NovelToon NovelToon
The Fatalist: Legenda Para Nuswantarian

The Fatalist: Legenda Para Nuswantarian

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah sejarah
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Jack The Writer

NOVEL INI SUDAH TAMAT.. DENGAN KISAH EPIKNYA YANG MEMBAGONGKAN..

NANTIKAN NOVEL SAYA SELANJUTNYA..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jack The Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ch 019_api pemakaman

...___~V~___...

...AULA SINGGASANA KERAJAAN MAJAPAHIT...

Di istana megah Kerajaan Majapahit di Trowulan, para Fatalis dan raja tengah menggelar pertemuan penting. Tiba-tiba, seorang prajurit berlari masuk ke ruangan. Napasnya tersengal, ia segera berlutut di hadapan para petinggi, membawa kabar genting tentang kejadian di Desa Gousan tadi malam.

"Maafkan hamba, Paduka yang mulia," ujar prajurit itu dengan napas tersengal.

"Hamba ingin melapor, Desa Gousan telah diserang oleh segerombolan Raksha. Dari laporan yang hamba terima, ada satu Raksha dengan tingkat ancaman tinggi yang memimpin mereka." Suaranya penuh ketegangan, menggambarkan betapa seriusnya situasi yang baru saja terjadi.

Para petinggi dan Sang Raja terkejut mendengar laporan prajurit itu.

"Apa? Bagaimana bisa?" tanya Sang Raja, tubuhnya yang tegap kini berdiri, menandakan kegelisahan yang mendalam.

"Lalu, bagaimana keadaan desa itu?" lanjutnya, suaranya lebih tegas, menuntut penjelasan lebih lanjut.

"Desa itu telah hancur lebur, tak ada yang tersisa," jawab prajurit itu dengan suara berat.

"Para Raksha juga menghancurkan pangkalan militer kita. Dari seluruh prajurit yang ada, hanya dua orang yang selamat, namun mereka terluka parah dengan kondisi yang sangat fatal." Wajahnya penuh kekhawatiran, menggambarkan betapa tragisnya serangan tersebut.

Vitjendra yang mendengar laporan itu langsung panik, pikirannya melayang kepada keselamatan Kandita dan Nazzares.

"Lalu bagaimana dengan Nazzares, murid yang ku latih? Harusnya dia ada di sana, bukan?" tanya Guru Vitjendra, suara cemas terdengar jelas di antara kata-katanya. Dia menatap prajurit itu, berharap ada kabar baik yang bisa menenangkan kekhawatirannya.

"Maafkan kami, Kapten," jawab prajurit itu dengan menunduk, suaranya penuh penyesalan.

"Hingga saat ini, belum ada laporan mengenai itu."

"Izin yang mulia, biarkan hamba pergi ke Desa Gousan," ucap Vitjendra, sambil berlutut di hadapan Raja Hayam Wuruk, memohon izin untuk segera bertindak.

"Baiklah, namun bawa beberapa pengawal untuk berjaga-jaga," jawab Raja Hayam Wuruk dengan tegas, menyetujui permohonan itu.

"Biarkan saya menemani Kapten Vitjendra, yang mulia," ucap Komandan Druvh, menawarkan diri dengan sikap hormat.

"Saya juga akan ikut, bersama Kapten Vitjendra, yang mulia," tambah Kapten Ahtreya, turut menyatakan kesediaannya.

"Baiklah, sepertinya tiga orang fatalis sudah lebih dari cukup," kata Raja Hayam Wuruk, matanya tajam menatap mereka.

"Sekarang, aku perintahkan kalian pergi ke Desa Gousan. Selamatkan apapun yang masih bisa diselamatkan."

"Siap, yang mulia!" jawab mereka serentak, suara mereka penuh tekad.

Ketika mereka meninggalkan aula, Yang Mulia Hayam Wuruk terdiam sejenak. Amarah dan penyesalan menguasainya. Ia mengepalkan tangan, lalu menghantamkan tinjunya ke sandaran singgasananya yang megah. Suara dentuman itu menggema di ruangan yang kini sunyi.

"Seharusnya setiap pangkalan militer memiliki setidaknya satu seorang Fatalis untuk berjaga," pikirnya dengan penuh emosi.

Tatapannya tajam, menyiratkan penyesalan yang mendalam atas kelalaiannya sebagai pemimpin.

kembali ke desa gousan yang sudah luluh lantah akibat serangan raksha..

Kandita terbangun dari pingsan panjangnya, napasnya tersengal. Pedang Abhiseka masih erat tergenggam di tangannya, seolah menjadi satu-satunya penopang harapan. Sakit terasa di sekujur tubuhnya, luka-luka membakar setiap gerakan. Dengan kaki yang terluka parah, ia mencoba berdiri, lalu melangkah perlahan menuju desa.

Tap... tap... tap...

Langkahnya pelan, tertatih di tengah kegelapan. Matahari mulai terbit di kejauhan, tetapi bayang-bayang kehancuran Desa Gousan tetap menghantui pikirannya.

"Pemandangan macam apa ini?" Lirih kandita, suaranya bergetar ditengah kesunyian yang mencekam.

Dengan langkah tertatih, ia menyusuri desa yang kini tinggal puing puing. Matanya tidak kuasa membendung air mata saat melihat mayat-mayat bergelimpangan, bercak darah yang mengotori tanah, dan bangunan hancur tak bersisa. Asap hitam masih mengepul dari sisa-sisa kobaran api tadi malam, bercampur dengan dinginnya udara pagi yang menusuk tulang.

Segala hal disekitarnya menciptakan suasana yang mengerikan, seperti neraka yang menyelimuti bumi. Hatinya terhimpit rasa duka dan kemarahan yang bercampur menjadi satu.

"Kakak!!! Aaaaaaaa... Kakak... Ayah... aah... Ayah... sudah..." Samsul terisak, suaranya patah-patah, mencoba mengucapkan sesuatu di tengah tangisnya. Matanya yang sembab penuh dengan ketakutan dan kesedihan.

Kandita terdiam, tubuhnya membeku sejenak. Ia tak perlu mendengar sisa kata-kata Samsul untuk tahu apa yang ingin disampaikan adik kecilnya itu. Hatinya hancur, tetapi ia menahan tangisnya. Dengan langkah cepat, ia meraih Samsul dan memeluknya erat, mencoba melindunginya dari rasa sakit yang tak tertahankan.

"Sudah... jangan menangis, Samsul," bisik Kandita pelan, meski hatinya sendiri remuk. Pelukan itu menjadi satu-satunya perlindungan yang bisa ia berikan di tengah kehancuran yang melingkupi mereka.

Warga yang selamat dari insiden itu hanya segelintir wanita dan anak-anak. Wajah-wajah mereka pucat, tubuh gemetar di bawah bayang-bayang kehancuran. Para pria, hampir semuanya telah gugur, kemungkinan besar tewas saat berusaha melawan Raksha tingkat rendah.

Mereka bertempur hingga napas terakhir, mempertaruhkan segalanya untuk melindungi desa mereka. Namun kini, hanya kenangan dan kehancuran yang tersisa, menyisakan luka mendalam bagi mereka yang masih hidup.

"Baiklah, pergilah ke tempat Ibu sekarang," ujar Kandita lembut namun tegas, menatap adik kecilnya yang masih terisak. Samsul mengangguk perlahan, meski langkahnya berat meninggalkan kakaknya.

Setelah memastikan adiknya menjauh, Kandita meraih ramuan dari ikatan di pinggangnya. Tangannya gemetar saat membuka balutan kain yang menutupi lukanya. Luka itu menganga, masih berdarah, tetapi ia tak punya pilihan lain. Dengan hati-hati, ia menuangkan ramuan tersebut langsung ke lukanya.

"Heeeggggkkkk!"

Kandita menggertakkan giginya, menahan rasa perih yang luar biasa. Tubuhnya bergetar seiring nyeri yang menjalar, tapi ia tak membiarkan kelemahan menguasainya. Perlahan, ia menutup matanya, mengatur napas, dan mulai berkonsentrasi. Energi mistisnya mengalir, menyatu dengan tubuhnya, berusaha mempercepat penyembuhan luka yang merongrong kekuatannya.

Setelah beberapa saat, luka di tubuh Kandita mulai mengering. Meski tubuhnya masih terasa lelah, ia kini mampu berjalan dengan normal. Tanpa membuang waktu, ia bergegas mencari Nazzares, melangkah cepat sambil terus menoleh ke kanan dan kiri, berharap menemukan tanda-tanda keberadaan calon suaminya itu.

Langkahnya membawanya ke tepi desa, tepat di dekat sungai yang dulu menjadi tempat para warga mencuci pakaian. Namun, pemandangan di sana kini berbeda. Kehancuran menyelimuti area itu. Pohon-pohon tumbang, tanah berlubang, dan jejak-jejak pertarungan terlihat jelas. Tempat itu kini sunyi, hanya menyisakan bekas pertempuran sengit antara Nazzares dan para Raksha tadi malam.

Hati Kandita berdegup kencang. "Nazzares! di mana kau?" gumamnya, penuh kegelisahan, sambil terus menyusuri tempat itu dengan tatapan tajam.

Sementara itu Ditempat nazzares yang tidak tertidur semalaman dan terus memandangi mayat ayahnya..

Di tengah hamparan tanah luas di tepi sungai, Nazzares duduk membeku. Tubuhnya kaku, tak bergerak sedikit pun. Di hadapannya terbaring mayat ayahnya, kulitnya mulai memutih, dingin oleh waktu.

Pikirannya kosong. Tatapannya hampa, menatap tanpa benar-benar melihat. Hatinya seperti tak lagi berdetak, terselimuti kehampaan yang tak tertahankan. Hanya kekosongan dan keheningan yang mengisi dirinya, seperti malam tanpa bintang.

Satu-satunya keluarga yang ia miliki kini telah tiada, direnggut dengan cara yang begitu kejam. Rasanya seperti dunia telah meninggalkannya, meninggalkan ia sendirian dalam kesunyian yang menyesakkan.

Kandita yang melihat zares dari kejauhan dengan berlutut. Tanpa pikir panjang dia berlari ke arah calon suaminya itu dengan rasa cemas dan tangisan.

Tap.. tap.. tap..

Langkah kandita terhenti tepat seketika saat ia mendapati nazzares duduk berlutut membeku didepan mayat abail. Tubuhnya bergidik melihat kondisi mayat itu begitu mengerikan, penuh luka dan darah mengering.

Kandita menutup mulutnya sendiri, menahan tangis yang nyaris pecah. Matanya memerah, air mata mengalir tanpa henti, tetapi ia tak ingin nazzares mendengar tangisan nya.

"mmmhh" : kandhita menahan tangis

Ia mengurungkan niatnya untuk memeluk kekasihnya itu, takut menyentuh luka yang jelas terlihat di hati nazzares.

Ia berlutut perlahan dibelakangnya, suduk diantara kedua tumitnya, tubuhnya gemetar. Namun, air mata yang tak tertahankan akhirnya mengalir deras. Ia menangis dalam keheningan, berbagi duka tanpa berkata sepatah kata pun.

tiga hari kemudian..

Di tengah desa yang kini hancur, terbentang barisan kayu yang tersusun rapi, siap menyambut tubuh-tubuh yang tergeletak tak bernyawa, disusun satu per satu. Upacara pemakaman dimulai. Api akan menyambar tubuh-tubuh itu yang terbaring di atas tumpukan kayu, satu demi satu.

Zares menggenggam obor di tangannya, matanya kosong menatap tubuh ayahnya yang tertutup kain putih, tubuh yang kini akan dijadikan abu. Dengan langkah pelan, dia mendekati tumpukan kayu, hatinya dihantui rasa kehilangan yang tak terkatakan.

"Ssssttt... krek-krek..."

Api berkobar, merambah dan membakar barisan mayat itu dengan dahsyat, sementara keheningan menyeruak, hanya dipecah oleh isak tangis yang hancur dari para keluarga yang ditinggalkan. Kandita mendekat, merangkul Zares dengan penuh kasih, menenangkannya dengan pelukan yang tak ingin dilepaskan. Dalam dekapan itu, Zares tak mampu menahan lagi, tangisnya pecah, tubuhnya gemetar dalam pelukan yang hangat itu.

Bersambung..

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!