Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
"Empat Minggu? Kalau begitu, sebaiknya kalian menikah dua atau tiga hari lagi. Jangan terlalu lama membuat persiapan." Ucap Robby memutuskan.
Menantu? Menikah dua atau tiga hari? Dara masih memproses percakapan mereka.
"Tunggu sebentar! Dia bilang hanya sekertaris kamu saja. Lalu bagaimana bisa kamu menghamili dia? Dan apakah benar itu darah daging kamu? Banyak wanita yang ingin menikah dengan kamu, Brama. Bisa jadi, dia hanya bersandiwara agar menjadi bagian dari keluarga kita." Ucap Astrid tak ingin langsung percaya dengan semua ini.
Brama melirik Gilang dan Dara bergantian.
"Nona, Anda sebaiknya istirahat dulu. Biar kami yang mengurus undangannya," ucap Gilang dengan sopan.
Gilang segera memanggil para pelayan. Siska segera mengajak Dara keluar dari ruangan itu. Dara pun hanya menurut saja karena dirinya masih sangat terkejut.
Setelah tak ada lagi orang di dalam ruangan, kecuali dirinya dan kedua orang tuanya, Brama lantas menceritakan secara lugas kejadian malam itu. Bahkan, terlalu detail hingga mengatakan kepada mereka jika dialah yang telah merenggut kesucian Dara.
"Mama tidak perlu khawatir. Dara bersih dan tidak pernah di sentuh pria mana pun, aku sendiri yang membuktikan," kata Brama bersungguh-sungguh.
Astrid menyambar bantal sofa, kemudian berjalan didepan Brama dan mulai memukuli anaknya.
"Kamu kurang ajar sekali! Kamu sudah merusak masa depan seorang gadis baik-baik dan kamu malah terlihat bangga karena hal itu?" Ucap Astrid marah besar.
Brama melindungi diri dan berkelit dari amukan sang ibu.
"Lalu aku harus bagaimana? Semua sudah terlanjur. Dara juga terlihat pantas menjadi istriku" ucap Brama.
"Pa! Kenapa Papa diam aja? Lihat ulah anak kamu ini!" Pekik Astrid.
Robby berdeham setiap kali bingung menjawab sang istri.
"Kita sebentar lagi punya cucu. Jangan memperlakukan pria yang sebentar lagi menjadi ayah seperti anak kecil begitu, Ma," balas Robby halus.
"Ada satu hal lagi yang harus Papa dan Mama tahu," ucap Brama sebelum mendapat amukan Astrid lagi.
Brama pun memberitahu orang tuanya tentang keluarga Dara dan alasan gadis itu menggunakan nama belakang keluarga ibunya saat ini. Juga Dara yang merupakan mantan tunangan Aldo Meyson, serta informasi yang didapatkan Brama mengenai Dara pun di sampaikan semuanya.
Astrid jatuh terduduk di sofa dengan banyak pikiran dibenaknya. Brama sudah mengambil calon istri keponakannya sendiri. Bagaimana nanti jika keluarga Meyson sampai menyalahkan mereka atas perbuatan Brama?
Karena masalah itu juga yang membuat Brama harus mengakui segala perbuatannya kepada Robby dan Astrid. Suatu hari nanti, masalah tersebut bisa melebar jika orang tuanya tahu dari orang lain lebih dulu.
"Jadi, dia adalah Dara Fauza? Astaga, selama ini aku belum sempat bertemu dengannya karena keluarga Fauza lebih dekat dengan besan." Ucap Robby mengusap wajahnya dengan kasar.
"Apa kamu sudah tahu siapa orang yang memberi kamu obat menjijikkan itu?" Tanya Astrid.
"Mama tidak perlu memikirkan itu. Aku sudah mengurus semuanya. Sekarang, mama cepat pilih undangan pernikahan aku sama Dara. Karena kami berdua akan menikah tiga hari lagi, kita harus segera menyebar undangan ini," desak Brama.
"Tidak bisa sekarang! Kamu harus menunggu sampai Aldo dan putri kedua keluarga Fauza menikah lebih dulu," kata Astrid dengan wajah serius.
Brama tak mau dan tak bisa menunggu selama itu!
"Mama kamu benar, Brama. Daralah yang akan dirugikan karena dianggap sebagai wanita serakah yang memutuskan pernikahan dengan Aldo hanya karena ingin mendapatkan pria yang lebih baik dan kaya." Ucap Robby membela istrinya.
"Lalu bagaimana dengan anak aku?" Ucap Brama berdecak kesal.
Dia tak ingin Dara melarikan diri darinya selama menunggu pernikahan Aldo yang akan dilangsungkan dua Minggu kemudian.
"Kalian bisa menikah secara hukum lebih dulu. Kita akan mengadakan pesta pernikahan kalian sebulan kemudian. Dengan begitu, kamu juga akan mendapat dukungan orang-orang karena menyelamatkan Dara dari kegagalan pernikahannya dengan keluarga Meyson. Dara pun tak perlu mendapatkan cibiran orang-orang," jelas Robby.
Tetap saja, sebulan terlalu lama bagi Brama. Dia tak ingin menyembunyikan fakta bahwa dirinya telah menikah dengan seorang wanita. Brama akan mencari cara supaya pernikahan Aldo dan Ayra bisa terlaksana secepatnya!
***
Dara sudah menjadi lebih tenang sekarang. Walaupun bukan berarti dia telah menerima keputusan Brama menikahi dirinya.
Dia hanya ingin hidup tenang setelah keluar dari perusahaan Pranaja dan tak ingin lagi berhubungan dengan Brama ataupun semua yang berhubungan dengan masa lalunya. Di samping itu, jika Dara menikah dengan Brama, dia akan sering bertemu dengan Aldo dan Ayra.
Walaupun sudah bertekad melupakan mereka, Dara masih merasa sakit ketika melihat kebersamaan Aldo dan Ayra. Rasa cinta yang dipupuk sejak kecil pada Aldo, tak mungkin bisa terlupakan dalam sekali kedipan mata.
Karena itu, Dara sempat berencana pergi jauh dari kota ini. Mencari pekerjaan biasa yang tidak berhubungan dengan orang-orang penting, serta membesarkan anaknya seorang diri.
Dara ingin hidup damai tanpa gangguan dari orang lain. Sederhana saja keinginannya sekarang.
"Aku harus bilang sama Tuan dan Nyonya Pranaja kalau anak ini bukan anaknya Tuan Brama. Mereka akan ijinin aku untuk keluar dari sini dan ngak akan gangguin aku lagi," tekad Dara dalam hatinya.
Ketika pikiran Dara dipenuhi rencana-rencana pelariannya, pintu kamar terbuka tanpa ada yang mengetuk lebih dulu. Siapa lagi kalau bukan Brama yang dapat bersikap semaunya di rumah itu?
"Kebetulan sekali, aku bisa bicara dengan Tuan Brama lebih dulu," batin Dara
Dara memberanikan diri sambil mengepalkan kedua tangan dengan erat. Dia berdiri menanti Brama yang sedang berjalan ke arahnya.
"Siapa yang ijinkan kamu turun dari ranjang? Aku tidak ingin anak aku dalam bahaya karena kecerobohan kamu," ucap Brama dingin.
Meskipun sebenarnya dia ingin berucap lebih lembut pada Dara, kebiasaannya tak bisa berubah secepat itu.
"Tuan Brama, saya ingin mengatakan sesuatu kepada Anda. Anda sudah salah paham akan satu hal, Tuan. Anak yang ada di dalam kandungan saya bukanlah anak Anda." Ucap Dara sambil menatap lekat pada Brama.
Mata Dara bergetar tatkala Brama menunjukkan tatapan tajam dan mengintimidasi seraya mengikis jarak di antara mereka. Dada Dara bergemuruh hebat ketika mencium aroma parfum maskulin yang samar-samar diingatnya.
"Sungguh? Lalu anak siapa yang kamu kandung? Dan bukankah kalung ini milik kamu?" Ucap Brama meladeni kebohongan Dara.
"Anda benar. Saya memang pemilik kalung yang ada di leher Anda itu. Tetapi, Anda keliru satu hal, Tuan. Saya, saya tidak hanya melakukan itu dengan Anda, saya juga melakukan itu dengan pria lain. Dan saya yakin, anak ini adalah anak pria itu." Ucap Dara dengan tegas, namun dalam hatinya sangat berat mengatakan kebohongan yang menjijikan itu.
Bisa-bisanya Dara membuat kebohongan besar hanya karena tak mau menikah dengannya. Harga diri Brama terasa tercabik-cabik karena Dara seolah sedang menolak dirinya.
"Oh iya?" Tanya Brama dengan wajah tak percaya.
Dara mengangguk dengan cepat. Dia pikir, Brama percaya dengan ucapannya jika dilihat dari wajahnya yang tampak keruh untuk sesaat.
"Aku tidak peduli." Ucap Brama tersenyum miring.
"A-apa?! Anda tidak bisa bersikap egois seperti ini, Tuan! Anak ini harus hidup bersama ayah kandungnya!" Ucap Dara.
Brama melewati Dara dan menghempaskan badan ke kasur, lalu menyandarkan punggung di kepala ranjang.
"Kamu juga keliru akan satu hal, Dara Pranaja. Aku tidak peduli kamu suka ataupun tidak. Jika aku sudah memutuskan untuk menikah dengan kamu, maka kita tetap akan menikah apa pun yang terjadi. Tidak ada penolakan!" Ucap Brama dengan nada final.
Dara baru tahu, meskipun telah bekerja hampir satu bulan bersama Brama. Ternyata, apa yang dikatakan orang-orang mengenai pria itu benar adanya.
Brama merasa dunia hanya berputar di sekelilingnya. Dialah yang berhak memutuskan segala sesuatu tanpa memikirkan pendapat orang lain. Pria arogan dan dominan yang tak bisa di sanggah atau di tolak keinginannya.
Akan tetapi, Dara juga enggan kehilangan kebebasannya.
"Maaf, Tuan Brama. Tapi saya berhak memutuskan mau menikah atau tidak." Ucap Dara.
"Kalau begitu, keluar dari rumah ini sekarang juga kalau tidak ingin menikah dengan aku," ucap Brama mengusir tanpa ekspresi.
Sungguh? Semudah itu Brama akan melepaskannya?
Dara pun tak akan membuang kesempatan supaya bisa pergi dari tempat itu. Dia hendak berbalik, tetapi baru dua langkah saja, Brama melontarkan ucapan yang membuat bulu kuduk Dara meremang dan otot-ototnya menegang sehingga tak bisa beranjak dari tempatnya.
"Setelah kamu keluar dari rumah ini, aku tidak akan membiarkan kamu membesarkan darah dagingku," ucap Brama tegas.
"A-apa maksud Anda?" Tanya Dara seraya menoleh ke arah Brama.
Brama melompat dari ranjang, lalu berjalan mendekati Dara.
"Menikah atau gugurkan kandungan. Mana yang kamu pilih?" Tanya Brama dengan suara rendah.
"A-apa?!"pekik Dara.
"Waktunya istirahat. Jangan terlalu banyak pikiran dan kelelahan. Aku akan menyuruh pelayan untuk menyiapkan makan siang bergizi untuk kamu dan calon anak kita." Ucap Brama menepuk pundak Dara dua kali, lalu berjalan keluar.
Saat Brama mencapai pintu, dia pun berkata.
"Kita akan menikah besok lusa dan hanya akan melangsungkan pernikahan di rumah ini. Aku juga akan mengundang teman baik kamu yang ingin sekali melabrak aku. Siapa namanya? Aleta Rawal, bukan?" Ucap Brama berlalu pergi meninggalkan Dara yang terpaku di tempatnya.
"Bagaimana dia bisa tahu? Apa dia membuntuti aku selama ini?" Batin Dara.
Dara merosot jatuh duduk di lantai. Kakinya terasa lemas tak berdaya.
Konyol sekali. Dara sudah berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri dari Brama. Ternyata, Brama sudah tahu sejak lama dan bahkan sampai menguntitnya!
Selain itu, apakah dia benar-benar akan menikah dengan Brama?
Ditempat lain, Brama sedang tersenyum kecil saat berjalan ke tempat ibunya. Tak ada yang tahu, jantung pria itu berdenyut kencang tatkala Dara menatapnya dengan mata terbuka lebar karena terkejut oleh keputusannya.
Brama seakan-akan tenggelam ke dasar samudera yang menenangkan tatkala melihat mata indah itu. Dan sebentar lagi, pemilik mata indah itu akan menjadi miliknya seorang.
"Mama? Dimana dia?" Tanya Brama kepada pelayan karena mencari-cari ibunya di kamar, namun Astrid tak tampak di sana.
"Nyonya sedang berbelanja, Tuan," jawab salah seorang pelayan.
"Belanja? Tumben sekali," gumam Brama.
Astrid saat ini tengah berada di pusat perbelanjaan, memborong barang di setiap toko perlengkapan bayi dan anak-anak untuk cucunya. Tentunya, Astrid sangat antusias menanti kelahiran cucu dari putra satu-satunya.
Setelah selesai berbelanja, Astrid segera pulang dan menemui Dara. Dia mengintip ke dalam kamar Dara dan melihat calon menantunya sedang duduk melamun menghadap keluar jendela sambil memegangi perutnya.
"Dara," panggil Astrid lirih.
Dara tak mendengarnya, Astrid pun langsung masuk menghampiri Dara.
"Jangan banyak melamun," ucap Astrid sambil tersenyum.
Dara tersentak dari lamunannya ketika merasakan sentuhan lembut di pundaknya. Dia langsung menunduk saat melihat Astrid ada di hadapannya.
Takut. Itulah yang sedang di rasakan Dara sekarang. Dara takut di anggap sebagai wanita murahan yang menggoda anak Astrid. Bahkan Astrid pun sempat tak mempercayai dirinya.
(Beruntungnya Dara karena di layani bagaikan ratu dan di sayang bagaikan berlian. Orang baik selalu mendapatkan yang terbaik, walau harus menghadapi berbagai rintangan dan cobaan yang berat. Apakah yang akan terjadi ? Apakah Dara dan Brama akan menikah? Apakah Brama adalah pasangan yang tepat untuk Dara?Tunggu next partnya ya...)