Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di gadaikan
Jika di rumah, Tyas masih kelabakan mencari sertifikat rumahnya. Lain halnya dengan Yanto yang justru tengah gelisah.
Benar, dialah tokoh utama di balik hilangnya sertifikat rumah Tyas.
Bukan hilang, tapi dia gadaikan kepada rentenir untuk kesenangannya sendiri.
Hobinya bermain judi dan bermain wanita membuatnya kalap, hingga dia akhirnya harus merelakan sertifikat rumahnya di gadai untuk menutupi hutangnya yang lain.
Oleh sebab itu selama ini dia mati-matian mencari uang untuk membayar cicilannya.
Kemarin-kemarin dia masih tenang, sebab sang istri masih mendapatkan jatah dari Nina dan tak terlalu peduli pada penghasilannya.
Namun sekarang, istrinya itu sudah kembali menuntut kewajiban padanya.
"Ah sial!" pekiknya.
"Ngapa lu To, gila?" ledek teman sejawatnya.
"Kepo aja lu!" balas Yanto sengit.
Tak lama perbincangan kawan-kawannya yang lain menarik perhatiannya. Mereka membicarakan tentang janda yang saat ini menggantikan toko haji Mursih.
"Kalian ngomongin siapa?" tanya Yanto penasaran.
"Itu loh, pemilik toko baru haji Mursih katanya seorang janda. Cantik, kaya lagi, tapi mana mau sih sama kita-kita, iya ngga bro!" kelakar teman Yanto.
Mendengar kata janda kaya, tentu saja sifat playboy Yanto bergetar.
"Kenal ngga?" sambarnya antusias.
"Kamu To, pas ada orang ngomong janda langsung semringah aja tuh muka!" ketus teman Yanto.
"Namanya Nina kalau ngga salah, bener kan ya?" lanjut teman Yanto sembari mencari pembenaran tentang nama yang tadi mereka bicarakan.
"Hah! Ni-na?" gagapnya.
Otaknya segera merespons berita menyenangkan itu, tak sadar bibirnya langsung membentuk senyuman menyebalkan.
"Dih ngapa luh To! Kesambet?" cibir rekannya.
"Ck! Eh denger ya Nina itu calon biniku, jadi ngga usah ngayal mau deketin dia!" ancamnya pongah.
"Dih bini? Ngaca woy, noh si Tyas mau di gimanain? Mau di jadiin pergedel lu!" tegur rekannya.
Tentu saja mereka hanya sekedar membicarakan Nina, tak ada sedikit pun niat untuk mendekati seseorang yang kehidupannya di atas mereka.
Hanya Yanto yang bersemangat ingin menaklukkan Nina, si janda premium.
Setelah tau Nina ternyata pemilik toko haji Mursih, tentu saja Yanto akan semakin berusaha mendekati Nina.
Kehidupan enak sudah terbayang dalam otak kecilnya.
Istri cantik, kaya, huh hidup aku pasti sempurna sekali, tapi Tyas gimana ya? Ah gampanglah, kalau dia ngga mau di madu ya cerein aja. Repot bener, lagian punya bini ngga guna juga.
Yanto menata rambutnya sebelum mendekati meja Nina. Terlihat wanita idamannya itu tengah sibuk melayani pelanggan.
Dulu dia pikir Nina hanya bekerja di toko Haji Mursih ternyata tanpa di duga, Nina adalah pemilik toko ramai itu sekarang.
Melihat Nina yang tengah menghitung uang segepok membuat khayalan Yanto semakin liar.
Hidupnya tak lagi harus bekerja keras jika dia berhasil menikah dengan Nina. Sebab dia hanya perlu menerima hasil dari kerja istrinya saja nanti.
"Nina," panggilnya, tapi masih di acuhkan oleh Nina sebab wanita itu masih sibuk dengan pelanggan.
Merasa kesal, dia memanggil lagi dengan keras. "NINA!" sentaknya, membuat beberapa pelanggan berjengit kaget, tak terkecuali Nina dan karyawannya.
"Ada apa mas Yanto?" jawab Nina datar, muak sekali dia pada lelaki yang memanggilnya dengan suara keras ini.
Jika Nina bisa sabar menghadapi para pelanggan dengan sifat mereka masing-masing. Namun tidak dengan Yanto. Nina tak ingin bermanis-manis dengan Yanto.
Yanto menggaruk tengkuknya kikuk, para pelanggan kembali sibuk dengan keperluan mereka lagi.
Nina juga tak bertanya keperluan Yanto dan kembali fokus pada pelanggannya.
Merasa di acuhkan, Yanto mendesak agar bisa berhadapan dengan Nina.
"Antri dong mas! Maen dorong aja!" gerutu pelanggan yang di dorong oleh Yanto.
"Maaf Bu, saya ada perlu," ujar Yanto tak peduli.
Dia kembali menatap Nina yang menurutnya semakin cantik. Dengan peluh membasahi janda cantik itu justru memancarkan auranya, menurut Yanto.
"Nina," panggilnya lagi kini lebih lembut.
Sungguh kelakuan Yanto justru malah memancing amarah di hati Nina yang sejak tadi dia tahan.
"Ada apa mas Yanto? Ada yang mau di beli?" tanya Nina ketus.
Yanto kelabakan, dia yakin Nina tak akan mengeteng roko, paling tidak di tokonya pasti menjual bungkusan, sedangkan dia biasa beli mengecer.
"Eh, cuma mau ngajak kamu ngobrol," ungkapnya jujur.
"Mas kalau ngga ada keperluan lebih baik keluar, maaf mas kami sibuk!" usir Nina ketus.
Yanto kesal karena di usir oleh Nina, dia tak terima harga dirinya di injak-injak seperti ini.
"Sombong banget kamu Nina! Paling enggak aku ngajak bicara kamu baik-baik ngga perlu ngusir juga!" gerutunya.
"Eh bang, bener apa yang di bilang Mbak Nina, kamu ngga liat antrean di sini kaya apa? Kamu aja yang ngga punya otak ngajak dia ngobrol. Kalau enggak mau beli mending masnya keluar! Menyempit-nyempitin aja!" gerutu pelanggan Nina yang merupakan seorang ibu-ibu.
Yanto yang di soraki oleh para pelanggan Nina memilih keluar. Hatinya sangat kesal karena dia merasa di rendahkan oleh orang-orang tadi.
"Awas aja, kalau aku udah nikah sama Nina, bakalan aku naikin harganya buat kalian!" monolognya.
.
.
Di rumah Nina, Dibyo merasa gusar dengan permintaan Titik yang tak masuk akal.
Dia tidak berbohong dengan mengatakan jika tak punya uang. Dia juga tak berani meminjam uang pada Nina, terlebih lagi untuk Titik.
Dibyo memutuskan tak peduli, toh bukan urusan dirinya. Dia tak mau justru nanti dirinya di usir oleh Nina.
Sedang asyik melamun, tiba-tiba Titik kembali lagi.
"Ada apa lagi Bu?" tanya Dibyo heran.
Titik tersenyum kaku, lalu dia masuk kembali tanpa di persilakan dan membuka lemari yang berada di dapur Nina.
Setelah menemukan apa yang dia cari, dia segera kembali ke meja makan. Tentu saja semua itu tak luput dari perhatian Dibyo.
"Kamu mau apa Bu?" ulang Dibyo penasaran.
"Ini loh pak, kalian kan tinggal cuma bertiga, lauknya kebanyakan, kasihlah pada ibu, ngga papa kan?" ujar Titik sambil sibuk memindahkan makanan Nina ke dalam wadah plastik milik Nina.
"Bu, aduh jangan Bu, nanti Rima pulang makan apa? Tolong sisihkan buat Rima Bu," pinta Dibyo kalut.
"Ah bapak pelit banget sih! Inget loh aku ini masih istri bapak, jadi wajar kalau aku minta hak makan dari bapak!" ketusnya.
Setelah selesai mengemas makanannya dia bergegas hendak pergi dari rumah anak tirinya.
"Ingat pak jangan lupa uang lima jutanya!" sambar Titik.
Dibyo hanya menggeleng tak percaya dengan kelakuan Titik. Bagaimana nanti dia menjelaskan pada Rima dan Nina tentang perginya makanan mereka.
Titik bergegas pulang ke rumah, hatinya sangat senang, selain mendapatkan lauk enak dan gratis dia bisa menghemat penghasilan hari ini.
"Ah kenapa ngga dari kemaren-kemaren aja kaya gini, aku yakin jam segitu si Nina ngga ada, kerja apa dia ya?" monolognya.
"Ya ampun Yas, baru tadi malam di beresin kenapa udah berantakan kaya gini lagi sih!" kesal Titik melihat rumah anaknya kembali berantakan.
"Aku cari sertifikat lah Bu, penasaran ke mana ilangnya! Itu kan harta kita satu-satunya," jawabnya kesal.
"Halo, selamat siang mas Yanto ... Mas Yanto," panggil seseorang dengan suara lantang.
Titik dan Tyas lantas segera menyambut seseorang yang memanggil nama Yanto.
"Bu Berta ada apa ya?" tanya Tyas bingung pada wanita bertubuh gempal yang mengenakan perhiasan seperti toko mas berjalan.
"Mana suami kau? Sudah tiga harinya dia tak setoran padaku, esok ... esok aja janjinya," jelas wanita dengan suara khas pulau seberang.
"Cari mas Yanto kenapa Bu?"
Tyas sudah sangat ketakutan, pikiran buruk tentu saja sudah terlintas di benaknya.
"Mau nagihlah! Ini hutang dia sudahnya tiga hari tak ada setoran, mau kusita rumah ini!" jelas Berta dengan wajah garang.
Di belakannya dua orang berbadan besar dengan otot lengan menyembul membuat bulu kuduk Tyas meremang.
"Maksudnya Bu Berta?" tanya Tyas gugup.
"Ya suami kau itu sudah gadaikan sertifikat rumah ini. Makanya aku tagih karena sudah tiga hari dia tak mencicil!" ketus Berta tak sabar.
Dubrak!!
.
.
.
Tbc