Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Menjadi Lebih Baik
...----------------...
"Mau aku tunjukkan sama ibu. Sekalian nanya apa aku sebenarnya punya saudara kembar."
Ryan pun tertawa lalu menyentuh tangan Rara, diambilnya foto dari tangan itu dengan lembut, "Kamu nggak perlu melakukan itu karena sebelumnya aku sudah menyelidikinya. Kalian bukan saudara kembar," ucap Ryan.
"Tapi ini mirip banget, lho. Kok, bisa?"
Ryan menyentuh kedua bahu Rara lalu menggiringnya agar duduk di kursi panjang. Kini, keduanya pun duduk berhadapan.
"Kamu pernah denger nggak, kalau seseorang itu mempunyai tujuh orang yang mirip di dunia ini?"
Rara sejenak berpikir, "Perasaan pernah denger, tapi bukannya itu mitos, ya?" ucapnya tidak yakin.
"Percaya nggak percaya, tapi hal itu bisa jadi memang ada. Ini buktinya." Ryan menunjukkan foto tadi membuat keyakinan Rara sedikit goyah.
Fenomena doppelgänger atau orang yang mirip dengan orang lain yang tidak berkerabat itu memang belum teruji kebenarannya bahkan sering disebut mitos belaka. Namun, hanya mitos itulah yang bisa Ryan jadikan alasan yang masuk akal dengan kebetulan yang terjadi sekarang ini. Dengan alasan itu, pikiran Rara sedikit menerima.
"Bener juga, sih. Mungkin itu memang ada dan pacar kamu itu salah satu dari orang yang mirip dengan aku. Tapi ...."
"Nggak perlu tapi-tapi, sekarang semuanya udah terbuka. Jadi, kamu udah nggak takut lagi kan sama aku?"
Pertanyaan Ryan membuat Rara mengerjap ragu. Jujur, dia merasa malu untuk mengakui hal itu. Tiba-tiba saja suasana menjadi kaku. Rara pun memutar tubuhnya karena tak sanggup berhadapan dengan lelaki itu.
"Ehm ... aku nggak pernah takut sama kamu. Jangan kepedean gitu!" sanggah Rara mengalihkan rasa malunya. Ryan pun mengulas senyuman lucu.
"Baguslah kalau kamu nggak takut sama aku. Aku senang dengernya."
"Udah, ah. Aku mau pulang, mau mandi." Rara pamit sambil berdiri. Ryan pun ikut berdiri, lalu mencondongkan kepalanya sedikit mendekati tubuh Rara. Lelaki itu pura-pura mengendus sesuatu.
"Oh, pantesan dari tadi aku mencium bau. Ternyata ada yang belum mandi, toh."
Rara terlonjak kaget, tubuhnya refleks menoleh ke arah Ryan. Namun, karena jarak mereka terlampau dekat, tak ayal pipi perempuan itu malah menempel pada bibir Ryan. Alhasil, keduanya pun terkejut bersamaan.
"Ah, kamu sengaja, ya!" pekik Rara sambil menyentuh pipinya yang kini bersemu merah.
Ryan menggelengkan kepalanya, "Beneran nggak sengaja. Kamu sendiri yang menoleh tiba-tiba," sanggahnya.
Rara berdecak sebal sambil menghentakkan kakinya. Rasa malu dan gugup menyerangnya bersamaan. Gadis itu ingin segera kabur dari sana karena tak ingin rasa malunya terlihat lebih kentara.
Rara segera pergi dari sana tanpa berkomentar apa-apa lagi. Tawa Ryan pun pecah selepas perginya Rara. Lelaki itu begitu senang melihat ekspresi Rara yang begitu menggemaskan di matanya.
Walaupun tidak bisa dipungkiri jika lelaki itu teramat lega karena Rara sudah tidak salah paham lagi kepadanya. Kini, sudah saatnya melangkah lebih jauh untuk melindungi gadis pujaannya tersebut.
*****
Kicauan burung di pagi hari menyambut datangnya sang mentari. Raut wajah Ryan pagi ini terlihat cerah sekali. Suasana hatinya sedang baik hari ini. Terlebih semalam Rara datang menemaninya dalam mimpi.
"Sayang cuma mimpi," ucap Ryan sambil tersenyum lucu. Lelaki itu tengah membayangkan tentang malam panjang yang dihabiskannya bersama Rara di mimpi indahnya itu. Dia sangat menyesal ketika tiba-tiba membuka mata, padahal sedikit lagi bisa mendapatkan puncak kenikmatan yang tiada tara.
"Lain kali jangan dulu bangun kalau belum selesai," ucap Ryan lagi pada pantulan wajahnya di cermin. Dia sedang mematut diri setelah selesai mandi. Dirasa sudah rapi, lelaki itu pun bergegas pergi. Ada sesuatu yang harus dia lakukan hari ini.
Akan tetapi, ketika Ryan membuka pintu rumahnya, kedatangan sebuah mobil sejenis SUV berwarna putih membuat perhatian lelaki itu jadi tersita. Kedua matanya mendelik tajam memperhatikan dua orang yang keluar dari mobil tersebut.
"Mbak Dania ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Ryan pada kakak sepupunya yang datang bertamu.
"Ardan pengin ketemu sama kamu. Mumpung dia libur dan mbak lagi nggak ada kerjaan, mbak ajak aja ke sini. Nggak boleh?"
Ryan menghela napasnya. Lelaki itu jadi ingat dengan perkataan Lilis yang katanya Dania sudah tahu alamat kontrakannya yang sekarang. Jadi, dia bisa apa selain menyambut perempuan itu datang.
"Ya udah, ayo, masuk!" Ryan mempersilakan ibu dan anak tersebut masuk ke dalam rumah kontrakannya, lalu keduanya duduk di kursi ruang tamu rumah itu.
Kedua mata Dania tak berhenti memindai ke sekitar rumah itu. Mimik wajah tak suka terlihat jelas dari kerutan di keningnya, sedangkan Ardan sendiri masih sibuk memainkan permainan di aplikasi gagdet yang dia bawa. Tidak ada tanda-tanda jika anak itu sangat rindu dengan omnya.
Sudah bisa dipastikan jika alasan Ardan ingin bertemu Ryan hanya karangan Dania saja. Perempuan itu terlalu gengsi untuk mengaku ingin memata-matai kondisi sepupunya.
"Kamu betah tinggal di sini?" tanya Dania setelah mengalihkan pandangannya ke arah Ryan. Dia sudah selesai memindai semua sudut rumah itu. Baginya, rumah itu tidak layak menjadi tempat tinggal karena begitu kumuh dan sudah usang.
"Betah, lah. Kalau nggak betah aku pasti langsung pindah."
Ryan berjalan menuju kulkas lalu mengambil botol yang berisi air mineral. Kemudian membawa botol itu dan disajikan di atas meja bersama dua gelas gosong di sampingnya.
"Di sini cuma ada air itu. Aku belum sempat belanja," kata Ryan lalu duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan Dania.
"Om Ryan udah jatuh miskin, ya?" celetuk Ardan, tetapi pandangannya masih fokus pada layar gadget yang dia pegang.
"Main, main aja! Nggak usah ikut campur urusan orang tua!" hardik Ryan. Anak kecil itu mencebikkan bibir dengan gaya meledek pada Ryan. Anak itu memang tidak pernah akur dengan omnya tersebut.
"Kalau nggak ada yang penting, mending kalian pulang. Aku mau pergi." Ryan berkata lagi dengan nada datar. Kedatangan Dania sungguh membuat moodnya berantakan.
"Kamu ngusir mbak?"
"Memangnya mau nginep di sini?"
Dania berdecak, kedua sudut bibirnya tertarik lurus bersamaan dengan gertakan giginya yang bergemelatuk. Sepupunya itu memang susah diatur.
"Kenapa sikap kamu jadi berubah kayak gini, sih, Yan? Kamu jadi aneh tahu, nggak?"
Dania benar-benar bingung dengan perubahan Ryan setelah kejadian di sekolah waktu itu. Sikap Ryan yang dulu urakan dan pembuat onar memang sudah hilang. Dahulu, Ryan paling suka dengan kemewahan. Bermain peran adalah mimpinya walaupun tidak ada bakat terpendam. Kini, semua itu seolah lenyap dalam diri Ryan. Bermain peran ia dilakukan hanya sebagai sampingan. Ryan tiba-tiba berubah menjadi sosok yang memiliki pandangan yang baik tentang masa depan.
Perubahan yang terlalu itu ekstrem sangat aneh bagi Dania. Sepupunya itu seperti menjadi orang lain dalam sekejap mata. Namun, satu sisi sepertinya dia ikut senang juga.
"Aneh gimana? Aku tetap Ryan yang dulu. Hanya saja sekarang aku ingin berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku mau lebih fokus menata masa depan yang lebih cemerlang dan nggak mau menyia-nyiakan waktuku yang berharga."
...----------------...
...To be continued...
Dukung author dengan, subscribe, like, komentar, dan vote, ya🌹