NovelToon NovelToon
Why And Who ( Uncover The Whispers Of The Forgotten)

Why And Who ( Uncover The Whispers Of The Forgotten)

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Fantasi Wanita
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: veluna

Ketika mimpi berubah menjadi petunjuk samar, Nadira mulai merasakan keanehan yang mengintai dalam kehidupannya. Dengan rahasia kelam yang perlahan terkuak, ia terjerat dalam pusaran kejadian-kejadian mengerikan.

Namun, di balik setiap kejaran dan bayang-bayang gelap, tersimpan rahasia yang lebih dalam dari sekadar mimpi buruk—sebuah misteri yang akan mengubah hidupnya selamanya. Bisakah ia mengungkap arti dari semua ini? Atau, akankah ia menjadi bagian dari kegelapan yang mengejarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veluna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

penghianatan yang terungkap

----------

Di belakang rumah sakit, sebuah sungai mengalir pelan, airnya keruh dan penuh dedaunan kering. Rasanya seperti dunia ini memang tak ingin memberikan secercah harapan. Namun, di sana, di tepi sungai, sebuah perahu tua terikat pada batang pohon besar. Meski kayunya terlihat lapuk, aku yakin benda itu cukup kokoh untuk mengantarkan kami menjauh dari mimpi buruk yang baru saja kami alami.

Tanpa berpikir panjang, aku menarik ibu dan Mira mendekat. “Cepat, kita harus pergi sekarang!” desak ku.

Ibu, dengan raut wajahnya yang penuh kelelahan, mengangguk lemah. Dia menaiki perahu lebih dulu, diikuti Mira yang masih tampak ketakutan. Aku adalah yang terakhir naik, memastikan tali perahu dilepas sebelum kami mulai bergerak.

Angin malam terasa dingin menusuk, membelai wajah kami tanpa ampun. Sungai itu terasa sepi, terlalu sunyi untuk sesuatu yang berada di dekat peradaban. Hanya suara gemericik air yang menemani perjalanan kami. Ibu memegang dayung dengan tangan yang gemetar, menggerakkannya perlahan, sementara aku duduk di samping Mira. Tanganku memeluk bahunya, mencoba memberinya rasa aman.

“Mira, kau baik-baik saja?” tanyaku pelan.

Dia mengangguk tanpa suara, tetapi aku tahu dia tidak benar-benar baik. Kami semua tidak.

Saat perahu melaju, bayangan pepohonan yang menjulang tinggi di sepanjang sungai menciptakan suasana yang lebih menyeramkan. Aku terus mengamati sekitar, berharap tidak ada yang mengikuti kami. Namun, sebuah suara mulai terdengar di kejauhan—suara dayung lain yang menghantam air dengan ritme teratur.

Aku menoleh dengan cepat, mencoba mencari sumbernya. Dalam kegelapan, aku melihat sebuah perahu lain muncul di balik kabut tipis. Jantungku berdegup kencang. Sosok itu, berdiri di atas perahu, tampak familier.

“Ini… Ayah?” bisikku, setengah tidak percaya.

Perahu kami melambat, dan perahu milik ayah berhenti di samping kami. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada sesuatu yang aneh dalam senyumnya. “Kalian juga di sini?” tanyanya, suaranya terdengar seperti orang yang linglung.

Aku melihat ke arah ibu dan Mira, sama sekali tidak ada ekspresi kaget di wajah mereka. Apa maksudnya ini? ucapku dalam hati. Bagaimana ayah bisa muncul di sini? lanjutku.

“Iya, tadinya kami mau bawa Mira berobat ke sana, tapi ternyata tempat itu tidak aman,” jawabku cepat, mencoba menjelaskan situasi tanpa membuang waktu.

Ayah mengangguk pelan, pandangannya beralih ke ibu. “Kita harus bergerak cepat. Tempat ini bukan tempat yang aman untuk berlama-lama.”

Aku terus memandang ibu dan Mira. Bagaimana bisa mereka tidak kaget saat orang yang sudah menghilang bertahun-tahun bisa ada di depan mereka? Atau jangan-jangan mereka selama ini tahu ayah ada di mana? Aku membatin.

Namun, sebelum perahu kembali bergerak, aku merasakan sesuatu yang aneh. Tatapan ibu, yang biasanya penuh kasih, kini dingin dan tajam. Dia meletakkan dayung di samping dan menatapku lurus-lurus.

“Nadira,” katanya, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Sudah waktunya kau tahu kebenarannya.”

Aku tertegun. “Kebenaran? Kebenaran apa?” tanyaku bingung.

Saat itu, Mira yang biasanya pendiam malah tersenyum kecil—senyum yang tidak biasa. “Kami sudah muak denganmu,” katanya dengan nada mengejek.

Darahku seakan berhenti mengalir. “Apa… apa maksud kalian?” Aku menatap mereka berdua, berharap ini hanya lelucon yang kejam.

Ibu mendekat, mencengkeram lenganku dengan kasar. “Kau pikir kami benar-benar mencintaimu? Kau salah besar. Kau hanya alat, Nadira. Alat untuk mencapai tujuan kami. Tapi sekarang, kau tidak berguna lagi.”

Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkeramannya terlalu kuat. “Aku tidak mengerti! Apa yang kalian bicarakan? Ibu, ini aku, Nadira!”

“Justru karena itu.” Ayah, yang kini berdiri di atas perahunya, berbicara dengan nada dingin. “Keluargamu menghancurkan hidup kami. Kami hanya menunggumu tumbuh besar untuk mengambil harta itu. Setelah itu, kami tidak membutuhkanmu lagi.”

Hati dan pikiranku hancur berkeping-keping. Segala yang ku percaya tentang keluargaku terasa seperti kebohongan besar. Ibu, Mira, bahkan ayah… semua orang yang ku sayangi ternyata hanya berpura-pura.

“Apa salahku?” tanyaku dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipiku. “Kenapa kalian melakukan ini padaku?”

Mira tertawa kecil, senyumnya makin menyeramkan. Tangan kecilnya menggenggam sesuatu—sebuah pistol. Dia mengarahkannya ke dadaku tanpa ragu.

“Aku tidak pernah menyukaimu, Kak,” katanya dengan nada penuh kebencian. “Ini saatnya kau pergi.”

Sebelum aku bisa berkata apa-apa, suara tembakan memecah keheningan. Rasa sakit yang luar biasa menghantam dadaku. Aku terjatuh ke dasar perahu, melihat darah mengalir dari tubuhku. Dunia di sekitarku perlahan memudar.

Namun, saat semuanya hampir gelap, aku mendengar suara ayah yang penuh ejekan. “Selamat tinggal, Nadira. Dunia lebih baik tanpamu.”

---

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhku basah oleh keringat, dan dadaku terasa berat. Aku mendapati diriku terbaring di tepi sungai yang sama. Tidak ada perahu, tidak ada keluarga, tidak ada darah. Semuanya seperti mimpi buruk yang aneh.

Aku memegang dadaku, mencari bekas luka, tapi tidak ada apa-apa. Aku masih hidup.

“Apa… apa yang sebenarnya terjadi?” gumamku.

Aku bangkit perlahan, mataku menyapu sekeliling. Hutan lebat mengelilingiku, dan suara aliran sungai masih terdengar pelan. Aku tidak tahu harus ke mana, tapi satu hal yang pasti: aku tidak bisa kembali.

Langkahku terseok-seok saat aku berjalan menyusuri sungai. Udara malam terasa dingin menusuk, dan kegelapan membuat setiap bayangan terasa seperti ancaman. Aku terus berjalan, berharap menemukan jalan keluar.

Setelah beberapa jam, aku melihat sesuatu di kejauhan—cahaya kecil yang berkelap-kelip di antara pepohonan. Aku mempercepat langkahku, berharap itu adalah pertanda kehidupan.

Cahaya itu membawaku ke sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik hutan. Rumah-rumah kayunya terlihat kuno, hampir seperti peninggalan masa lalu. Namun, suasananya aneh. Tidak ada suara kehidupan, tidak ada tanda-tanda orang.

Aku mengetuk salah satu pintu, tapi tidak ada jawaban. Aku mencoba rumah lain, dan lagi-lagi tidak ada yang membukanya.

“Apakah desa ini kosong?” pikirku dengan perasaan was-was.

Saat aku hendak pergi, seorang wanita tua membuka pintu salah satu rumah. Wajahnya keriput, tapi matanya lembut. Dia memandangku dengan rasa ingin tahu.

“Kamu terlihat tersesat,” katanya dengan suara pelan.

Aku mengangguk. “Saya butuh tempat untuk beristirahat,” jawabku, suaraku hampir tak terdengar.

Dia mengundangku masuk dan memberiku semangkuk sup hangat. Aku duduk di kursi kayu yang tua, mencoba menghangatkan tubuhku. Wanita itu memperhatikanku dengan seksama, tapi dia tidak banyak bicara.

“Ada apa di desa ini?” tanyaku akhirnya, tidak mampu menahan rasa penasaranku.

Dia terdiam sejenak sebelum menjawab. “Desa ini memiliki rahasia yang kelam, Nak. Jangan percaya semua yang kamu lihat.”

Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi tatapannya yang tajam membuatku memilih diam. Malam itu, aku tidur di ruangan kecilnya, tapi mataku tidak pernah benar-benar terpejam. Aku masih memikirkan ucapan keluargaku ah tidak mantan keluargaku tadi, momen momen indah kami dan semua yang telah kami lalui. Sekarang aku mengerti kenapa Rizal bersikap begitu padaku. Aku terus bertanya mengapa? Mengapa ini semua terjadi padaku, mengapa harus aku , hingga tanpa sadar pipiku sudah basah sama air mataku yang ternyata dari tadi sudah mengalir.

Sepanjang malam aku terus memikirkan semua yang terjadi padaku. Sampai pagi tiba

.........

Pagi harinya, aku memutuskan untuk meninggalkan desa itu. Namun, sebelum aku pergi, wanita tua itu memberiku sebuah benda kecil—sebuah kalung dengan liontin berbentuk bulan sabit.

“Ini akan melindungi mu,” katanya.

Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku menerimanya dengan rasa terima kasih.

Saat aku berjalan keluar dari desa, aku merasa ada yang mengikuti ku. Bayangan-bayangan di balik pepohonan terasa terlalu dekat, terlalu nyata. Aku berlari, mencoba menjauh, tapi suara langkah kaki semakin mendekat.

Ketika aku menoleh, tidak ada siapa-siapa.

Hm sepertinya ada yang aneh disini, akhirnya aku mempercepat langkahku dan bersembunyi dibalik semak semak.dan terlihatlah 5 orang dengan pakaian hitam, sepertinya mereka ingin merampokku. Huh lagian apa yang mau dirampok aku bahkan tidak punya apa apa sekarang, mengingat soal rampok , aku jadi ingat keluarga sialan itu, bisa bisanya mereka merencanakan perampokan selama 17 tahun.

Lari kemana dia, cepat juga". Ucap salah satu dari mereka membuyarkan lamunanku.

Aku perlahan mundur tapi tiba tiba krakkk sial aku menginjak ranting.

Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat, aku memejamkan mataku "kakek tolong ". Ucapku dalam hati

Dan aku sudah tidak mendengar suara langkah lagi, sepertinya mereka sudah pergi.

Tapi saat aku membuka mata ,, aku sudah berada dalam void Nexus. Dan didepanku ragnael menatapku dengan datar.

" Bodoh", setelah mengatakan itu dia menghilang.

Hah apa apaan ini ucapku kesal. Pak tua ini benar benar berhasil membuat orang naik darah.

Aku berbaring diantara rerumputan, dan kemudian aku tertidur.

" Hei bocah bangun", samar samar aku mendengar suara ragnael membangunkan ku .

Aku membuka mata dan benar saja pak tua itu sudah duduk disamping ku.

" Kau tidak boleh berlama lama disini", ucapnya

"Hei bukan kah kau sendiri yang bilang mau melatihku "? Ucapku ketus.

"Aku memang akan melatih mu, tapi tidak sekarang, nanti saat usia mu sudah 18 baru aku bisa ". Ucapnya "dan itu memang umur yang tepat karena di umur segitu, 80% kekuatanmu sudah bangkit" lanjutnya lagi.

Saat aku ingin membalas, tiba tiba aku teringat sesuatu

" Nael, dimana sebenarnya orang tua ku", ucapku

"Hei bocah, panggil aku kakek" ucapnya sambil memukul kepalaku.

"Dan soal orang tuamu, aku kurang tau, karena mereka selalu berpindah-pindah tempat, jadi sangat sulit ditemukan". Lanjutnya.

Saat aku ingin bertanya lagi, mulutku sudah disumpal menggunakan daging bakar yang entah dari mana dia mendapatkannya.

Author POV

Setelah makan Nadira pun bertanya pada ragnael, "pak tua apa aku boleh minta 1 permintaan ?" Ucapnya.

Ragnael hanya mengangguk sebagai jawabannya,

"Aku ingin mengambil barang ku yang ada di kamarku" lanjut Nadira,

Tak lama kemudian tiba tiba Nadira muncul di kamarnya, haih tanpa aba aba langsung dipindahin ucap Nadira dalam hati

Author POV end.

Aku kemudian membuka laci kamarku dan mengambil buku merah, lalu aku juga mengambil beberapa pakaian ku, dan aku juga mengambil sepatuku. Setelah semua barang terkumpul aku jadi bingung ini gimana cara bawanya ?.

" Kau bisa memasukkan nya kedalam diriku" tiba tiba suara muncul entah dari mana, aku kemudian menoleh ke kiri dan kanan, kemudian keatas dan juga kebawah tapi tak menemukan apapun.

"Aihh aku kalung yang sedang kau pakai bodoh" ucapnya lagi.

Aku reflek menarik kalung yang ada di leherku.

"Kau.....kau bisa bicara" ucapku gemetar.

"Tentu saja, sudah jangan banyak tanya, kau harus ingat, waktumu hanya sedikit disini". Ucapnya.

Gimana cara masukin nya coba. Aku teringat dengan novel yang sering aku baca, kemudian memegang barang barang itu dan

"Masuk" ucapku dalam hati dan dalam sekejap semua barang barang ku tadi hilang, waaa akhirnya berhasil kataku girang. Dan kemudian aku mencoba untuk masuk ke void Nexus, aku memusatkan pikiran ku kesana dan kemudian " masuk", ucapku.

Seketika tubuhku berada di void lagi. Ini benar benar menakjubkan, girang ku dalam hati.

Ragnael menghampiri ku dengan tersenyum, " ternyata kau lebih pintar dari dugaan ku, Nadira. Aku bahkan belum mengajarimu untuk berpindah ke tempat ini, tapi kau sudah bisa sendiri, Benar benar diluar dugaan ku" ucapnya.

Kemudian kami mengobrol sebentar dan setelah itu aku kembali ke hutan tadi

----------

See you

1
diegodirga111
bagus
flowers: terimakasih sdh mampir
total 1 replies
banana87
menarik.
lolapaza
next thor
lolapaza
keren thorr
flowers: trmksih
total 1 replies
🎀⍣⃝ꉣꉣ.𝔔𝔲𝔢𝔢𝔫 🅡.🅡🅐🅣🅤❀
semangat /Smile/
flowers: terimakasih udh mampir 🙏
total 1 replies
🇮🇩 LianaLyrashiaa_1805
waduh.. mereka siapa nih?
flowers: hayooo... tebakkk 😼😼
total 1 replies
Cevineine
Semangat thor, semoga banyak yang baca
Cevineine: mampir jg thor
flowers: terimakasih sudah mampir kk
total 2 replies
𝐌𝐚𝐮𝐫𝐚 menuju Hiatus.
Ceritanya bagus, tapi seperti sedang baca diary/Slight/
𝐌𝐚𝐮𝐫𝐚 menuju Hiatus.: Memang bagus, saya merasakan mimpi tersebut.
flowers: makasih review nya kk
total 2 replies
Ahmad Rezky
terima kasih author sudah Singga
Jihan Hwang
keren thor..
mampir juga dikerya ku ya jika berkenan/Smile//Pray/
Ahmad Rezky
semangat author singgah di novel ku ya🤗
flowers: terimakasih dukungannya kk 🙏
total 1 replies
rxluna
bagus
rxluna
bagusss lanjuttt
lapilotita12
Gak sabar next chapter.
Achewalt
Pengalaman yang luar biasa
rxluna
❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!