Evan Dinata Dan Anggita sudah menikah satu tahun. Sesuai kesepakatan mereka akan bercerai jika kakek Martin kakek dari Evan meninggal. Kakek Martin masih hidup, Evan sudah tidak sabar untuk menjemput kebahagiaan dengan wanita lain.
Tidak ingin anaknya menjadi penghambat kebahagiaan suaminya akhirnya Anggita
rela mengorbankan anak dalam kandungan demi kebahagiaan suaminya dengan wanita lain. Anggita, wanita cantik itu melakukan hal itu dengan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda manik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikhlas
Tiga hari lamanya Anggita berada di rumah sakit. Dan selama tiga hari itu pula, Evan tidak menampakan diri di hadapan Anggita. Kini Anggita sudah berada di rumah kakek Martin. Walau Anggita sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Dokter masih menyarankan Anggita harus beristirahat yang cukup Dan disarankan untuk tidak bekerja terlebih dahulu.
Anggita patuh akan saran dokter itu. Sebagai seorang wanita. Tidak ada yang diinginkan dirinya saat ini selain keselamatan sang janin. Dia tidak perduli dengan sikap Evan yang seakan tidak perduli dengan dirinya. Lagipula, menurut Anggita lebih baik tidak bertemu dengan suaminya itu untuk saat ini. Selain tidak ingin kebohongannya terbongkar. Anggita takut jika Evan menyakiti hatinya dengan sikap ketus yang pasti melukai hati.
Hanya ada satu hal yang disyukuri oleh Anggita dalam pernikahannya yaitu mendapatkan kasih sayang yang tulus dari nenek Rieta dan Tante Tiara. Dua wanita itu selalu menyemangati Anggita. Dan bahkan merawat Anggita. Tapi ada satu hal yang membuat Anggita terjebak dengan kebohongannya sendiri. Keguguran yang diketahui oleh keluarga tidak sejalan dengan upaya kesembuhan yang dilakukan oleh Anggita.
"Jangan berbaring terus Anggita. Kamu sudah bisa berlatih berjalan. Yang melahirkan saja, dalam tiga hari sudah bisa jalan jalan di sekitar rumah. Apalagi dirimu hanya keguguran janin satu bulan. Jika kami seperti ini. Aku berpikir cara kamu ini hanya untuk mendapat perhatian dari Evan. Tapi kamu lihat, apapun yang kamu lakukan Evan pasti tidak memperdulikan kamu," kata mama Anita ketus. Wanita itu datang ke rumah kakek Martin bukan untuk menjenguk Anggita. Melainkan untuk membuat Anggita supaya tidak betah di rumah kakek Martin. Mama Anita berharap Anggita secepatnya pergi dari keluarga itu.
Apa yang dikatakan oleh mama Anita tidaklah salah. Hanya saja penyampainnya itu yang membuat sakit hati. Memang benar wanita yang keguguran seharusnya sudah harus menggerakkan tubuhnya supaya tidak kaku nantinya. Tapi sayang, Anggita memang harus berbaring dulu dan tidak boleh banyak bergerak demi janin itu.
"Iya ma. Tapi aku mau tidur dulu. Mungkin karena baru makan obat itu. Bawaannya mengantuk terus ma. Setelah bangun nanti aku akan jalan jalan di taman," jawab Anggita sambil memejamkan matanya. Dia tidak ingin menyangkal kata kata mertuanya itu. Dia berharap, mama Anita mengerti perkataannya yang menyuruh secara tidak langsung wanita itu keluar dari kamarnya.
"Alasan kamu Anggita. Aku juga pernah keguguran tidak seperti kamu itu."
Anggita memilih diam supaya mama mertuanya cepat dari keluar dari kamarnya. Tapi wanita itu seakan betah di kamar Anggita tapi masih saja mengomel. Entah apa saja yang dikatakan oleh mama Anita lagi. Anggita tidak begitu memperdulikannya. Dia memilih menghayal membayangkan hidupnya dan anaknya kelak di Masa depan. Anggita menghayalkan yang indah indah hingga bibirnya membentuk senyuman yang sangat manis.
"Sudah mulai gila dia," gerutu mama Anita kesal karena Anggita tidak menanggapi semua perkataannya. Anggita mendengar apa yang dikatakan oleh mama mertuanya tetapi berusaha untuk mengabaikan. Mama Anita selalu mengatakan yang tidak tidak tentang dirinya. Yang dia inginkan saat ini adalah sendiri di kamar itu tanpa mama mertuanya yang masih saja mengomel.
Tapi harapan itu sirna dengan tante Tiara yang duduk santai di tepi ranjang. Wanita itu masih saja mengeluarkan kata kata yang menyakiti hati Anggita. Anggita yang terbiasa mendengar kata kata itu akhirnya merasa kebal juga. Hal itu terbukti dengan suasana hati Anggita yang baik baik saja mendengar semua ocehan sang mama mertua. Anggita akhirnya pura pura ngorok untuk mengusir mama Anita dari kamar itu.
Anggita merasa hidupnya tenang setelah mama Anita pergi dari rumah kakek Martin. Sepanjang Hari, Anggita bisa beristirahat tanpa terusik oleh mama mertuanya. Nenek Rieta sama sekali tidak mengganggu ketenangannya. Bahkan wanita tua itu menyuruh pelayan membawa semua keperluan Anggita termasuk makanan ke kamar wanita itu. Satu sikap yang sangat berbeda dibandingkan dengan sikap mama Anita.
Karena terlalu banyak tidur di siang hari. Malam hari, Anggita sulit memejamkan matanya karena sama sekali tidak mengantuk. Seperti tadi siang, Anggita memilih menghayal daripada bermain sosial media menunggu matanya mengantuk. Anggita merencanakan dalam hati hal apa saja yang akan dia lakukan untuk dirinya dan janinnya setelah perceraian itu tiba.
Hal berbeda terjadi pada diri Evan. Pria itu kini berada di sebuah bar. Dia sudah menghabiskan banyak alcohol tapi belum ada keinginan untuk keluar dari tempat itu.
"Menyingkirlah," kata Evan pada wanita wanita yang berusaha menggoda dirinya. Rico yang duduk di sebelah Evan merasa kesal para pria itu. Sudah tiga malam ini dirinya harus menjadi pengawal untuk sahabat sekaligus atasannya itu dan mereka selalu pulang larut malam.
"Cukup Evan. Kamu sudah mabuk," bentak Rico marah. Melihat Evan hanya untuk mengangkat kepalanya saja sudah tidak mampu lagi tapi masih saja berniat untuk meminum minuman keras itu membuat Rico kesal. Rico menangkap gelas yang sedang dipegang oleh Evan.
"Diamlah. Ini bukan urusan kamu," kata Evan dengan suara khas orang yang sedang mabuk. Dia mengibaskan tangan Rico sehingga gelas yang Ada ditangannya terjatuh. Gelas itu pecah beserta isinya berceceran di bangku dan juga di lantai.
Rico menatap sahabatnya itu dengan marah. Mata Evan yang sudah memerah menandakan jika pria itu sudah mabuk.
Rasa marah yang tadi Ada di hati Rico kini lenyap melihat sorot Mata sahabatnya itu. Walau Mata Evan memerah tapi jelas terlihat kesedihan di Sana. Sebagai sahabat, Rico tentu saja kasihan melihat sahabatnya itu. Dia adalah saksi perjalanan hidup Evan sejak duduk di sekolah menengah atas hingga saat ini.
Evan yang di mata orang sebagai pria yang beruntung karena terlahir dari keluaga kaya dan juga tampan ternyata tidak seberuntung dugaan orang.
Benar jika pria itu adalah memiliki segalanya. Tapi berkali kali Evan gagal dalam hal percintaan. Cintanya tidak pernah bisa bersemi hingga ke pelaminan. Rico mengetahui bagaimana Evan sangat mencintai Adelia. Tapi karena restu dari kakek Martin, pria itu harus kembali mengalami kegagalan karena harus menikahi Anggita.
Rico juga mengetahui bagaimana Evan sudah sangat menginginkan seorang anak. Pria itu bahkan sering mengungkapkan keinginan itu kepada dirinya. Sayangnya, Evan selalu menyebut nama Adelia yang menjadi ibu dari anak anaknya kelak membuat Rico tidak ingin berkomentar akan keinginan tersebut.
Melihat Evan seperti ini. Timbul pertanyaan di kepalanya. Apakah Evan seperti ini karena sedih kehilangan janinnya?.
"Kamu yang membuat dirimu menderita seperti ini bro. Andaikan kamu menerima Anggita sebagai istri kamu dan menghargainya. Kamu tidak mengalami hal ini. Kamu yang mempersulit dirimu sendiri. Kamu yang mengundang masalah dalam hidup kamu," kata Rico sambil membantu Evan berdiri. Rico berencana membawa Evan pulang supaya pria itu tidak minum minuman keras lagi.
Rico mengetahui dengan jelas apa yang dia katakan tidak akan didengar oleh Evan. Tapi setidaknya Rico mengatakan apa yang terganjal di hatinya. Walau sama sama pria, Rico tidak membenarkan sikap Evan yang memperkenalkan Adelia sebagai istrinya di Masa depan di saat Evan masih sah suami dari Anggita. Terlepas dari bagaimana hubungan Evan dan Adelia saat ini. Dan dia juga bisa melihat jika selama ini Anggita sudah berusaha menjadi istri yang baik.
"Tubuhmu berat sekali. Bisa tidak kamu tidak menyusahkan aku satu hari saja. Kalau tidak mengingat kebaikan dan persahabatan kita. Aku sudah meninggalkan kamu disini. Biar saja kamu diculik wanita wanita tak beres itu."
Rico mengomel sepanjang perjalanan dari ruangan hingga ke dalam Mobil. Rico sedikit kewalahan memapah Rico. Rico bisa menarik nafas lega setelah berhasil memasukkan Evan ke dalam mobil.
"Antarkan aku ke rumah kakek," kata Evan setelah mereka di dalam mobil. Rico tidak menjawab pria itu. Melihat Evan mabuk seperti ini, dia tidak menyangka jika pria itu mengetahui mereka sedang di dalam Mobil.
"Ke rumah kakek," ulang Evan.
"Untuk apa kamu ke Sana?. Sebaiknya kamu aku antar ke rumah kamu saja. Ada wanita pujaan kamu di rumah itu menunggu kepulangan kamu," sindir Rico. Tapi sayang sindiran itu tidak didengar oleh Evan. Pria itu sudah terlihat tertidur di bangku belakang.
Rico mendengus kesal melihat sahabatnya itu. Di saat mabuk seperti ini, Evan ingin ke rumah kakek Martin. Rico mengetahui jika Anggita ada di rumah itu. Dia seketika khawatir membawa Evan ke rumah itu karena takut Evan menyakiti Anggita.
Tidak ingin membantah perkataan atasannya. Rico akhirnya membawa Mobil itu menuju rumah kakek Martin.
Setelah sampai di rumah kakek Martin. Evan bisa berjalan tanpa bantuan Rico walau sempoyongan menuju kamar Anggita.
"Anggita buka pintunya," kata Evan sambil memutar handle pintu. Pintu itu terbuka yang ternyata tidak terkunci. Anggita yang belum tidur terkejut melihat kedatangan suaminya. Apalagi dalam keadaan mabuk seperti ini. Anggita merasakan ketakutan luar biasa ketika Evan mendekati dirinya.
"Berhenti di situ mas. Jangan menyakiti aku," kata Anggita ketakutan sambil menutup perutnya dengan bantal. Anggita takut jika Evan menginginkan haknya dalam keadaan mabuk seperti ini.
"Berani kamu mengatur aku?" kata Evan semakin mendekat. Bau alkohol dari mulutnya jelas tercium ke hidung Anggita. Anggita menutup mulutnya karena aroma itu membuat perutnya hampir muntah.
"Tidak mas, aku tidak berani mengatur kamu. Hanya saja kamu harus ingat jika aku sedang pemulihan. Aku baru saja keguguran," kata Anggita berusaha mengingatkan suaminya. Anggita takut jika keadaan mabuk seperti ini, Evan lupa akan Kondisinya saat ini dan meminta haknya sebagai suami. Tapi perkataannya tidak berarti. Kini Evan sudah berada di dekat ranjang dan bahkan sudah duduk di ranjang itu.
"Kamu pembunuh Anggita," kata Evan pelan. Jari telunjuk milik Evan jelas mengarah ke wajah Anggita. Anggita hanya menggelengkan kepalanya menyangkal perkataan suaminya. Dia tidak menyangka jika karena idenya menyembunyikan kehamilannya membuat dirinya dijuluki sebagai pembunuh.
"Kamu pembunuh janinku. Kejahatan kamu membuat aku tidak bisa melihat calon anakku lahir ke dunia ini. Kamu jahat. Aku bisa terima jika kamu marah,. kecewa atau apapun dengan apa yang terjadi di dalam pernikahan Kita. Tapi tidak seharusnya kamu melampiaskan kemarahan kamu kepada Adelia. Lihat sekarang akibat dari perbuatan kamu itu. Karena kamu berusaha menyakiti orang lemah seperti Adelia. Darah dagingku menjadi korban kejahatan kamu."
Anggita bisa melihat kemarahan di mata suaminya.
"Aku yang jahat atau kamu yang jahat mas?. Kamu yang seharusnya disebut pembunuh. Kamu membunuh mentalku. Kamu membunuh perasaan aku. Kamu membunuh harapan aku. Kamu tidak mengenal aku. Makanya kamu sembarangan menuduh aku. Andaikan kamu mengenal aku sedikit saja. Kejadian itu tidak terjadi kepada aku. Tapi lihat dan ingat. Karena wanita pujaan kamu itu aki harus merasakan kehancuran yang hebat."
Evan tertawa mendengar perkataan Anggita. Ternyata walau mabuk. Pendengarannya masih sangat bagus.
"Ternyata kamu terbawa perasaan dengan pernikahan ini Anggita. Itu salah kamu sendiri. Semua tuduhan kamu itu ada pada dirimu sendiri. Pikir pakai otak. Jangan hanya memakai perasaan kamu saja. Aku sangat mengenal kamu. Mengenal luar dalam." Evan berkata seakan semua pemikirannya tentang Anggita benar.
Anggita terdiam memikirkan perkataan suaminya. Jika dipikir pikir. Benar kata Evan. Dirinya sendiri lah yang menjadi pembunuh untuk hidupnya sendiri. Andaikan dirinya tidak bersedia menikah dengan Evan. Dia tidak mengalami kehidupan pernikahan yang menyedihkan.
"Baiklah mas. Malam ini dan kamar ini jadi saksinya. Aku akan pergi dari hidup kamu."
"Bagus. Seperti tujuan kamu bersedia menikah dengan aku. Aku akan memberikan hak kamu selain kafe dan rumah itu. Berapa kamu minta. Aku akan memberikan kepada kamu."
"Aku tidak membutuhkan itu mas. Aku hanya ada satu permintaan untuk kamu."
Evan terdengar tertawa sinis mendengar perkataan Anggita. Dia tidak percaya jika Anggita akan menolak kompensasi dari perceraian mereka nantinya. Dalam keadaan mabuk pria itu masih menilai Anggita sebagai wanita penggila harta. Anggita seakan tidak memiliki sisi kebaikan selama wanita itu menjadi istrinya.
"Aku hanya ingin kamu tidak melupakan aku mas. Siapapun pendamping hidup kamu kelak. Kenanglah aku sebagai wanita yang pernah menjadi istri kamu. Wanita pertama yang membuat kamu bergelar suami. Wanita yang selama pernikahannya menginginkan kamu sebagai pria yang pertama dan terakhir dalam hidupnya," kata Anggita serak. Mengucapkan kata kata terakhir untuk suaminya membuat dadanya sesak. Anggita menutup wajahnya dengan bantal supaya tangisnya tidak pecah.
Anggita berpikir. Mungkin malam inilah malam terakhir baginya melihat Evan sebagai suaminya. Tidak ada yang bisa dipertahankan lagi di dalam hubungan pernikahan mereka. Anggita melepaskan bantal itu dari wajahnya dan menatap wajah Evan sejenak.
Anggita meraih tangan suaminya kemudian mencium punggung tangan itu dengan air Mata yang tertahan. Untuk terakhir kalinya. Dia ingin menyentuh tangan pria yang menjadi ayah dari anak yang dia kandung.
"Semoga kamu dan Adelia bahagia mas. Semoga kalian bisa mewujudkan kebahagiaan yang tertunda karena kehadiran diriku. Aku minta maaf atas semua ini. Tolong maafkan aku. Aku ihklas menerima ini semua. Dan jangan pernah menyesali keputusan yang kamu buat ini. Ini adalah keputusan kamu. Aku hanya mengikuti keinginan kamu demi kebahagiaan kamu sendiri," kata Anggita.
tapi di ending bikin Sad
senggol dong
tapi mengemis no.