"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Vs Cinta
Pandu tiba di rumah dengan cepat, dan mendapatkan Karin masih baik-baik saja, ia baru saja dari rumah orang tuanya dengan hati yang penuh keraguan. Hari ini, keluarganya memanggilnya lagi untuk membicarakan tawaran baru. Berbeda dari sebelumnya, kali ini, tawarannya lebih fleksibel, sebuah kompromi yang sepertinya dirancang untuk membuat Pandu tetap terlibat dalam bisnis keluarga tanpa harus sepenuhnya meninggalkan Karin. Namun, di balik semua itu, Pandu merasakan beban. Dia tahu bahwa menerima tawaran tersebut berarti dia akan semakin terikat dengan keluarganya, dan ini bukan keputusan yang bisa diambil begitu saja.
Di ruang keluarga, Pak Darma duduk dengan ekspresi tenang tapi tegas, sementara ibunya tetap berbaring di sofa, tersenyum lembut menyambut Pandu.
"Kami sudah memikirkan semuanya," ucap Pak Darma langsung ke pokok pembicaraan. "Kamu tidak perlu mengambil alih perusahaan sepenuhnya sekarang. Kami bisa memberimu lebih banyak fleksibilitas. Kamu akan tetap terlibat, tapi dengan waktu yang lebih bisa diatur. Itu akan memudahkanmu untuk tetap menjaga Karin."
Pandu terdiam sejenak, mendengar dengan saksama. Tawaran ini terdengar menarik, tapi di baliknya ia tahu bahwa semakin ia masuk ke dalam bisnis keluarga, semakin sulit baginya untuk lepas.
"Aku tahu ini tidak mudah," lanjut Pak Darma. "Tapi ini adalah kesempatan bagi kita semua. Perusahaan tetap berjalan, kamu tetap bersama Karin. Apa yang bisa lebih baik dari itu?"
Pandu menghela napas. "Tawaran ini terdengar baik, tapi aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya, Pa."
Ibunya tersenyum tipis. "Pandu, kami hanya ingin kamu bahagia. Jika ini bisa membuat semuanya lebih mudah untukmu dan Karin, kenapa tidak?"
Setelah pertemuan itu, Pandu pulang dengan pikiran penuh. Malamnya, ia duduk bersama Karin di ruang tamu. Suasana rumah terasa tenang, hanya suara angin di luar yang terdengar samar.
"Karin," kata Pandu, memecah keheningan, "keluargaku mengajukan tawaran baru. Mereka bilang aku bisa terlibat di perusahaan tanpa harus sepenuhnya meninggalkan kamu. Aku bisa membagi waktu."
Karin menatap Pandu dengan tatapan cemas. Dia tahu betapa sulit situasi ini untuk suaminya, dan jauh di dalam hatinya, ia merasa bersalah karena Pandu harus menghadapi dilema ini.
"Itu bagus, kan?" tanya Karin perlahan, meski ia sendiri tak yakin.
Pandu mengangguk, tapi wajahnya tidak menunjukkan keyakinan. "Mungkin... Tapi aku juga tahu, kalau aku menerima ini, aku akan semakin terikat dengan keluarga. Dan kamu tahu, kamu masih butuh banyak perhatian."
Karin menggigit bibirnya, menunduk. "Aku tahu, Pandu. Aku masih sering kesulitan. Tapi aku juga nggak mau kamu kehilangan kesempatan untuk membantu keluargamu. Ibu kamu sakit, dan aku tahu bisnis itu penting buat mereka. Aku nggak mau jadi alasan kamu menolak sesuatu yang penting."
Pandu menatap Karin dengan penuh kasih. "Karin, kamu adalah prioritas aku sekarang. Keluargaku akan mengerti kalau aku harus lebih banyak di sini."
Karin tersenyum lemah, matanya mulai berkaca-kaca. "Pandu, aku juga nggak bisa terus-terusan bergantung sama kamu. Terapiku mungkin lambat, tapi aku tahu aku harus lebih kuat. Kamu bisa terlibat dalam bisnis keluarga dan tetap ada untuk aku. Aku yakin kita bisa cari keseimbangan."
Pandu terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Kamu yakin? Aku nggak mau kamu merasa ditinggal."
Karin mengangguk, meski hatinya masih ragu. "Aku yakin. Ini kesempatan untuk kamu. Jangan sia-siakan, Pandu. Aku akan baik-baik saja. Kita akan cari cara."
Keesokan harinya, Pandu menemui ayah dan ibunya lagi. Kali ini, hatinya sudah lebih mantap, meskipun tidak sepenuhnya tanpa keraguan.
"Aku sudah bicara dengan Karin," kata Pandu pelan tapi tegas. "Aku setuju untuk menerima tawaran ini, dengan satu syarat."
Pak Darma dan ibunya menatapnya dengan penuh perhatian.
"Aku harus bisa membagi waktu dengan Karin. Aku tidak bisa sepenuhnya menyerahkan seluruh waktuku ke bisnis. Kalian tahu, dia masih berjuang dengan OCD-nya, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja."
Pak Darma terdiam sejenak, tampaknya mempertimbangkan kata-kata Pandu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baik. Kami bisa menghormati itu. Asalkan kamu tetap terlibat dalam keputusan-keputusan penting, kita bisa atur jadwal yang fleksibel."
Ibunya tersenyum. "Aku bangga padamu, Pandu. Kamu tahu bagaimana mengutamakan yang penting."
Pandu merasa lega, meski ia tahu kompromi ini tidak akan mudah.
Malam itu, Pandu kembali ke rumah, membawa kabar kepada Karin bahwa ia menerima tawaran keluarganya, dengan syarat yang telah disepakati.
"Jadi, bagaimana rasanya jadi pria yang punya dua tanggung jawab besar?" tanya Karin sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Pandu tertawa kecil, meski wajahnya menunjukkan kelelahan. "Rasanya... seperti berjongkok di antara dua kursi. Nggak yakin bisa tetap duduk di salah satunya."
Karin tertawa pelan. "Yah, kita akan coba sebaik mungkin. Aku nggak akan biarin kamu jatuh, janji."
Pandu menarik Karin ke dalam pelukannya, mencium puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. "Dan aku juga nggak akan biarin kamu jatuh. Kita jalanin ini sama-sama."
Namun, meski ada tawa dan pelukan di antara mereka, di balik hati keduanya, ada rasa takut yang belum sepenuhnya hilang. Bagaimana jika kompromi ini tidak berjalan seperti yang mereka harapkan?
Di tengah malam yang tenang, Pandu mendapatkan pesan teks dari asistennya di perusahaan. "Pak, ada masalah besar di divisi keuangan. Kita harus segera bertemu untuk membicarakannya."
Pandu membaca pesan itu dengan mata terbelalak, merasakan beban lain yang mulai menghantui.