dan Renata.
Renata yang melihat itu mengembuskan napas panjang, lalu menoleh ke arah Fajar yang duduk di sampingnya. “Jar.”
Fajar mengangguk, paham dengan panggilan yang diberikan oleh Renata. Ia membalikkan laptop miliknya yang terbuka ke arah Angelina dan Karina, kemudian menyuruh kedua adik kelasnya itu untuk melihat ke dalam layar.
“Mereka pelakunya, Ngel, Kar,” ujar Fajar, melihat Angelina dan Karina yang sudah melihat ke dalam layar laptop.
Hawa amarah sontak memenuhi tubuh Angelina dan Karina saat mereka melihat ke dalam layar laptop milik Fajar.
Di dalam sana, kedua gadis itu dapat melihat beberapa foto yang menunjukkan tiga orang perempuan mengenakan pakaian serba hitam sedang memasuki area sekolahan melalui tembok bagian belakang yang sedang dalam keadaan direnovasi.
Amarah kedua gadis itu semakin manjadi-jadi kala salah satu dari perempuan itu terlihat menunjukkan senyuman penuh kemenangan ke arah kamera CCTV.
“Mereka siapa, Kak? Dan kenapa tiba-tiba aja CCTV sekolah ini nyala? Bukannya kemarin kita udah ngecek kalau semuanya mati waktu kejadian,” cecar Karina, mengangkat kepala dengan kedua tangan yang telah mengepal sempurna.
Melihat tatapan tajam milik Karina, membuat Fajar sedikit melebarkan mata. Namun, itu tidak berselang lama. Ia kini mengembuskan napas panjang beberapa kali sebelum menjawab beberapa pertanyaan dari adik kelasnya itu.
“Sebelumnya gue minta maaf, Kar. Ternyata gak semua CCTV mati, masih ada satu yang hidup, dan itu di area tembok belakang. Dan untuk tiga orang itu, gue, Gita, sama Renata belum tau pasti siapa, tapi kami udah nyerahin bukti ini ke pihak kepolisian buat lebih ditindak lanjuti,” jelas Fajar, seraya melihat Gita, Karina, dan Renata secara bergantian.
Setelah Fajar selesai menjelaskan, Renata bangun dari tempat duduk, berjalan mendekati Angelina dan Karina, lalu memeluk leher kedua gadis itu dari arah belakang.
“Ngel, Kar, tenangin diri kalian. Jangan sampai hawa amarah dan emosi berhasil ngambil kendali dan bikin keadaan jadi semakin kacau. Ingat, sekarang fokus kita cuma satu, yaitu selalu ada buat Vanessa sampai dia sembuh,” ujar Renata, mengelus pelan dada Angelina dan Karina.
Angelina menoleh, menatap wajah Renata yang masih setia mengelus pelan dadanya. “Tapi, Kak, gue harus bal—”
Renata menghentikan elusan pada dada Angelina, tangannya bergerak untuk menutup mulut gadis itu agar berhenti berbicara. “Ssstt … udah, jangan berpikiran untuk bales dendam, biar hukuman mereka kita serahin ke pihak kepolisian. Udah, ya, tenang, Ngel, Kar.”
Karina perlahan-lahan mulai mengangguk, kedua matanya masih terus melihat ke dalam layar laptop. Ia di dalam hati bersumpah, akan menghukum mereka dengan tangan sendiri jika pihak berwajib tidak memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka semua.
Hembusan napas kasar terdengar dari indera penciuman Karina. Gadis itu menghentikan elusan Renata pada dadanya, melepaskan pelukan sang kakak kelas, lalu berjalan menuju jendela yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Sedangkan Angelina, gadis itu sekarang sedang menutup mata, berusaha menghilangkan hawa amarah dan emosi yang masih berusaha untuk menguasai tubuhnya, dibantu oleh Renata yang dengan setia kembali memberikan elusan pelan pada bagian dadanya.
“Mereka gak papa, Ren?” bisik Gita, tempat di telinga kanan Renata seraya melirik ke arah Angelina.
Renata hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu memberikan kode kepada Gita agar gadis itu dengan segera kembali ke tempat duduknya.
Mengerti dengan kode yang diberikan oleh Renata, Gita melihat ke arah Angelina dan Karina secara bergantian, sebelum akhirnya berjalan kembali menuju ke meja pribadinya.
Gita mendudukkan tubuh, mengerutkan kening bingung kala melihat raut wajah Fajar yang seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Jar, kenapa? Masih ada yang kamu pikirin?” tanya Gita, menepuk pelan pundak kiri Fajar.
Mendengar dan merasakan tepukan yang diberikan oleh Gita, membuat Fajar sontak melebarkan kedua mata dengan tubuh seketika tersentak. Ia menoleh ke arah kiri, menatap wajah Gita, kemudian hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Kening Gita semakin mengerut, kedua matanya telah ia sipitkan, merasa ada yang sedang disembunyikan oleh Fajar. Namun, ia tidak berani kembali bertanya, dan memilih menunggu waktu cowok itu sudah ingin bercerita kepadanya.
Gita mengambil handphone dari dalam saku seragam, mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang. Ia menunggu beberapa detik setelah mengirim pesan itu, tersenyum tipis saat membaca balasan yang telah dirinya dapatkan.
Suara dering handphone milik Angelina berbunyi, membuat sang empu perlahan-lahan mulai membuka mata, dan mengambil benda pipih itu dari dalam saku seragam.
Angelina membuka handphone, membaca sebuah pesan yang telah dikirimkan oleh Livy kepadanya.
Kedua mata Angelina sontak melebar sempurna, air mata perlahan-lahan mulai turun membasahi pipi kala telah selesai membaca pesan dari Livy. Ia menutup handphone, menaruhnya kembali ke tempat semula, lalu berjalan mendekati Karina yang masih setia melihat ke arah keluar jendela.
“Kar. Ayo, sekarang kita ke rumah sakit,” ajak Angelina, menepuk pelan pundak kanan Karina dengan tangan kanan yang sudah sedikit bergetar.
Karina mengerutkan kening, merasakan getaran pada tangan Angelina membuat dirinya sontak berbalik badan, menatap khawatir ke arah sang sahabat. “Lu kenapa? Kenapa kita harus ke rumah sakit? Ada kabar baru dari Vee?”
Angelina membalas tatapan Karina. Ia hanya mengangguk secara perlahan sebagai jawaban.
Melihat anggukan Angelina, membuat Karina sudah dapat membayangkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia menggandeng tangan kanan sang sahabat, lalu dengan cepat berjalan meninggalkan ruangan OSIS tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada beberapa orang yang ada di sana.
•••
Koridor rumah sakit kini terlihat cukup sunyi, hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan dengan ritme pelan. Namun, kesunyian itu tidak berselang lama, suara bising akibat langkah kaki orang yang sedang berlari sontak memenuhi seluruh koridor, membuat beberapa orang yang ada di sana sontak menoleh ke arah sumber suara.
Angelina dan Karina, mereka berdualah orang yang telah membuat suara bising itu. Saat ini, kedua gadis itu sedang berlari menuju ruangan ICU tempat Vanessa sedang dirawat.
Keringat mulai bercucuran keluar dari dalam tubuh Angelina dan Karina, tetapi mereka mengabaikannya. Dan justru menambah kecepatan lari kala melihat Livy sedang duduk di kursi tunggu depan ruangan ICU.
“Mbak Livy,” panggil Karina dengan napas memburu, setelah berada di dekat tempat Livy berada.
Livy sontak bangun dari tempat duduk kala mendengar serta merasakan kehadiran Angelina dan Karina. “Akhirnya kalian datang juga.”
“Ada apa, Mbak? Kenapa tiba-tiba nyuruh kami ke sini?” tanya Angelina, seraya berusaha mengambil pasokan udara sebanyak yang dirinya bisa.
Livy berjalan mendekati Angelina dan Karina, menghapus keringat yang masih terus keluar dari tubuh kedua gadis itu. “Vanessa pingin ketemu sama kalian berdua. Dari tadi, dia terus manggil-manggil nama kalian.”
Mendengar jawaban dari Livy, membuat mata Angelina dan Karina sontak melebar sempurna dengan mulut sedikit terbuka serta tubuh yang mulai bergetar. Kedua gadis itu saling pandang, merasa belum percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Livy.
“Yang bener, Mbak? Vee pingin ketemu sama kamu?” tanya Karina untuk memastikan, suaranya terdengar sedikit bergetar.
Livy mengangguk, menjauhkan kedua tangan dari wajah Angelina dan Karina saat keringat kedua itu telah menghilang. “Iya, Vanessa mau ketemu sama kalian.”
Kedua sudut bibir Angelina tertarik dengan sangat lebar, mata gadis itu perlahan-lahan mulai berbinar, raut kebahagiaan terpancar di wajahnya. “Sekarang dia di mana, Kak? Vanessa di mana? Dia masih di ruang ICU?”
“Iya, Vanessa masih di ruang ICU, tapi kalian berdua diperbolehkan masuk. Tadi dokter yang menangani Vanessa udah bilang ke aku.” Livy ikut mengukir senyuman bahagia saat melihat pancaran kebahagiaan terpampang di wajah Angelina dan Karina.
Angelina dan Karina saling pandang, kemudian kedua gadis itu mengangguk secara bersamaan.
“kami berdua masuk sekarang, Kak?” tanya Karina, mengalihkan pandangan ke arah Livy.
Livy mengangguk. “Silahkan, nanti di dalam ada perawat yang bakal ngasih instruksi ke kalian berdua.”
“Kakak gak ikut?” tanya Angelina.
Livy menggelengkan kepala. “Cuma boleh dua orang yang jenguk, dan juga aku lagi nungguin Galen dateng.”
Angelina dan Karina mengangguk paham. Kedua gadis itu lalu berjalan menuju pintu masuk ruangan ICU. Sebelum membuka pintu, mereka berdua kembali saling pandang, dari sorot mata keduanya seakan memberikan semangat satu sama lain sebelum melihat keadaan Vanessa pada saat ini.
Angelina membuka pintu ruangan, masuk ke dalam dengan diikuti oleh Karina dari belakang. Di dalam ruangan, kedua gadis itu telah disambut oleh seorang perawat perempuan yang seakan telah menunggu kehadiran mereka.
Perawat itu sekarang sedang memakai pakaian berwarna putih dengan sebuah masker bedah yang menutupi setengah wajahnya.
“Angel sama Karin?” tanya perawat perempuan itu, dari sorot matanya terlihat ia sedang tersenyum.
Angelina mengerutkan kening bingung, lantaran perawatan perempuan itu dapat mengetahui namanya. Namun, kebingungan itu tidak berselang lama, ia perlahan-lahan mulai mengangguk sebagai jawaban.
“Iya, saya Angel, dan dia Karin,” jawab Angelina, seraya menoleh ke arah Karina yang juga memasang raut wajah bingung seperti dirinya tadi.
Perawat perempuan itu mengangguk paham. “Kalian berdua udah sama Vanessa. Tapi, sebelumnya, kalian berdua ikut saya sebentar sebelum masuk ke ruangan Vanessa. Kalian berdua bersedia, kan?”
Angelina dan Karina mengangguk, kemudian mengikuti perawatan perempuan itu yang berjalan menuju salah satu ruangan.
Sesampainya di dalam ruangan, Angelina dan Karina melepas dan menaruh semua barang pribadi milik mereka. Mulai dari perhiasan, handphone, tas, jam tangan, dan lain sebagainya.
Mereka berdua mencuci tangan, guna menghilangkan kuman dan bakteri yang telah dibawa dari luar ruangan. Kedua gadis itu juga tidak lupa mengenakan masker dan skort medis untuk mengurangi resiko penularan penyakit dari pasien-pasien yang ada di dalam ruangan ICU, dan kuman serta bakteri dari luar yang dibawa oleh mereka berdua.
Setelah semua instruksi dari perawat perempuan itu dijalankan oleh Angelina dan Karina, kedua gadis itu kini telah berada di depan ruangan tempat Vanessa berada.
Ruangan itu bertuliskan High Care Unit (HCU). Perawat perempuan itu membuka pintu ruangan dengan perlahan-lahan, lalu memberikan kode agar Angelina dan Karina masuk ke dalam.
Di dalam ruangan, mata Angelina dan Karina melebar sempurna. Perasaan kedua gadis itu saat ini benar-benar campur aduk, kala melihat Vanessa sedang terbaring di ranjang dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Angelina dan Karina perlahan-lahan berjalan mendekati ranjang tempat Vanessa berada, membuat seorang dokter yang ada di sana sontak menatap ke arah mereka.
“Hai, apa kabar?” tanya Angelina, setelah berada di sisi kiri ranjang dengan suara yang sangat pelan dan lembut.
Vanessa perlahan-lahan mulai membuka mata, perlahan-lahan menoleh ke arah kiri kala mendengar suara seseorang yang sangat dirinya kenali.
Senyuman tipis terukir di wajah Vanessa saat melihat kehadiran Angelina dan Karina. Ia berusaha menggerakkan tangan kiri untuk memegang tangan milik kedua sahabatnya.
Akan tetapi, usaha Vanessa itu tidak berhasil, tenaganya belumlah cukup kuat untuk sekedar mengangkat tangan, ditambah ada sedikit rasa sakit akibat beberapa alat medis yang terpasang.
Karina menyadari akan keinginan dari Vanessa. Ia perlahan-lahan menyentuh tangan kiri sang sahabat, lalu menunjukkan senyuman manis dari dalam masker yang dirinya kenakan. “Cepat sembuh, ya, gue sama Angel akan selalu nemenin lu.”
To be continued :)