Peraturan aneh yang ada di kampung halaman mendiang ibunya, membuat Maya dan Dika harus mengungkapnya.
Mereka seakan diminta oleh para tak kasat mata itu untuk membuka tabir kebenaran, akan adanya peraturan tak boleh keluar masuk desa saat hari mulai gelap.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kisah pasutri ini saat mendapat gangguan para tak kasat mata?
Baca secara runtun tanpa lompat bab agar dapat memahami dengan baik ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Jakarta, 2022
"Bu Maya, saya tidak terima rumah saya bekas rumah pesugihan!" tegas Sania setelah mendengar penjelasan dari Maya.
Sementara Winda dan Ayu terus menenangkannya.
Hanya menghela nafas panjang, Maya menghubungi suaminya untuk pulang ke rumah menemui mereka. "Bicarakan saja sama suami saya."
Hingga setibanya tiga gadis itu bertemu Dika dan meminta uangnya dikembalikan, Dika dan Maya hanya saling berpandangan.
"Kamu pindah saja ke rumah ibu saya, anggap saja sebagai ganti rugi, rumah kamu yang sekarang ditukar dengan rumah yang lain," cetus Maya.
"May," sahut Dika merasa istrinya tak perlu sampai mengorbankan rumah peninggalan ibunya.
Rumah ibu Maya memang juga ikut direnovasi, seuai dengan konsep perumahan yang ditentukan oleh perusahaan tempat Dika bekerja, hanya saja sengaja rumah itu tetap dibiarkan kosong dan tak ikut dijual.
Dika lalu meminta tiga gadis tersebut untuk kembali ke perumahan, dan tinggal di rumah ibu Maya sementara waktu. Sedangkan ia akan mencoba membereskan semua ini. Seakan emosinya kembali diadu kala masalah iblis ini kembali ada, ia mengepalkan tangannya.
"Tapi, Mas. Aku sudah tak mau lagi melihatmu berperang dengan mereka. Sudah lah, biarkan saja rumah ibu yang mereka tempati dan rumah mereka dibiarkan kosong," cegah Maya lirih.
Dika yang menolak, bersiap mengemasi beberapa pakaiannya untuk kembali ke desa.
"Kama ikut ya, Pa," sahut Kama yang baru pulang.
Maya dan Dika yang tak setuju dengan keikutsertaan anaknya, melarang Kama untuk ikut ke desa. Hal itu lantaran karena mereka ingin menjauhkan situasi mistis dari kehidupan sang anak, yang dianggap memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran makhluk tak kasat mata. Entah bagaimana bisa, sedari Kama lahir hingga saat ini, ia memang dinilai "spesial" oleh para makhluk tak terlihat itu.
Bukan tanpa alasan, dulu saat Kama masih sekolah, ia kerap disukai oleh para penunggu di sekolahnya, hingga setiap saat menampakkan gangguan itu hanya pada Kama. Maya dan Dika bahkan pernah membawa Kama kepada orang yang dianggap ahli dalam hal ini, untuk menutup mata batin anaknya. Tapi sayang, Kama memang dari lahir memiliki kemampuan ini. Yang mereka bisa lakukan sebagai orang tua adalah, menjauhkan Kama dari tempat-tempat yang memiliki kecenderungan terhadap hal-hal gaib.
Berbisik lirih, Maya menegur sang suami untuk tak kembali ke desa karena mereka sudah tak bisa mendapat bantuan dari Pak Kyai yang sudah meninggal beberapa tahun silam. "Aku tidak mau kamu dan Kama kenapa-napa, Mas. Mereka bukan lawanmu. Kesombonganmu akan kemenangan melawan mereka, hanya akan membuat mereka memiliki kawan."
Sayangnya, sikap keras kepala Kama yang menurun dari sang ayah, tak mampu dibendung. Ia memaksa ikut. Hingga orang tuanya pun akhirnya tak dapat melarangnya.
Seketika tiga gadis yang masih duduk di sofa itu tersenyum sumringah karena mereka akan kembali ke desa ditemani lelaki tampan.
***
"Kalian bisa tinggal di sini, tenang saja, tak akan ada gangguan meski sudah lama kosong. Karena kami sudah meminta salah satu warga yang dulunya merupakan warga kampung ini untuk membersihkannya setiap seminggu sekali," jelas Dika, kemudian bergegas pergi ke rumah Sania, diikuti Kama, meski Dika sudah memintanya untuk tetap di sana menemani tiga gadis di rumah ibu mertuanya.
"Iya, Mas. Di sini saja," rayu Winda berharap bisa berkenalan dengan Kama.
Menolaknya, Kama bertekad ingin ikut sang ayah.
Tepat saat hari mulai gelap, Dika yang geram akan masalah ini, seolah menantang penghuni rumah Sania itu.
"Keluar lah! Mau apa kalian masih di sini?" teriak Dika berbicara sendiri.
Tak ada jawaban dan sahutan apa pun, Dika memukul-mukul dinding seakan ingin mengusik ketenangan penghuninya. Ditelusurinya setiap sudut rumah, meminta mereka keluar menghadapinya. Sementara Kama tetap mengikutinya dari belakang.
Hingga kemudian, tercium bau wangi bunga kuburan, bercampur bau busuk.
"Dasar iblis terkutuk!" teriak Dika semakin menantang mereka.
"Pa," panggil Kama lirih, yang mengaku bulu kuduknya berdiri.
Tiba-tiba, Kama mendengar suara sosok nenek yang memanggilnya.
Cah ganteng, reneo.
(Anak tampan, kesini lah).
Dika yang tak bisa mendengarnya, terus memastikan anaknya tak kenapa-napa, meski Kama sedari tadi merasa tak nyaman.
Menggertaknya agar segera keluar, Dika kembali berteriak meminta mereka semua pergi dari rumah ini, karena bukan lah tempat mereka.
Angin kencang kembali mendera, kali ini tak disertai hujan. Sontak ingatan Dika kembali teringat pada kejadian puluhan tahun lalu. Saat di mana ia berjuang menyelamatkan warga desa dan istri juga anaknya.
Bibirnya tak berhenti melafalkan dzikir dan doa yang ia mampu.
Kowe sing ngopo neng kene, iki panggonanku!
(Kamu yang kenapa di sini, ini tempatku!)
Suara menggelegar itu kembali Dika dengar, setelah sekian lama tak terlintas dalam telinganya, suara dari sosok yang besar hitam legam, yang pernah dipuja oleh Pak Kades.
Terus berteriak mengusir para makhluk musuh Allah itu, Dika menyiramkan air garam yang sudah didoakannya. Anehnya, mereka justru menampakkan diri dengan jelas. Nenek dan sosok besar hitam legam itu seolah tak takut, mereka justru menertawakan aksi manusia yang ada di hadapan mereka.
Aku gelem ngaleh, tapi karo anakmu yo.
(Aku mau pergi, tapi bersama anakmu ya).
Suara itu disertai dengan tawa mengerikan dari sosok nenek bermulut lebar hingga mendekati telinga.
"Ora (tidak)!" tolak Dika berteriak.
Dika mengancam, akan membakar rumah ini lagi jika mereka tetap tak mau pergi.
Bukannya takut, tawa mereka semakin menggelegar dan mengerikan.
Seketika Dika pun tersadar akan ucapan sang istri sebelum keberangkatannya ke desa. Kesombongannya hanya akan menjadi bahan tertawaan mereka. Ia pun mengeluarkan kertas yang masih disimpannya, yang pernah diberikan Pak Kyai dulu. Perlahan ia membaca setiap ayat yang tertulis di kertas tersebut, hingga suasana yang menegang itu kembali tenang dan sunyi.
***
Setelah berdiskusi dengan pihak kantor, atasannya mengutus beberapa orang pintar dari penjuru kota untuk mencoba menyelesaikan hal ini.
Meskipun begitu, diskusi tentang rumah Sania ini begitu alot, karena Dika berkeinginan untuk menghancurkan rumah ini dan tak membangunnya lagi, berbeda dengan keinginan kantornya yang hanya memberikan solusi untuk menjual kembali rumah ini, yang sudah tak mau ditempati lagi oleh Sania.
"Saya hanya ingin menghormati keberadaan mereka, Pak. Mau dipindah tangankan seperti apa pun, mereka akan tetap berada di sana, yang dianggap rumahnya. Bagaimana pun, kita akan selalu hidup berdampingan dengan mereka. Setiap penghuni baru akan merasa rugi telah membeli rumah tersebut, dan kita tak bisa membohongi calon pembeli," tutur Dika menjelaskan.
Sayangnya, kantor tak akan semudah itu mau merugi dengan mengancurkan bangunan rumah yang sudah dibangun.
"Ini 'kan juga salahmu, Dik. Dari awal kamu yang sudah tahu kisah rumah itu, tak terbuka pada kantor. Jadi, tak seharusnya kantor menanggung kerugian akibat hal seperti ini," tegas atasannya.
Memang, ada andil Dika yang sengaja merahasiakan semua ini dari awal. Pikirnya, rumah yang sudah dibakar itu tak akan ada lagi penunggunya. Ternyata ia salah, makhluk-makhluk Laknatullah itu akan selalu ada, karena telah sengaja diundang dan diizinkan menetap di sana hingga puluhan tahun lamanya.
***
Orang-orang pintar nan tersohor utusan kantor pun telah hadir di rumah bekas pesugihan ini. Segala kemampuan mereka usahakan untuk membuat penghuninya menyerah. Tapi, opini mereka sama.
"Tanah ini ibarat tanah terkutuk. Mau dijadikan sebagai tempat usaha, rumah, kantor maupun apapun tak akan membuat mereka pergi. Justru memberikan ruang untuk mereka tetap tinggal. Satu-satunya jalan adalah dengan menghancurkan bangunannya."
Diskusi dengan pihak kantor pun kembali alot, hingga satu keputusan besar dan sulit harus Dika ambil sebagai bentuk pertanggungjawabannya, setelah berdiskusi dengan Maya.
Bukan bermaksud menyerah, tapi kapasitasnya sebagai manusia hanya bisa pasrah akan takdir dari Yang Maha Kuasa, biar lah para iblis itu berurusan dengan Sang Pencipta, atas kedurhakaannya.
"Saya dan istri saya merelakan rumah ibu kami untuk ditukar dengan rumah Sania, dia bersedia meninggalinya. Tak perlu kantor menanggung apapun, selain menyetujui pembongkaran bangunan rumah bermasalah itu."
Tak ingin masalah ini berkembang menjadi isu perumahan angker yang akan memberikan citra buruk perumahan, pihak perusahaan pun menyetujui keputusan Dika untuk merobohkan bangunan bekas pesugihan itu.
Hingga saat ini, rumah Pak Kades itu dibiarkan menjadi tanah kosong yang tak boleh ditumbuhi rumput liar sekalipun, apalagi dibangun bangunan sekecil apapun itu, untuk kepentingan apapun.
...****************...
...TAMAT...
author nya keren banget bisa bikin cerita dengan alur perpindahan yg mulus dan gak bertele-tele, semua penggambarannya tentang situasi dan kondisi terasa nyata karena dijabarkan dg jelas yang bisa ngebuat kita ikutan merinding..
singkatnya, kamu keren tor!! ditunggu kisah lainnya dari kamu
teruslsh berkarya 👍👍
Karyanya kereen sat set gak bertele2, i like it 💯👍❤
Ditggu karya laemya ka
Thanks 🙏