Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEHIDUPAN RAKA DI RUMAH SUSAN
Raka mengembuskan napas pelan, menatap ke luar jendela balkon. Udara pagi seharusnya memberikan ketenangan, tetapi yang ia rasakan justru kehampaan yang semakin menjadi-jadi. Rumah Susan begitu mewah, begitu besar, begitu berkilauan, tetapi hatinya terasa kosong.
Ia berjalan masuk, melewati lorong panjang menuju ruang makan. Sarapan sudah tersaji di atas meja—menu lengkap dengan porsi berlimpah. Tetapi, siapa yang menyiapkan semua ini? Para ART. Bukan istrinya.
Dulu, saat masih bersama Aziza, ia terbiasa melihat wanita itu sibuk di dapur setiap pagi. Tangannya lincah menyiapkan sarapan, terkadang dengan wajah mengantuk tetapi tetap tersenyum saat menyajikannya. Tidak peduli sesederhana apa pun makanannya, ada sesuatu yang tak tergantikan di dalamnya—perasaan bahwa ia dipedulikan.
Sekarang? Makanan ini mungkin lebih mahal, lebih mewah, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya.
Ia duduk dan mulai makan dalam diam. Beberapa ART sibuk membersihkan meja dan menata perabotan, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar berbicara dengannya. Susan masih belum terlihat.
Ah, tentu saja. Susan pasti sibuk.
Wanita itu bukan tipe yang akan bangun pagi untuk menyiapkan sarapan bagi suaminya. Tidak seperti Aziza.
Kenapa aku terus membandingkan mereka?
Raka meletakkan sendoknya dengan kasar. Ia merasa jengah dengan pikirannya sendiri.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Raka melangkah keluar kamar. Saat itu, ia melihat Warseno berjalan di lorong dengan langkah tergesa. Pria itu mengenakan setelan jas seperti biasa, wajahnya tegas, tanpa ekspresi.
Raka memberanikan diri menyapa, “Selamat pagi, Pah.”
Namun, Warseno hanya menatapnya sekilas, dingin, lalu melangkah pergi tanpa membalas sapaannya.
Jantung Raka mencelos.
Astaga, sakit sekali diabaikan seperti ini.
Di rumah ini, ia merasa seperti tamu yang tidak diundang. Padahal, ia adalah menantu. Suami dari Susan. Tapi bagi Warseno, ia tidak lebih dari orang asing.
Beginikah rasanya diabaikan? Beginikah rasanya menjadi orang miskin yang selalu direndahkan?
Perasaan itu tiba-tiba membawanya ke masa lalu. Ia mengingat saat Aziza tinggal di rumahnya—bagaimana ibu dan adiknya memperlakukan wanita itu dengan dingin, seolah dia bukan bagian dari keluarga. Aziza selalu berusaha bersikap baik, tetapi tidak pernah dipedulikan.
Dan kini, Raka merasakan hal yang sama.
Ironis.
Dulu, ia membiarkan Aziza menderita. Sekarang, ia sendiri yang mengalami kepahitan itu.
Tapi Raka mencoba menenangkan dirinya.
Aku harus bertahan. Aku harus mendapatkan kepercayaan Warseno. Aku harus masuk ke Pratama Grup! Saat aku berhasil, aku akan memiliki kekuasaan, dan mereka akan tunduk padaku!
Ia mengepalkan tangan. Jika ini adalah harga yang harus ia bayar demi masa depan yang lebih baik, ia akan menerimanya.
Malam itu, saat kembali dari kantor, rumah tetap terasa sunyi. Susan belum pulang.
Ia berjalan ke kamar, melemparkan dasinya ke meja, lalu duduk di tepi ranjang. Pikirannya mulai melayang-layang ke masa lalu.
Dulu, saat aku pulang kerja, Aziza pasti sudah menungguku.
Ia teringat bagaimana Aziza selalu memastikan air hangat untuk mandinya sudah siap. Bagaimana wanita itu selalu menanyakan hari-harinya dengan tulus, bukan sekadar basa-basi.
Di rumah ini, ia tidak merasakan itu.
Susan hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Hubungan mereka tidak lebih dari formalitas. Di luar, mereka terlihat seperti pasangan sempurna, tetapi di dalam rumah ini, Raka merasa seperti pria yang tinggal sendirian.
Ada satu hal yang sejak awal mengganjal pikirannya.
Susan tidak pernah membahas kehamilannya.
Tidak ada perubahan dalam sikapnya. Ia tetap bekerja dengan jadwal padat, tetap sering bepergian, dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang mempersiapkan diri menjadi seorang ibu.
Dulu, saat Aziza hamil, ia begitu antusias. Membaca buku-buku kehamilan, mencatat perkembangan janinnya, bahkan mulai mencicil perlengkapan bayi jauh sebelum melahirkan.
Tapi Susan? Tidak ada tanda-tanda itu.
Apa memang seperti ini perbedaan antara wanita kaya dan wanita miskin?
Aziza harus merencanakan segalanya lebih awal karena ia tidak punya banyak uang, sementara Susan bisa mendapatkan semuanya dalam sekejap dengan uangnya.
Tapi tetap saja, ada sesuatu yang aneh.
Kehamilan seharusnya menjadi momen bahagia bagi seorang wanita. Tapi Susan terlihat... acuh tak acuh.
Raka berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju balkon. Ia menatap langit malam yang gelap, lalu mendesah pelan.
Aku tidak boleh terus memikirkan Aziza.
Aziza sudah pergi. Ia sudah menceraikannya. Dan perempuan itu bahkan tidak mencoba kembali padanya.
Jika memang Aziza mencintaiku, seharusnya dia bertahan. Seharusnya dia tidak kabur.
Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak bersalah. Bahwa semua ini adalah kesalahan Aziza.
Tetapi...
Jika benar Aziza yang salah, kenapa hatinya masih terus merasa kosong?
Kenapa setiap sudut rumah ini justru mengingatkannya pada Aziza?
Kenapa semakin ia mencoba melupakan, bayangan wanita itu semakin menghantuinya?
Ia mengepalkan tangan.
Hidupnya sekarang seharusnya lebih baik. Ia seharusnya bahagia dengan pernikahannya bersama Susan.
Tapi kenyataannya...
Ia justru merasa kehilangan sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Ia kehilangan Aziza.
Rumah besar itu sepi. Hanya suara jam dinding yang terdengar berdetak pelan, mengiringi langkah Raka yang menuju kamar utama.
Susan belum pulang. Lagi-lagi ia harus makan malam sendiri, ditemani kesunyian yang menyiksa.
Raka melirik jam di dinding. Pukul sepuluh malam.
Ia melangkah ke balkon, menyalakan rokok, lalu mengisapnya dalam-dalam. Dulu, ia tidak pernah merokok. Aziza tidak suka. Tapi sekarang, siapa yang peduli?
Aziza...
Lagi-lagi namanya muncul dalam benaknya. Raka menggeleng cepat, mencoba menyingkirkan bayangan itu.
Sekitar satu jam kemudian, suara deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Susan akhirnya pulang.
Raka memadamkan rokoknya, lalu masuk ke kamar.
Susan membuka pintu, wajahnya terlihat lelah, tetapi tetap cantik dengan balutan gaun mahal dan sepatu hak tinggi yang masih terpasang di kakinya.
“Kamu baru pulang?” tanya Raka.
“Hm,” gumam Susan, meletakkan tasnya di meja rias.
“Kamu sibuk banget, ya?”
Susan duduk di depan cermin, melepas antingnya satu per satu. “Biasa, urusan kerjaan.”
Raka mendekat. Ia meraih bahu Susan, memijatnya perlahan.
“Capek, ya?” bisiknya di telinga wanita itu.
Susan menatap bayangan mereka di cermin. Mata Raka terlihat menginginkannya. Ia tahu benar tatapan itu.
Raka memang suaminya. Wajar jika pria itu ingin menuntut haknya. Tapi malam ini... ia benar-benar lelah.
“Susan...” Raka berbisik, jemarinya turun ke lengan istrinya, menariknya agar berbalik menghadapnya.
Namun, Susan menepis tangannya halus. “Aku capek, Raka.”
Raka menelan ludah. Ia berusaha menahan kekecewaannya, tetapi raut wajahnya tidak bisa berbohong.
Susan tahu pria itu kecewa. Tapi ia benar-benar tidak punya tenaga untuk itu malam ini.
Raka menghela napas pelan. “Oke. Aku nggak akan maksa.”
Ia bangkit, melangkah ke ranjang, lalu duduk dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Susan menatapnya sesaat, lalu berjalan ke lemari, mengambil baju tidur, dan masuk ke kamar mandi.
Air shower terdengar mengalir, tetapi pikiran Raka jauh melayang.
Ia menginginkan istrinya, tetapi ditolak.
Dulu, saat bersama Aziza, wanita itu tidak pernah menolaknya. Aziza selalu menyambutnya dengan hangat, seakan kehadirannya benar-benar berarti.
Kenapa aku membandingkan mereka lagi?
Raka menutupi wajahnya dengan kedua tangan, frustasi dengan pikirannya sendiri.
Beberapa menit kemudian, Susan keluar dari kamar mandi. Ia sudah berganti pakaian tidur, lalu duduk di tepi ranjang, menyandarkan tubuhnya ke sandaran empuk.
Raka menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan.
Susan bisa merasakan aura kekecewaan dari suaminya. Dalam hati, ia sebenarnya tidak ingin membuat Raka kecewa.
“Aku ada kabar baik buat kamu,” kata Susan tiba-tiba.
Raka menoleh. “Apa?”
“Besok aku akan bertemu dengan Pratama Grup.”
Raka terperanjat. Matanya berbinar penuh semangat. “Serius?”
Susan mengangguk. “Aku akan bicara langsung dengan Jayadi Pratama.”
Jayadi Pratama. Nama itu bukan nama sembarangan. Ia adalah salah satu konglomerat terbesar di negeri ini.
Jika Susan bisa membuka jalan baginya untuk masuk ke Pratama Grup, maka impiannya untuk memiliki posisi kuat dalam dunia bisnis semakin dekat.
Raka tersenyum lebar. “Terima kasih, Sayang.”
Susan hanya tersenyum tipis. “Aku capek. Aku tidur dulu, ya.”
Raka mengangguk. “Iya, istirahatlah.”
Susan menarik selimut dan membalikkan tubuhnya, memunggungi Raka.
Pria itu menatap langit-langit kamar, masih dengan senyum tipis di wajahnya.
Besok adalah langkah besar. Jika ia bisa mendapatkan kepercayaan dari Jayadi Pratama, maka ia akan semakin dekat dengan tujuannya.
Namun, di sudut hatinya, ada sesuatu yang terasa aneh.
Kenapa aku tidak benar-benar merasa bahagia?
Raka menggelengkan kepala. Ia tidak ingin memikirkan hal itu sekarang.
Besok adalah hari penting. Itu yang seharusnya ia fokuskan.
Bersambung...
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu