Anthony Chavez, ibunya Barbara, istrinya Dorothy dan kedua anak lelakinya Ethan Chavez dan Fred Chavez, ditemukan polisi sudah tidak bernyawa dengan tubuh lebam kebiruan di dalam kamar. Keempat jenazah itu saling bertumpuk di atas tempat tidur. Di dalam tubuh mereka terdapat kandungan sianida yang cukup mematikan. Dari hasil otopsi menyatakan bahwa mereka telah meninggal dunia lebih dari 12 jam sebelumnya. Sedangkan putri bungsu Anthony, Patricia Chavez yang masih berusia 8 bulan hilang tidak diketahui keberadaannya. Apakah motif dari pembunuhan satu keluarga ini? Siapakah pelakunya? Dan Bagaimanakah nasib Patricia Chavez, anak bungsu Anthony? Temukan jawabnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bas_E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Hari Pertama Di Ramsey
"Dwayne... Ada apa dengan mu, Nak. Aku mengasuh Nona Daniella, sejak gadis itu masih kecil. Aku sangat menyayangi Nona Daniella dan telah menganggapnya seperti anak sendiri. Sebagai seorang ibu, Aku akan melakukan apa saja yang terbaik untuknya. Seperti halnya dahulu Aku melakukan apapun untuk kalian berdua."
"Itu hal yang berbeda, Mom. Kami ini anak kandung mu, sedangkan gadis aneh itu bukan siapa-siapa. Ia hanya orang lain di rumah ini !!"
"Jaga ucapan mu, Dwayne !!! " Wajah Emma memerah menahan marah.
"Aku tidak setuju, Mom. Sebagai anak tertua di keluarga ini, aku menolak Mom mengasuh anak itu. Serahkan dia ke panti asuhan. Mereka pasti akan mengurusnya dengan baik. "
"Dwayne..!!! " Emma tidak terima dengan perkataan putranya.
"Mom. Anak itu aneh. Aku punya firasat buruk tentang dia."
"Maksud ucapanmu apa, Nak?!."
"Anak itu seperti orang gila, Mom!!?
"Ucapan mu sungguh keterlaluan, Dwayne! aku tidak ingin kau mengulanginya lagi !!! Aku tidak ingin Nona Daniella mendengar semua perkataanmu yang berlebihan itu. Bagaimana perasaan Nona Daniella mendengar kata-katamu yang sangat menyakitkan itu ?!"
"Aku merasa kalo anak itu bukan anak kandung Tuan Conley. Mana ada coba, warisan dengan anak kandung harus menunggu anak itu berusia 16 tahun. Wasiat yang aneh."
"Masalah wasiat Tuan Conley itu bukan hak kita untuk mengomentari. Mendiang mungkin punya pertimbangan sendiri. Barangkali Tuan Conley, menunggu Nona Daniella cukup umur untuk bisa mengatur keuangannya sendiri."
"Nona? Hentikan memanggil dengan sebutan Nona padanya, Mom. Kau bukan pembantu keluarga Conley lagi. Aku sudah muak mendengarnya!! "
"Cukup Dwayne !!! Aku tidak ingin, Nona Daniella sedih mendengar semua perkataan burukmu itu. Semua kebutuhan Nona Daniella aku yang akan bertanggung jawab. Sedikit pun aku tidak akan meminta dan menyusahkanmu !! "
"Mom...!!"
"Dwayne. Kau tidak boleh berkata begitu pada Mom. Itu tidak baik." Don menegur kakak lelaki satu-satunya itu.
Dwayne bangkit dari duduknya. Kursi yang ia duduki didorong ke belakang dengan kasar. Tanpa menoleh lagi ke arah ibu dan adik lelakinya, Dwayne pergi dengan amarah di dadanya. Ia keluar dari rumah dengan membanting pintu, kuat.
Brakkk....
Sepeninggal putra sulungnya, tubuh Emma yang menegang, perlahan melemas. Emma menopang bobot tubuhnya di meja counter dapur dengan kedua tangannya, sembari kepalanya tertunduk. Dengan susah payah ia menarik nafas kemudian menghembuskannya berulang-ulang. Berusaha meredakan emosi yang memuncak hingga ke ubun-ubun.
"Mom. Apakah kau baik-baik saja?" Don mendekati Emma kemudian mengusap lembut punggung wanita yang telah melahirkannya itu.
"Aku tidak apa-apa, Nak."
"Mom. Minumlah, dan tenangkan diri Mom." Don membimbing Emma ke arah kursi bar yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian ia menuangkan segelas air putih dari dalam teko keramik yang ada di meja makan, dan menyerahkan pada Emma.
"Minum dulu, Mom. " Don kemudian menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah Emma.
Emma mengikuti semua perkataan Don. Meneguk habis air dari dalam gelas dan meletakkan wadahnya di atas meja.
"Maafkan aku telah mengambil keputusan tanpa membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu dengan kalian berdua. Aku lupa bahwa kedua putra ku telah dewasa, yang juga memiliki pendapat dan pemikiran sendiri." Emma menatap lembut putra bungsunya itu.
"Tidak apa-apa Mom. Aku mengerti posisimu saat ini serba salah. Kau tidak perlu khawatir, aku akan selalu berada di pihakmu. Katakan kapan saja jika Mom butuh bantuanku, aku dengan sukarela membantu. Masalah dengan Dwayne, nanti aku akan mencoba berbicara dengannya. Walaupun dia tidak setuju, setidaknya ia harus menghormati semua keputusanmu."
"Terimakasih Don. Kau memang anak yang baik dan berhati lembut."
"Karena aku juga memiliki seorang ibu yang sangat baik dan penyayang."
"Ohh Don anakku.... " Mereka berdua pun saling berpelukan untuk beberapa saat. Namun, tiba-tiba Emma ingat akan sesuatu, "Nak... Makan malam kita belum siap. Kasian nanti Nona Daniella harus menunggu lama. Aku harus segera menyelesaikannya." Emma mengurai pelukan mereka.
"Kau benar, Mom. Biar aku membantumu." Mereka pun bangkit dari tempat duduk dan segera menuju meja counter dapur. Dengan sigap, Don membantu Emma memasak, menumis, mengaduk, menyiapkan perlengkapan makan serta menyajikan makanan di atas meja.
Sementara itu di sudut lain dapur, Daniella merapatkan tubuhnya ke dinding pembatas tangga dengan ruang makan merangkap dapur itu. Tidak ada yang tau, sudah berapa lama ia berada di sana. Tetapi cukup untuk mengetahui apa saja yang keluarga kecil itu bicarakan. Hatinya terasa sakit mendengar semua perkataan Dwayne yang menusuk. Namun perasaannya berubah menghangat, ketika mendengar Emma dengan sekuat tenaga membela dirinya. Begitu juga ketika Don dengan lembut memeluk dan menenangkan hati wanita baik itu.
Kenyataan yang baru saja Dani temui membuat tubuhnya mematung. Ketika tiba-tiba langkah kaki Don telah berhenti di depannya, Dani terlambat mengetahui. Pria muda tersebut sedikit terkejut melihat keberadaan Daniella yang membatu di atas anak tangga. Dari sikap yang Daniella tunjukan, Don menduga Daniella telah mencuri dengar semua pembicaraan mereka. Don cepat menguasai keadaan, sambil meletakkan jari telunjuknya di ujung bibir, seraya berbisik...
"Berpura-puralah kau tidak mendengar apapun. Turunlah dengan tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Makan dan minumlah seperti biasanya tanpa menimbulkan kecurigaan. Maukah kau melakukan semua itu demi Ibuku? "
Daniella mengangguk pelan. Don tersenyum senang begitu mendapatkan reaksi positif yang Daniella berikan padanya. Selama dua menit lamanya, Don berdiri di samping Daniella, mengulur waktu seakan-akan ia naik ke atas untuk menjemput gadis kecil itu makan.
"Don.. Kenapa kau lama sekali.. " Seru Emma.
"Ya Mom. Aku datang." Saut Don.
Kemudian pria itu meraih tangan Daniella mengajaknya turun. Begitu tiba di depan meja makan, Don menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Daniella untuk mendudukinya.
"Silakan duduk, Nona manis." Sambil menundukkan tubuhnya. Emma yang menyaksikan tingkah laku putranya hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Daniella yang mendapat perlakuan itu hanya diam dengan wajah sedikit memerah. Dengan malu-malu ia duduk di kursi yang diberikan Don padanya. Sedangkan pria itu memilih kursi di samping Daniella. Ia kemudian membantu Daniella memilih makanan yang akan disantapnya.
Keramahan Don mampu menghangatkan suasana hati Daniella. Ia menikmati makan malam pertamanya di Ramsey, ditengah-tengah keluarga kecil Johnson yang malam itu tanpa kehadiran si sulung Dwayne, yang saat itu entah berada di mana. Daniella mampu bersikap tenang seperti janjinya pada Don.
Apa yang dilakukan Daniella tidak luput dari pengamatan Don. Hal itu memberikan keyakinan pada dirinya, apa yang ibunya katakan tentang gadis kecil itu benar adanya. Daniella bukan gadis aneh seperti perkataan kakaknya, Dwayne. Ia mungkin hanya mengalami trauma akibat musibah yang menimpa keluarganya. Daniella masih bisa diajak komunikasi, tetapi harus dengan cara yang tepat.
.
.
.