Hasrat Seorang Gangster

Berita mengejutkan itu menyebar dengan cepat seperti api yang membakar hutan kering. Di seluruh sudut ibu kota, orang-orang memperbincangkan rekaman skandal tersebut.

Kantor Thomas yang biasanya tenang dan sibuk dengan urusan bisnis, kini berubah menjadi pusat keramaian dengan wartawan yang berkerumun di luar, menunggu komentar dari sang pemilik perusahaan.Thomas yang biasanya penuh percaya diri, kali ini terlihat terpukul dan tak berdaya. Wajahnya yang merah padam menunjukkan rasa malu dan marah yang tak bisa dia sembunyikan. Rekaman itu jelas menunjukkan dirinya dalam situasi yang sangat memalukan bersama Beautiful, anak tirinya.

Di rumah, Aniza yang mendengar berita tersebut dari televisi, langsung merasa darahnya mendidih. Dia tidak bisa menahan amarahnya dan segera mencari Thomas.

Dengan langkah cepat, Aniza menuju ruang tamu di mana Thomas sedang duduk terpaku, matanya masih menatap layar televisi yang menayangkan berita tersebut. Tanpa berkata sepatah kata pun, Aniza meraih gelas di atas meja dan melemparkannya ke arah Thomas.

"Tidak tahu malu! Lihatlah apa yang kau lakukan tersebar begitu saja. Harus diletakkan di mana lagi harga diriku ini?" bentak Aniza, matanya berkilat-kilat penuh amarah. "Bahkan siapa Beautiful juga diungkapkan begitu detail!"

Thomas mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa sakit hati dan kemarahannya. "Gracia...dia yang melakukannya. Untuk membalas dendam padaku," ucapnya dengan suara gemetar."Kalau begitu cepat selesaikan masalah ini!" ketus Aniza dengan nada penuh kebencian."Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi kau harus menghentikan semua ini sekarang juga!"

Gracia berdiri di ujung tempat tidurnya, melihat berita yang menayangkan skandal yang telah ia rencanakan. Meskipun rencananya berhasil, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Ada kekosongan di matanya yang tidak bisa diisi oleh dendam yang telah terbalaskan.

Darson, yang baru saja bangun, bangkit dari tempat tidurnya dan memeluk Gracia dari belakang, mencium lehernya dengan lembut. Tubuhnya yang tanpa pakaian di bagian atas, berusaha memberikan kehangatan pada Gracia.

"Kenapa aku tidak melihat senyumanmu? Kamu telah berhasil membalas dendam. Seharusnya kamu bahagia," bisik Darson, suaranya serak dan menggoda.

"Tapi aku tidak merasakannya," jawab Gracia, suaranya datar dan tanpa emosi.

Darson memperdalam ciumannya di leher wanita itu, memeluknya lebih erat. "Kalau begitu lupakan saja, nikmati saja hidup bersamaku. Asalkan kamu tetap setia padaku, aku tidak akan menyia-nyiakanmu," ucap Darson dengan nada meyakinkan.

"Apakah kau pernah berpikir, kalau wanita yang pernah berkencan denganmu bukan aku. Apakah kau akan kecewa?" tanya Gracia, suaranya mengandung kegetiran.

"Kecewa! Tapi aku harus tahu apa tujuannya melakukan itu padaku," jawab Darson tanpa ragu.

"Siapa yang akan kau pilih jika orang itu kembali dan muncul di hadapanmu?" Gracia berbalik, menatap Darson dengan intens.

"Kamu peduli soal pilihanku?" tanya Darson, matanya menelisik Gracia.

"Aku hanya ingin mengingatkanmu, kalau kamu memilihnya tolong ceraikan aku. Aku ingin menjalani hidupku dengan tenang," jawab Gracia dengan tegas, namun ada getar ketakutan di suaranya.

"Aku tidak tahu apa keputusanku di saat itu. Yang jelas adalah aku masih menginginkanmu memuaskanku setiap aku menginginkan tubuhmu," ucap Darson dengan nada posesif, lalu ia mengangkat Gracia ke atas kasur.

Tanpa menunggu, ia mulai melepaskan pakaiannya, mendekati Gracia dengan penuh gairah. Setiap sentuhan Darson semakin mendalam, tubuh Gracia merespons dengan gemetar.

Dengan satu gerakan kuat, Darson mencapai puncak kenikmatan, tubuhnya mengejang seiring dengan gelombang yang menghantamnya. Gracia mengikuti tidak lama kemudian, tubuhnya bergetar hebat di bawah Darson, mencapai klimaks yang memuaskan.

Setelah beberapa saat, Darson menatap Gracia yang terbaring lemas, wajahnya menunjukkan kelelahan dan kepuasan.

"Kamu tahu," Darson berkata dengan suara serak, "aku tidak pernah puas hanya dengan satu kali. Kita belum selesai."

"Kalau begitu kau hanya bisa menjadi milikku, selagi aku masih sebagai istrimu," bisik Gracia sambil memeluk suaminya erat.

Darson melanjutkan ciuman bibir mereka, menikmati setiap inci tubuh istrinya. Setelah satu jam penuh dengan desahan dan erangan, mereka berdua mencapai puncak kenikmatan berulang kali.

Pagi itu, Darson berangkat kerja dengan senyum yang tidak bisa hilang dari wajahnya. Ia duduk di kursi kantor, mengingat kembali bisikan Gracia yang membuat hatinya melambung. "Kalau begitu, kau hanya bisa menjadi milikku," suara Gracia terus terngiang di pikirannya, memberikan kebahagiaan yang aneh dan mendalam.

Tak lama kemudian, pintu kantornya terbuka. Seorang wanita yang sangat mirip dengan Gracia muncul, mengenakan dress ketat yang memperlihatkan tubuh langsing dan belahan dada yang seksi. Mata Darson terpaku pada wanita itu, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Lama tidak bertemu, Darson," sapanya dengan senyum menggoda.

Darson bangkit dari tempat duduknya, hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Ia mengenal wanita itu yang pernah berkencan dengannya. "Kau...adalah Gracia?" tanya Darson memastikan, suaranya bergetar.

"Iya, aku adalah Gracia milikmu. Aku kembali untuk menikah denganmu," jawabnya dengan senyum penuh arti.

Tanpa memberi Darson kesempatan untuk merespons, wanita itu langsung mencium bibirnya dengan dalam, memeluknya erat.