"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
Keadaan yang semakin kacau di belakangku membuat tubuhku mendadak membeku. Tak bisa kugerakkan, bahkan hanya untuk sekadar berdiri dan bangun. Aku hanya bisa pasrah dalam ketidakberdayaan. Arai yang berlari mendahuluiku, kini tersadar jika aku tak di sampingnya. Dia berbalik dan kembali berlari ke arahku yang masih tersungkur di aspal.
Di waktu yang sama, kelompok mahasiswa yang bentrok dengan aparat itu berlarian ke arahku diikuti belasan polisi yang mengejar. Seketika, Arai pun langsung membungkus tubuhku, sengaja menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Membiarkan orang-orang yang berlarian menghindari gas air mata itu menendang bahkan menginjak tubuhnya.
Dalam lindungan tubuhnya, aku hanya bisa menutup mata kuat-kuat karena tak sanggup melihat kericuhan yang terjadi di sekitarku. Sementara, telingaku menangkap erangan Arai yang tertahan beriringan bunyi suara pukulan dan lentingan yang begitu kuat. Entah apa yang terjadi padanya. Aku hanya terus menutup mata dan mengepal tanganku kuat-kuat.
Kuberanikan diri membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Terdapat dua titik darah di punggung tanganku yang membuatku terperanjat. Bersamaan dengan itu, kurasakan kepalanya terantuk lemah di pundakku.
"Arai, kamu kenapa? Kamu terluka?"
Aku yang berada di bawahnya, hanya bisa berteriak memanggil-manggil namanya.
"Arai, kamu kenapa? Jawab aku!"
Aku mulai cemas dan ketakutan. Tepat ketika aku hendak menoleh ke arahnya, tiba-tiba dia membuka suara.
"Jangan menoleh!"
"Kenapa?"
"Aku bilang ... jangan! Tepat diam ... seperti itu!" Suara Arai patah-patah.
"Apa yang terjadi? Apa kau terluka?" tanyaku dengan nada suara bergelombang.
"Aku ndak papa kok."
Aku mencoba merogoh saku celana jeansku untuk mengambil ponsel. "Aku mau hubungi kak Evan."
"Ja—jangan lakukan! Bang Evan lagi ... ujian. Jangan ... gagalkan ujiannya!"
Entah berapa lama kami seperti ini, hingga terdengar suara ambulans yang kemudian membawa kami ke rumah sakit. Sesuai dugaanku, Arai mengalami luka pukulan di kepala yang membuatnya menerima beberapa jahitan. Pipi kanannya juga tampak membengkak, bibir atasnya pecah. Belum lagi dengan punggungnya yang sempat terinjak-injak.
Untungnya, ketahanan tubuhnya kuat sehingga dia tampak terlihat baik-baik saja. Bahkan, dia langsung duduk santai di pinggiran brankar pasien seolah tak terjadi apa pun padanya. Aku yang menemaninya selama berada di IGD, lantas ikut duduk di sampingnya.
"Arai ...."
Aku hanya bisa memanggil namanya dengan suara memelas sambil menatap wajahnya. Merasa bersalah? Jelas! Jika tak melindungiku, mana mungkin dia akan terluka seperti ini.
"Sudah kubilang, aku ndak papa. Laki-laki itu memang perlu lecet dikit," ucapnya sambil tersenyum lebar.
Aku kembali memandang wajahnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya mulutku yang mengerucut mendadak menyembulkan tawa halus.
"Lihat, pipi kananmu kayak bakpao," tunjukku.
Dia langsung menutup sebelah pipinya sambil berkata, "Ckckck, habis kasihani aku sekarang malah nge-bully. Mendinglah aku yang kayak gini, coba kalo kau ... bakalan habis aku diomelin sama bang Evan."
"Makasih, ya, dah nolongin aku," ucapku tulus.
"Kau juga. Kalo bukan kau yang nahan pendarahan di kepalaku, mungkin aku dah kehabisan darah."
Di waktu yang sama, tirai yang membatasi tiap-tiap brankar pasien mendadak berbuka. Di hadapan kami sekarang, kak Evan muncul dengan raut panik. Namun, ekspresinya berubah begitu melihat kami yang tengah duduk bersebelahan di brankar.
"Gimana? Kalian dah rasa keren, kan, sekarang?" ketusnya dengan mata yang menyala dan sudut bibir yang terangkat sebelah.
Aku dan Arai kompak menundukkan kepala, bagai anak kecil yang baru saja berbuat salah. Ini pertama kalinya kak Evan menunjukkan wajah marahnya padaku dan juga Arai. Sedetik kemudian, kami mencoba mengintip wajah kak Evan. Sambil berkacak sebelah pinggang, pria itu mengusap wajahnya.
Dia kembali menoleh ke arah Arai sambil tetap memasang wajah ketus. "Lihat wajah lo sekarang, jelek banget! Kek orang abis digigit lebah, tahu!"
"Ya, Abang bayangin aja wajah pacar Abang kek gini," balas Arai dengan santai sambil memegang sebelah pipinya.
"Iya, aku tadi jatuh dan Arai yang nolongin," imbuhku penuh rasa bersalah.
Kak Evan terdiam. Kami pun ikut terdiam tanpa ada yang berani bersuara.
Sedetik kemudian, dia menoleh ke arah kami.
"Kalian dah makan?"
Aku dah Arai kompak menggeleng.
"Ya, udah, habis ini kita makan." Kak Evan bertanya pada Arai, "Lo dah bisa langsung pulang, kan?"
"Iya. Aku ndak mau lama-lama di sini!" sahut Arai.
"Dengerin aku, untuk beberapa hari ini, kamu istirahat dulu di rumah. Jangan ke mana-mana!" ketus kak Evan.
Kak Evan kemudian menarikku menepi di sudut tangga rumah sakit. Dia langsung menyingsingkan lengan kemejaku, memeriksa kedua sikuku. Kemudian menangkup wajahku dan menyibakkan rambutku untuk memeriksa leher, dahi, hingga belakang telingaku seolah hendak mengetahui adakah bagian tubuhku yang lecet. Dari sorot matanya, aku bisa melihat kekhawatiran besar yang tengah melingkupinya.
Pada saat itu juga, aku merasa bersalah karena telah membuatnya panik di saat dia tengah mengikuti uji kompetensi. Aku terlalu takut dengan apa yang terjadi pada Arai, hingga aku langsung meneleponnya saat masih berada di lokasi demo tadi.
"Aku gak papa, kok. Aku minta maaf dah bikin kak Evan panik," ucapku pelan.
Aku terhenyak saat dia langsung menarikku dalam dekapannya. Melingkarkan tangannya di tubuhku dengan erat. Sembari sesekali mengusap dan mengecup kepalaku. Tak ada kata. Tak ada suara. Namun, tindakan kecil ini sudah cukup membuatku merasa dicintai. Perlahan, kedua tanganku pun merambat di punggungnya untuk membalas pelukannya.
Setelah kejadian itu, Arai terpilih menjadi ketua BEM Fakultas kedokteran periode berikutnya dengan masa jabatan satu tahun. Sementara, kak Evan lulus ujian kompetensi yang membuatnya resmi mendapatkan gelar dokter. Meski begitu, dia harus menjalani program internship untuk mendapatkan surat izin praktek. Kesibukan mereka masing-masing, membuat kami tak bisa berkumpul seperti dulu di kosku. Aku pun mulai menyiapkan bahan penelitian untuk menulis skripsi di semester berikutnya.
Sore itu, gorden kamarku melambai-lambai tertiup angin. Di luar sana, sepotong senja bergerak lembut di langit kemerah-merahan. Bersamaan dengan itu, sebuah lagu yang sangat populer tahun ini, tengah mengalun lembut dari koleksi pemutar musik di ponselku dengan volume yang maksimal.
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Hingga tiba saatnya
Aku pun melihat
Cintaku yang khianat
Cintaku berkhianat (Rumor_butiran debu)
Di tahun ini, ada sebuah hipotesis yang mengatakan akan terjadi kiamat di akhir tahun, berdasarkan ramalan suku Maya. Kata-kata gaul seperti cius, miapa, kamseuphay, mager, PHP dan ragam bahasa lainnya yang tak ada di KBBI pun marak menjadi kosakata tren anak muda. Di tahun ini ada banyak lagu galau yang rilis. Salah satu lagu yang paling meledak dan sering diputar mana-mana, adalah butiran debu dinyanyikan oleh Rumor.
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran debu
Sambil ikut melantunkan lagu tersebut, aku menggantung bingkai foto yang memuat potretku bersama kak Evan dalam balutan toga setelah pelantikan dan pengambilan sumpah dokter. Foto itu terpampang di dinding bersama dengan puluhan jepretan kenangan yang telah kami abadikan selama tiga tahun bersama.
Aku mengulurkan tanganku ke luar jendela, memandang cincin kopel yang senantiasa tersemat di jariku. Sebentar lagi, kami akan merayakan hari jadi ketiga yang kembali tertunda. Senang rasanya bisa menemaninya sampai detik ini. Sudah kubilang, aku masih bahagia dengannya di tahun ketiga hubungan kami.
Akan tetapi, begitu menuju tahun keempat ....
.
.
.
Like dan komeng
🥰
Kalo kak Yu suka tokoh abu2, berarti Tuan Lim ya?
Berkelas atau tidak Evan sukanya sama Ita, titik. Yg menilai tdk berkelas kan kamu Nadin krn mlihat hanya krn harta dan kedudukan