Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Maukah Kamu Menjadi Kekasihku?
Chef Robby mengajak Marsha untuk makan malam berdua di sebuah restoran bintang lima. Pria dewasa itu pun telah memesan tempat VIP, agar bisa leluasa mengobrol berdua dengan Marsha.
Melihat kedekatan Marsha dengan Aldo, membuat Chef Robby memasang status siaga satu. Ia tidak mau kecolongan dan berakhir gadis pujaan hatinya di ambil pria lain.
Pria dewasa itu ingin mengutarakan isi hatinya pada Marsha. Gadis itu mungkin tahu jika Chef Robby ada hati padanya. Dan malam ini, ia ingin memperjelas.
“Terimakasih sudah mau memenuhi undanganku, Sha.” Ucap Chef Robby mempersilahkan Marsha masuk ke dalam mobil pria itu.
Marsha mencebik. Mereka sudah sering makan malam berdua, namun hanya di dalam unit apartemen gadis itu.
Ini untuk pertama kalinya, Chef Robby mengajak makan malam di luar rumah.
“Apa Chef Robby baru mendapatkan bonus besar?” Tanya Marsha setelah mereka berdua telah duduk bersisian di dalam mobil.
Chef Robby terkekeh. “Belum. Sedang dalam proses. Doakan semoga proyekku diterima.” Gurau pria dewasa itu.
“Amin.” Jawab Marsha serius. Ia tidak tahu, jika dirinya yang dimaksud oleh Chef Robby.
Hanya memerlukan waktu selama dua puluh menit, mobil yang mereka tumpangi pun tiba di tempat tujuan.
Karena sudah memesan tempat terlebih dulu, saat memasuki restoran, mereka pun di sambut sedan di antar oleh seorang pramusaji menuju ruang VIP.
“Silahkan, pak, bu.” Pramusaji itu membuka buku menu dan menyerahkan pada Chef Robby dan Marsha.
“Kamu pesan apa, Sha?” Tanya Chef Robby.
“Apa ya?” Marsha nampak berpikir.
Mereka kemudian memesan beberapa menu makanan.
Hening meliputi ruang makan VIP itu setelah kepergian sang pramusaji. Chef Robby sedang memikirkan cara mengungkapkan perasaannya pada Marsha.
Selain itu, Chef Robby ingin mereka menikmati makan malam dengan santai, tanpa ada kecanggungan jika dirinya mengungkapkan perasaannya lebih dulu.
Melihat sang atasan hanya diam, Marsha pun tak banyak berbicara. Ia tidak tahu maksud dan tujuan Chef Robby mengajaknya makan berdua.
Larut dalam pikiran masing-masing, tanpa mereka sadari, pesanan makanan pun datang.
“Terimakasih, mbak.” Ucap Marsha kepada pramusaji yang menyajikan makanan di atas meja.
“Sama-sama. Selamat menikmati.” Balas pramusaji itu dengan ramah.
Chef Robby dan Marsha pun mulai menikmati hidangan yang tersaji di atas meja. Sesekali mereka bertukar menu untuk mengetahui rasa makanan yang di pesan.
Obrolan ringan membahas rasa makanan itu terdengar di sela-sela menikmati hidangan.
Setelah semua hidangan berpindah ke dalam perut masing-masing, mereka tertawa bersama. Entah apa yang lucu? Namun, keduanya tergelak saat mendapati piring-piring kosong di atas meja.
“Sha.” Chef Robby menghela nafas beberapa kali untuk meminimalkan debar jantungnya.
“Ya.” Marsha yang baru selesai menikmati sisa anggur di dalam gelasnya pun menoleh.
Gadis itu sedikit tersentak ketika Chef Robby meraih tangannya yang ada di atas meja.
“Ada hal yang ingin aku katakan padamu.” Ucap pria dewasa itu secara hati-hati.
Jantung Marsha tiba-tiba berdetak kencang. Ia bukanlah remaja belasan tahun lagi, gadis itu tahu kemana arah pembicaraan Chef Robby.
“Selama ini, kamu pasti sudah tahu jika aku memiliki perasaan padamu. Atau mungkin, kamu berpura-pura tidak mengetahuinya.” Pria dewasa itu terkekeh, kemudian kembali menghela nafas.
Marsha diam menyimak.
“Sha. Sebenarnya, tujuanku mengajak kamu makan berdua malam ini adalah, aku ingin mengutarakan isi hatiku, Sha. Aku sudah menyukai sejak pertama kali kita bekerja sama tiga tahun yang lalu.”
Marsha mengerajapkan mata berulang kali. Ia belum bisa memberikan tanggapan.
“Sha. Maukah kamu menjadi kekasihku?” Tanya Chef Robby kemudian, pria itu menatap wajah Marsha dengan teduh.
Marsha menarik tangannya dari genggaman tangan Chef Robby. Kepala gadis itu sejenak tertunduk.
“Maafkan aku, Chef.” Ucapnya lirih.
Ia kemudian memberanikan diri menatap Chef Robby.
“Maaf?” Pria dewasa itu mengerutkan dahinya.
“Ya. Aku minta maaf. Aku—Marsha menghela nafas pelan. “Aku tidak bisa.” Kepalanya menggeleng pelan.
Chef Robby berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Marsha. Seseorang yang bisa membalas perasaannya. Bukan seperti dirinya yang masih belum selesai dengan masalalunya.
“Apa aku boleh tahu alasan?” Tanya pria itu lagi.
Ia ditolak. Bahkan secara langsung, tanpa memberi jeda waktu.
Apa mungkin Aldo lebih dulu mengungkapkan perasaannya pada Marsha?
Marsha kembali menggelengkan kepalanya. “Aku hanya belum bisa membuka hati, Chef.”
“Kamu belum bisa, Sha. Bukannya tidak bisa ‘kan?”
Gadis itu kembali menundukkan kepalanya. Ia sendiri tidak yakin pada dirinya. Apakah akan bisa membuka hati pada pria lain, ketika ketakutan akan pengkhianatan di masalalu terus menghantui?
“Apa masalalu mu begitu menyakitkan, sehingga membuat kamu menutup rapat dirimu, Sha?” Tanya Chef Robby kemudian.
“Sangat, Chef.” Ucap Marsha pelan, dan nyaris tak terdengar.
“Apa kamu mau bercerita padaku?”
Marsha kembali menatap Chef Robby. Pria itu pun menatapnya penuh perhatian.
“Masalalu aku sangat menyakitkan, Chef. Seseorang yang aku anggap paling menyayangiku, tiba-tiba pergi dan menikah dengan wanita lain, di saat hubungan kami sedang baik-baik saja. Jika Chef di posisiku, apa Chef bisa dengan mudah untuk menyembuhkan rasa sakit yang Chef alami?” Suara Marsha terdengar berat, dan matanya mulai berkaca-kaca.
Ia tidak akan bisa menahan tangisnya, setiap mengingat, apalagi membahas pengkhianatan yang dialaminya lima tahun silam.
Marsha bertarung dengan rasa traumanya.
Chef Robby pun bangkit dan berpindah ke samping gadis itu. Pria itu kemudian meraih bahu Marsha, memeluknya dengan penuh kasih.
Tangis Marsha semakin jelas terdengar. Selama lima tahun ini, ia berusaha tegar. Tidak ingin mengingat dan membahas tentang masalalu. Karena itu akan membuatnya lemah dan menangis.
Rafael pria yang sangat ia cintai, dulu. Pria itu bahkan menjadi poros hidupnya. Rasa sedih hidup berjauhan dengan orang tua, terobati dengan adanya Rafael di sisi Marsha. Gadis itu bahkan rela menyerahkan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya, hanya untuk Rafael. Pria yang berjanji akan menikahinya, setelah mereka lulus kuliah.
Namun, pria yang ia anggap sangat mencintai dirinya itu, ternyata adalah orang yang paling dalam membuat luka di hatinya.
“Tenanglah, Sha. Ada aku disini. Kamu bisa membagi apapun masalahmu denganku. Jangan menutup diri. Jangan pendam rasa sakit mu sendirian. Berbagilah padaku, Sha.”
Chef Robby mengusap lengan gadis itu. Ia tidak tahu jika Marsha memendam luka begitu dalam di hatinya.
“Maafkan aku, Chef. Aku tidak bisa.” Ucap Marsha di dalam tangisnya.
‘Maafkan aku, Chef. Aku tidak ingin menyakitimu. Apalagi membohongimu dengan membalas perasaanmu. Aku saja belum selesai dengan masalalu ku, bagaimana bisa menjalin hubungan yang baru? Itu sama saja aku menyakitimu, chef. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari aku.’