NovelToon NovelToon
Dua Hati, Satu Takdir

Dua Hati, Satu Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar
Popularitas:10.9k
Nilai: 5
Nama Author: Laura Putri Lestari

Maya Elina Putri dan Mila Evana Putri adalah sepasang anak kembar yang meski lahir dari rahim yang sama, memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Maya dengan kecerdasannya dan Mila dengan kenakalanya. Kedua orang tua mereka seringkali membedakan Mereka Berdua. Maya selalu mendapatkan pujian, sementara Mila lebih selalu mendapatkan teguran. Namun ikatan mereka sebagai saudara kembar tetap kuat. Mereka saling menyayangi dan selalu mendukung satu sama lain.

Arga, kapten tim basket di sekolah mereka, adalah sahabat dekat Mila. Mila secara diam-diam menyimpan perasaan lebih kepada Arga, tetapi ia tak pernah berani mengungkapkannya. Ketika Arga mulai menunjukkan ketertarikan pada Maya, hati Mila hancur. Arga memilih Maya, meyakini bahwa hubungannya dengan Mila hanyalah sebatas persahabatan. Hal ini membuat Mila merasa dikhianati oleh takdir, apalagi ketika Maya dan Arga resmi berpacaran. Luka di hati Mila semakin dalam, dan dia mulai menaik diri dari Maya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masih dengan Paksaan

Beberapa minggu setelah percakapan emosional antara Maya dan Mila, suasana di rumah sedikit membaik. Meskipun ketegangan masih terasa di udara, setidaknya Mila mulai terbuka dengan Maya. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, meski Maya tahu luka di hati Mila masih jauh dari sembuh.

Namun, masalah antara Mila dan orang tua mereka masih belum terselesaikan. Orang tua mereka tetap teguh dengan keputusan mereka—Mila tidak diizinkan untuk menggunakan motor lagi, dan dia juga dilarang pergi ke pantai. Bagi Mila, ini adalah keputusan yang sangat menyakitkan, seolah-olah kebebasan yang dia cintai telah diambil darinya.

Suatu pagi, ketika Maya sedang sarapan di meja makan, Mila masuk ke dapur dengan wajah kusut. Dia duduk di seberang Maya dan hanya menatap ke cangkir kopinya yang masih penuh.

“Kamu nggak tidur lagi semalaman?” tanya Maya dengan nada cemas.

Mila hanya mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa. Maya merasa khawatir melihat keadaan adiknya yang semakin hari semakin terlihat tidak bersemangat.

“Kamu mau cerita?” Maya mencoba membuka percakapan, berharap bisa sedikit membantu mengurangi beban di hati Mila.

Mila menatap Maya sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Gue nggak tau harus cerita apa lagi, May. Gue udah capek dengan semua ini. Mama sama papa tetap nggak akan pernah ngertiin apa yang gue rasain.”

Maya meraih tangan Mila, mencoba memberikan dukungan. “Mila, aku udah bilang kalau kita bakal hadapi ini bareng-bareng. Aku bisa bantu kamu bicara sama Papa sama Mama lagi, coba mereka ngerti.

Mila menggeleng pelan. “Nggak akan ada gunanya, May. Mereka udah bikin keputusan. Gue cuma harus terima kenyataan kalau gue nggak punya pilihan lagi.”

Maya merasa sedih mendengar kata-kata adiknya. Dia tahu betapa keras kepala orang tua mereka, tetapi dia juga tahu bahwa mereka hanya ingin yang terbaik untuk Mila. Namun, dia juga memahami perasaan Mila yang merasa terkurung oleh aturan-aturan yang menurutnya tidak adil.

Saat mereka sedang berbicara, tiba-tiba pintu depan terbuka dan papanya masuk dengan wajah yang tampak serius. Maya dan Mila langsung terdiam, suasana mendadak menjadi canggung.

“Ada yang mau Papa bicarakan dengan kalian berdua,” ujar papanya dengan nada yang tegas.

Maya dan Mila saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengikuti papanya ke ruang tamu. Di sana, mamanya sudah duduk dengan wajah yang tampak murung. Papanya duduk di sofa dan menatap kedua anaknya dengan mata yang penuh dengan emosi yang sulit diartikan.

“Kami berdua sudah memikirkan ini baik-baik,” papanya memulai dengan hati-hati. “Kami tahu kalian berdua sedang dalam masa yang sulit, terutama kamu, Mila. Tapi kami rasa, ada beberapa hal yang perlu kalian ketahui.”

Mila menegang, sementara Maya merasakan jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu dalam nada suara papanya yang membuatnya merasa cemas.

“Kalian tahu kalau kami selalu ingin yang terbaik untuk kalian. Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik, meskipun mungkin caranya tidak selalu benar,” lanjut papanya. “Tapi ada satu hal yang mungkin selama ini tidak kalian ketahui, dan kami merasa ini saatnya kalian mengetahuinya.”

Maya dan Mila saling memandang dengan kebingungan, tidak tahu apa yang akan diungkapkan oleh orang tua mereka.

“Dulu, sebelum kalian lahir, Mama pernah mengalami kecelakaan yang sangat parah. Mama sempat koma selama beberapa minggu, dan ketika Mama akhirnya sadar, dokter mengatakan bahwa kemungkinan Mama untuk punya anak sangat kecil,” papanya berhenti sejenak, menatap ke arah mamanya yang menundukkan kepala dengan ekspresi sedih.

Mila tampak semakin bingung, tetapi dia tetap diam mendengarkan.

“Ketika Mama hamil kalian berdua, itu adalah mukjizat bagi kami. Kami merasa sangat bahagia, tapi juga sangat takut. Kami takut kehilangan kalian, takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi,” kata papanya dengan suara yang mulai bergetar.

Maya merasa hatinya mulai terenyuh mendengar cerita yang selama ini tidak pernah dia ketahui. Dia menatap mamanya yang kini mulai menangis pelan, menyeka air mata yang jatuh di pipinya.

“Kami melarang kamu, Mila, bukan karena kami tidak peduli atau tidak mendukung kamu. Kami hanya takut kehilangan kamu,” lanjut papanya. “Kecelakaan yang kamu alami kemarin… itu mengingatkan kami pada trauma masa lalu. Kami tidak mau itu terjadi lagi.”

Mila terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ada perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam dirinya—antara kemarahan, kesedihan, dan simpati. Dia tidak pernah membayangkan bahwa orang tua mereka menyimpan rasa takut yang begitu dalam.

“Mila, kami tahu ini tidak adil untukmu. Kami tahu kamu merasa terkurung, dan kami minta maaf untuk itu. Tapi kami juga berharap kamu bisa mengerti perasaan kami,” ujar mamanya dengan suara yang penuh dengan kesedihan.

Mila menundukkan kepala, merasa air mata mulai mengalir di pipinya. “Ma, Pa… Aku cuma pengen kalian ngerti perasaan aku juga. Aku ngerti kalian takut, tapi aku juga pengen punya kebebasan buat ngejar apa yang aku suka.”

“Kami minta maaf, Mila. Kami akan mencoba lebih mengerti kamu, tapi kami juga mohon, kamu bisa sedikit mengerti ketakutan kami.” Kali ini mamanya yang angkat bicara

"Kalian itu selalu seperti itu, dari aku kecil hingga sekarang kalian selalu ngelarang aku untuk melakukan semuanya. aku memang gak pandai di bidang akademis tapi aku juga berusaha di sana. aku Bermotor itu bukan untuk balapan, aku merasa tenang aja saat mengendarai motor dan pergi mengelilingi kota bandung"

Mila berhenti sejenak, menghapus air mata yang terus mengalir dari pipinya. Suaranya mulai meninggi saat dia melanjutkan, "Aku juga suka ke pantai bukan untuk hal yang nggak penting, tapi karena di sana aku bisa merasa bebas, bisa merasa semua masalah itu hilang sejenak. Tapi setiap kali aku pengen melakukan hal-hal yang bikin aku bahagia, kalian selalu bilang nggak boleh, bilang itu berbahaya!"

“Mila, kami tidak pernah bermaksud untuk membuat kamu merasa seperti itu. Kami hanya ingin melindungi kamu.”

“Tapi dengan cara kalian yang seperti ini, kalian nggak sadar malah bikin aku merasa terpenjara. Setiap kali aku mau melakukan sesuatu, kalian selalu melarangnya. Aku udah berusaha untuk jadi anak yang baik, tapi apa hasilnya? Aku malah merasa gagal, aku merasa nggak pernah bisa bikin kalian bangga.”

Mila merasa semakin frustasi. Semua yang dia katakan seolah-olah hanya lewat begitu saja di telinga orang tuanya. Setiap kata, setiap perasaan yang dia ungkapkan, seakan-akan tidak ada artinya. Dia melihat mamanya yang kembali menunduk dengan mata berkaca-kaca, sementara papanya hanya bisa menghela napas panjang.

“Mila, kami mengerti kalau kamu merasa terkurung,” papanya akhirnya bicara, suaranya terdengar lelah. “Tapi ini semua demi kebaikanmu. Kamu harus percaya bahwa kami melakukan ini karena kami peduli padamu.”

Mila menggeleng, matanya masih dipenuhi dengan amarah dan kekecewaan. “Itu masalahnya, Pa. Kalian selalu berpikir bahwa kalian tahu apa yang terbaik buat aku. Tapi kalian nggak pernah benar-benar mendengar apa yang aku mau. Aku cuma pengen kalian percaya sama aku, percaya bahwa aku bisa menjaga diri aku sendiri.”

Mila menghela napas panjang, merasa terlalu lelah untuk melanjutkan perdebatan ini. “Terserah, Pa. Aku nggak akan minta apa-apa lagi. Aku akan lakukan apa yang kalian mau, tapi jangan harap aku bisa merasa bahagia.”

Papanya terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Mila sudah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pergi meninggalkan mereka bertiga.

1
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
lanjut Thor
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
siapa sih yg dendam ma mila.. 🤔
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
nyeseknya... 😭😭😭😭
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
lah punya orang tua tapi tidak pernah adil sikapnya kepada anak, ini yg bikin anak dan orang tua jauh...
aca
moga aja bs kabur
aca
pergi aja lah bertele tele bgt ne novel
aca
semangat mil
aca
pergi aja mila pindah sekolah cari kehidupan sendiri
Hafis Ramadhan
jadi nyesek bacanya,, jangan2 raihan sekongkol sama manya buat ngehancurin mila
Rina Nurvitasari
ceritanya bagus menarik dan bikin penasaran pengen membaca terus👍👍👍
aca
kasian qm mil
aca
moga bahagia mil
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
mila kayaknya di tipu ma raihan deh..
dan Siapakah orang itu?
Hafis Ramadhan
cuma di permaninin mestinya si mila
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
Luar biasa
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
yang sabar mila, suatu saat pasti kamu mendapatkan kebahagiaan...
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
kok aku jadi merasa maya takut tersaingi ma mila ya, seandainya mila berhasil di kompetisi ini... maya bukanya mendukung tapi kayak keberatan kalo mila ikut kompetisi nya...
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
jangan² farhan suka ma mila nih🤔
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
good mil...
💞🅒🅗🅐🅝🅣🅘🅚༊⃝𖥯
semangat mil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!