Casey Copeland, wanita berusia 24 tahun yang memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan ibunya sejak ia masih kecil. Casey tidak tau mengapa ibunya membedakannya dengan kakaknya. Ibunya membenci Casey.
Casey mulai lelah dengan segala upaya yang dilakukannya hanya untuk mendapat perhatian ibunya. Casey berubah, ia tidak ingin menjadi Casey yang dulu lagi.
Casey menjebak kekasih kakaknya hingga mereka berakhir di pelaminan. Benih-benih cinta mulai tumbuh pada di antara mereka. Akankah kehidupan Casey berakhir bahagia setelah mengetahui siapa pria itu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Apa Kamu Sedang Berharap?
Sore harinya, Dariel berpamitan pada keluarganya untuk pulang ke rumahnya.
"Apa kalian tidak menginap di sini saja malam ini?" tanya Halton langsung mendapat tatapan tajam dari istrinya.
"Tidak dad.. aku ingin menikmati waktu berduaan bersama istriku," jawab Dariel.
"Namanya juga pengantin baru dad," timpal Arthur membuat Casey menunduk malu.
"Mommy mau istirahat dulu," ucap Luvena melangkahkan kakinya menuju kamarnya bersama Halton.
"Paman kami pulang dulu.." ucap Casey.
"Nak.. jangan panggil paman lagi. Panggil saya daddy saja," ucap Halton pada menantunya.
"Ba.. baiklah dad.." ucap Casey terbata. Ini pertama kalinya ia memanggil daddy pada seseorang karena sejak kecil ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Neneknya bilang ayahnya meninggal karena mengalami kecelakaan saat usia Casey masih 3 bulan. Casey terharu hanya dengan mengucapkan kata itu. Casey tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Apakah ayahnya akan menyayanginya jika masih hidup atau membencinya seperti ibunya.
Setengah jam perjalanan Casey dan Dariel tiba di depan sebuah rumah mewah dan besar. Rumah besar berada di kawasan perumahan elit di LA, tempat tinggal para artis dan pengusaha ternama.
Casey menganga melihat rumah besar di depannya.
"Astaga.. seberapa kaya pria ini," batin Casey menggelengkan kepalanya saat melihat landasan pesawat dan helikopter di sana.
"Apa kamu akan berdiri di sana terus," ucap Dariel membuyarkan lamunan Casey. Wanita itu tidak sadar jika ternyata pria itu tidak di dekatnya lagi.
Casey kemudian mengikuti langkah kaki Dariel belakang. Dua orang pelayan berbaris di depan rumah menyambut majikan mereka.
"Selamat malam tuan Dariel," ucap pelayan menundukkan kepala mereka.
"Apa kamu sudah mengatur semuanya Carla?" tanya Dariel dengan wajah datarnya.
"Sudah tuan," jawab Carla yang merupakan kepala pelayan di rumah Dariel.
"Antarkan wanita ini ke kamarnya!" perintah Dariel. Carla kemudian mengangguk dan mengajak Casey untuk mengikutinya.
"Dariel... maksudnya bagaimana? apa kita akan tidur terpisah?" tanya Casey.
"Cih.. apa kamu berharap kita akan tidur di kamar yang sama? kamarku tidak pantas ditempati oleh wanita sepertimu," ucap Dariel membuat Casey sakit hati. Niatnya hanya ingin memastikan saja. Casey bahkan sangat bahagia mereka tidak akan tidur bersama. Tapi kata-kata Dariel sungguh menyakitinya.
"Tuan... saya juga tidak ingin tidur di kamarmu. Aku hanya ingin memastikan saja. Aku bahkan ingin mengatakan jika aku tidak ingin tidur bersama mu dan ternyata kita sepemikiran," ucap Casey meninggalkan Dariel yang tertegun di tempatnya.
"Sial.. apa dia sedang mempermalukan ku di depan pelayan," umpat Dariel dalam hatinya. Apa perlu ia menunjukkan pada wanita itu jika semua wanita berharap tidur di kamarnya itu.
******
Sejak tadi Dariel tidak bisa tidur. Matanya tertutup namun entah mengapa pikirannya tertuju pada Casey. Wanita yang baru saja ia nikahi karena ingin membalaskan sakit hatinya. Kalau saja bukan karena Casey, mungkin Dariel sudah menikah dengan Adeline. Wajah Dariel memerah, kedua tangannya memgepal kuat. Menahan amarahnya agar tidak meledak.
"Akh... semua karena wanita sialan itu.." ucap Dariel kuat membayangkan wajah Casey yang sedang menertawainya. Dariel bangun, ia kemudian turun dari atas tempat tidurnya yang besar dan mewah.
Dariel membuka laci nakas di dekat tempat tidurnya.
Satu batang rokok sudah terjepit diantara jari telunjuk dan jari tengahnya. Suara khas pemantik api terdengar. Dariel menghisap dalam-dalam rokok di mulutnya dan mengeluarkan asapnya. Kakinya melangkah menuju balkon kamarnya. Saat Dariel banyak pikiran, rokok dan alkohol adalah salah satu caranya untuk menghilangkan beban pikirannya.
Dariel berdiri di atas balkon kamarnya dengan tangan yang bertumpu pada pagar besi balkon. Pandangannya serasa kosong menatap langit malam.