NovelToon NovelToon
Kembalinya Pendekar Pedang Naga Api

Kembalinya Pendekar Pedang Naga Api

Status: tamat
Genre:Action / Petualangan / Tamat / Fantasi Timur / Dikelilingi wanita cantik / Aliansi Pernikahan / Pusaka Ajaib
Popularitas:3.9M
Nilai: 4.9
Nama Author: Ebez

Sebelum mulai baca novel ini, baca dulu pendahulu dengan judul Babat Negeri Leluhur untuk mengetahui latar belakang cerita ini.



Panji Tejo Laksono, sang putra pertama dari Raja Panjalu Prabu Jitendrakara harus berjuang keras menyatukan kembali perpecahan di kalangan Istana Kadiri karena hasutan tahta yang meracuni pemikiran permaisuri kedua Raja Panjalu.


Intrik politik dalam istana, ketulusan hati dan tekad untuk memajukan negeri tercinta menjadi bumbu perjalanan cerita Panji Tejo Laksono dalam upaya membuktikan diri sebagai penerus yang mampu membawa kejayaan Panjalu setelah pemerintahan Prabu Jitendrakara.


Bagaimana kisah perjalanan cita dan cinta Panji Tejo Laksono dalam tampuk kekuasaan Kerajaan Panjalu setelah mendapat warisan Pedang Naga Api dari sang Ayah? Temukan jawabannya di setiap episode perjalanannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mimpi

"Aku baru saja selesai memulihkan tenaga dalam ku, Gayatri..

Ada apa malam malam begini mencari ku?", Panji Tejo Laksono beranjak dari tempat semedinya dan melangkah ke arah Gayatri yang masih berdiri di depan pintu kamar tidur nya.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan mu, tapi tidak disini", balas Gayatri sembari tersenyum tipis.

"Bicara saja disini Gayatri..

Kenapa harus pula keluar kalau ada yang mau di bicarakan", ujar Panji Tejo Laksono segera.

Gayatri tak menjawab namun ekor matanya melirik ke arah Endang Patibrata yang masih duduk di kursi kayu dalam kamar tidur Panji Tejo Laksono. Sang pangeran muda itu langsung mengerti apa maksud dari tatapan mata Gayatri.

Panji Tejo Laksono menoleh ke arah Endang Patibrata, namun belum sempat dia bicara gadis cantik itu segera bangkit dari kursi kayu tempat duduknya.

"Iya iya, aku mengerti Kakang Taji..

Tak perlu mengusir ku, aku tahu diri kog", Endang Patibrata melangkah keluar dari dalam kamar tidur Panji Tejo Laksono dan bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar tidur nya sendiri.

Setelah Endang Patibrata menghilang di balik pintu kamar, Gayatri segera masuk ke dalam kamar tidur Panji Tejo Laksono dan duduk di kursi kayu tempat Endang Patibrata tadi.

"Sekarang apa yang kau ingin katakan Gayatri? Cepat katakanlah..

Ini sudah larut malam, tidak baik seorang perempuan bersama dengan seorang lelaki di dalam kamar seperti ini", Panji Tejo Laksono mendudukkan dirinya di ranjang tidur nya.

"Kau sudah tahu semua rahasia tentang diriku.. Lantas bagaimana pendapat mu sekarang?", Gayatri menatap wajah tampan Panji Tejo Laksono dengan penuh keinginan untuk tahu mengenai isi hati kawan seperjalanan nya ini.

"Aku tidak mempermasalahkannya..

Saat aku menolong mu di Pakuwon Palah, aku sempat melihat orang orang yang mengepung mu memiliki sebuah lencana keprajuritan yang di sembunyikan di balik bajunya.

Saat itu aku tahu bahwa kau bukan orang biasa. Hanya saja aku merasa tidak perlu tahu jati diri mu yang sebenarnya karena aku yakin kau punya alasan tersendiri untuk tidak mengatakannya", jawab Panji Tejo Laksono dengan santainya.

Hemmmmmmm..

"Jadi kau sudah tahu sejak awal rupanya. Dan kau juga tidak mengatakan apa-apa saat aku mengarang cerita tentang kehidupan ku.

Apa kau sengaja mempermainkan ku Taji?", tanya Gayatri kemudian.

"Bukan begitu masalahnya, Gayatri..

Seperti kata Paman Singo Manggolo, ada rahasia yang perlu di ungkapkan dan ada pula rahasia yang perlu di sembunyikan. Semua orang berhak untuk memiliki ruang pribadi mereka masing-masing, Gayatri. Dan aku lebih memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan pribadi mu sepanjang itu tidak merugikan ku", Panji Tejo Laksono tersenyum penuh arti.

"Lantas setelah kau tahu jati diri ku sebagai putri Kadipaten Seloageng, bagaimana perasaan mu kepada ku?

Apa aku tetap terlihat biasa saja di dalam pandangan mu Taji?", kembali pertanyaan terlontar dari mulut Gayatri.

"Jujur saja aku tidak tahu Gayatri..

Untuk saat ini aku bingung dengan keadaan ku, juga masih harus bertahan dalam topo ngrame ku. Untuk masalah hati, biarkan waktu saja yang menjawabnya", balas Panji Tejo Laksono sembari menghela nafas berat. Dia tahu bahwa penerimaan Gayatri akan berubah saat mengetahui bahwa ia adalah Panji Tejo Laksono, putra tertua Panji Watugunung alias Prabu Jayengrana Maharaja Panjalu di Kadiri. Sedangkan masa topo ngrame nya masih kurang 7 hari lagi sebelum dia bisa menggunakan nama nya sebagai putra raja.

Mendengar perkataan itu, ada raut kecewa terpancar dari wajah Gayatri. Namun untuk saat ini ia tidak berani berterus terang tentang perasaan nya terhadap Panji Tejo Laksono.

"Aku mengerti Taji..

Selanjutnya apa rencana mu ke depannya? Kau tidak mungkin tinggal di tempat ini seterusnya bukan?", Gayatri kembali menatap wajah tampan Panji Tejo Laksono.

"Malam ini aku berencana untuk berpamitan kepada Eyang Guru Warok Suropati untuk melanjutkan pengembaraan ku. Aku ingin ke Kurawan atau Anjuk Ladang.

Tunggulah aku di luar rumah", jawab Panji Tejo Laksono dengan cepat.

"Aku setuju dengan pendapat mu..

Permaisuri Adipati Kurawan adalah adik ayah ku. Dia pasti gembira jika aku mengunjungi nya.

Kalau begitu aku akan bersiap siap Taji", ujar Gayatri sambil berjalan keluar dari kamar tidur Panji Tejo Laksono.

Setelah Gayatri meninggalkan tempat tidur nya, Panji Tejo Laksono langsung menutup pintu kamar dan segera menulis sebuah nawala untuk Endang Patibrata. Begitu selesai, dia kembali duduk bersila di atas ranjang tidur nya. Dia ingin menemui Warok Suropati sehingga dia merapal Ajian Ngrogoh Sukmo untuk menemui nya secara kasat mata.

Zzzzzzrrrrrrrttttttthhhhhh!!!

Setelah sukma Panji Tejo Laksono terpisah dari badannya, sukma pangeran muda itu segera melangkah ke arah kamar tidur Warok Suropati yang tengah bersemedi sembari membawa gulungan daun lontar.

Di hadapannya, sukma Panji Tejo Laksono segera menyembah pada Warok Suropati sebelum duduk bersila. Warok Suropati perlahan membuka mata nya sebelum menatap ke arah sukma Panji Tejo Laksono.

"Ada apa malam ini kau menemui ku, Nakmas Pangeran?", tanya Warok Suropati segera.

"Mohon ampun bila aku mengganggu semedi mu Eyang Guru..

Aku ingin mohon ijin dari Eyang Guru untuk melanjutkan perjalanan topo ngrame ku. Sebenarnya aku ingin berpamitan baik baik dengan semua nya tapi aku tahu bahwa Endang Patibrata tidak mungkin akan diam saja melihat aku pergi. Karena itu, malam ini juga aku ingin berangkat ke Kurawan Eyang Guru. Mohon doa restu nya", jawab Panji Tejo Laksono dengan sopan.

Hemmmmmmm...

"Aku mengerti kesulitan mu, Nakmas Pangeran.

Berangkat lah, hati hati selama di perjalanan. Saat kau sampai di istana Kotaraja Kadiri, titip salam ku untuk ibu mu Cempluk Rara Sunti dan adikmu Dewi Kencanawangi", ujar Warok Suropati sembari mengelus jenggotnya.

"Terimakasih Eyang Guru untuk semua petuah dan ilmu yang di turunkan.

Oh iya Eyang Guru, titip surat ini untuk Endang Patibrata. Aku harap dia bisa mengerti. Sampaikan juga permohonan maaf saya untuk paman Singo Manggolo dan Bibi Nyi Gandini.

Murid mohon pamit Eyang Guru", Panji Tejo Laksono menyembah pada Warok Suropati setelah memberikan surat untuk Endang Patibrata. Pangeran muda dari Kadiri itu mundur dari hadapan Warok Suropati untuk kembali ke kamar nya.

Usai sukma bersatu dengan jasad kembali, Panji Tejo Laksono segera membawa barang bawaan nya. Lalu mengalungkan pedang nya ke punggung sebelum melompat keluar dari jendela kamar tidur nya.

Gerakannya begitu ringan seperti kapas hingga tidak ada suara yang terdengar. Di jalan raya, Gayatri sudah menunggu Panji Tejo Laksono di atas kuda nya. Panji Tejo Laksono pun langsung melompat ke atas kuda nya. Sesaat sebelum pergi, Panji Tejo Laksono menatap ke arah kamar tidur Endang Patibrata lalu menggebrak kudanya menuju ke arah barat laut.

Di terangi cahaya bulan yang mendekati purnama, mereka terus bergerak menuju kearah Kadipaten Kurawan. Memasuki wilayah Pakuwon Sukowati yang terletak di perbatasan antara Kadipaten Wengker dan Kurawan, tiba tiba hujan deras mengguyur.

Panji Tejo Laksono dan Gayatri langsung bergegas melompat turun dari kudanya untuk berteduh di halaman rumah warga yang ada di wilayah pinggiran Kota Pakuwon Sukowati.

Guyuran hujan deras itu di sertai angin kencang dan gemuruh suara petir yang menggelegar.

Saat Panji Tejo Laksono dan Gayatri masih berdiri di teras rumah itu, tiba tiba pintu rumah terbuka perlahan.

Kriiieeeeetttttth...

Derit daun pintu rumah terdengar. Selanjutnya wajah seorang lelaki paruh baya berkumis tebal yang mulai memutih karena uban menyembul keluar dari dalam rumah.

Panji Tejo Laksono segera mendekati lelaki tua itu.

"Maaf Kakek..

Kami ijin untuk berteduh di sini. Mohon kakek berbaik hati memberikan tumpangan berteduh untuk kami", ujar Panji Tejo Laksono dengan sopan.

Kakek tua itu memicingkan matanya sembari melihat ke arah Panji Tejo Laksono seolah memeriksa orang yang berdiri di hadapannya. Setelah merasa yakin bahwa orang itu bukanlah orang jahat, si kakek tua itu tersenyum tipis. Cahaya penerangan dari lampu minyak jarak terlihat bergoyang tertiup angin.

"Tidak apa-apa anak muda..

Di luar sangat dingin, sebaiknya kalian masuk ke dalam rumah", tawar si kakek tua itu dengan ramah.

"Apa tidak merepotkan Kek? Baju kami sedikit basah terkena air hujan tadi", Panji Tejo Laksono mengibaskan tangannya yang basah terkena air hujan.

"Itu adalah salah satu alasan ku untuk menyuruh mu masuk anak muda..

Cepatlah masuk, aku tidak bisa berlama-lama di luar rumah dalam keadaan seperti ini. Tubuh tua ini sering masuk angin jika terkena udara malam", sahut kakek tua itu sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Panji Tejo Laksono dan Gayatri pun memilih mengikuti langkah sang kakek.

Jleeegggeeerrrr!!

Hujan deras terus mengguyur seolah tumpah dari langit. Sesekali petir menyambar membuat suasana malam hari itu terasa semakin menakutkan.

Setelah mereka masuk, lelaki tua itu segera beranjak ke belakang dan kembali membawa beberapa potong pisang rebus dan sekendi air minum.

"Maaf hanya ini yang aku punya, istri ku sudah tidur. Kasihan jika harus membangunkan nya kisanak", ujar lelaki tua itu sembari meletakkan nampan ke atas meja.

"Ah kami hanya ingin berteduh saja Ki, tidak perlu repot-repot..

Kalau dari sini ke Kota Wuwatan, butuh waktu berapa lama Ki?", tanya Panji Tejo Laksono dengan sopan.

"Kalian pengelana dari jauh ya?

Siapa nama kalian dan mau apa ke ibukota Kadipaten Kurawan?", lelaki tua bertubuh kurus itu balik bertanya.

"Saya Taji Lelono dan ini Gayatri Ki, jangan tertipu dengan penampilan nya yang seperti laki laki..

Kami dari Kadiri, ingin melihat keramaian kota kota di wilayah Kerajaan Panjalu", jawab Panji Tejo Laksono sembari tersenyum tipis. Gayatri hanya diam saja tanpa berkata.

"Oh pantas saja jika tidak tahu jalan..

Aku Ki Wiryo, aku dengar putra ku menjadi prajurit di Kotaraja Kadiri. Namanya Siwikarna. Jika kalian bertemu dengan nya, katakan bahwa kami di sini baik baik saja.

Oh iya jika ingin ke kota Kadipaten Kurawan, kalian tinggal lurus saja mengikuti jalan raya ini. Tidak sampai setengah hari perjalanan kalian sudah sampai disana", ujar Ki Wiryo.

"Terimakasih atas petunjuk mu Ki", Panji Tejo Laksono tersenyum tipis.

Malam itu hujan deras terus saja mengguyur wilayah kota Pakuwon Sukowati.

Di istana Pakuwon Sukowati, seorang wanita cantik berpakaian bangsawan yang berumur sekitar tiga setengah dasawarsa, nampak berdiri memandang derai hujan deras yang terus tumpah dari langit. Meski telah cukup umur, namun gurat kecantikan wanita itu masih terlihat jelas.

Wanita itu nampak tengah memikirkan sesuatu yang mengganjal pikiran nya.

"Gusti Putri,

Ada apa gerangan Gusti Putri bersikap seperti ini? Apa ada yang mengganggu pemikiran mu?", tanya seorang wanita berpakaian serba putih yang kira kira seusia dengan nya.

Hemmmmmmm...

Terdengar suara helaan nafas panjang sebelum wanita cantik itu buka suara.

"Setelah sekian lama, tadi malam aku mimpi itu lagi, Puspa Putih.

Aku sudah berusaha menghapus semua ingatan ku tentang perasaan ku kepada orang itu, tapi kenapa bayangan nya muncul lagi sejak kemarin", ujar perempuan cantik itu sembari menadahkan tangan kanannya ke rinai hujan deras. Cipratan air hujan membasahi lengan nya yang putih mulus.

"Maksud Gusti Putri, paduka bermimpi lagi dengan orang itu lagi?

Aduh Gusti Putri, saya mohon Gusti Putri tidak terbawa cerita asmara terlarang itu lagi. Gusti Putri harus ingat bahwa istri istri nya pernah membuat Gusti Putri terluka parah. Cukuplah cerita asmara terlarang itu di masa lalu", ujar si perempuan berpakaian serba putih yang di panggil Puspa Putih itu segera.

"Aku juga tidak ingin mengingatnya, Puspa Putih.

Tapi dua malam ini mimpi itu datang kembali. Itulah sebabnya aku terus memikirkan nya", ujar perempuan cantik yang sudah berumur itu.

Dia adalah Dewi Ambarwati, putri Akuwu Sukowati, Rakeh Pamintihan yang sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Setelah pertarungan nya melawan Cempluk Rara Sunti dulu untuk mendapatkan cinta Panji Watugunung, perempuan cantik itu pulang ke Pakuwon Sukowati dan menerima permintaan ayahnya untuk menikah dengan seorang bangsawan dari Kadipaten Lewa yang bernama Ranaweleng yang di jodohkan dengan nya. Beberapa tahun berselang, Ranaweleng meninggal dunia. Meninggalkan Dewi Ambarwati dan dua orang putra mereka, Ranawijaya dan Ranawati. Ranawijaya menjadi Akuwu di usia sangat muda hingga semua kekuasaan di Pakuwon Sukowati di kendalikan oleh Dewi Ambarwati.

Bertahun-tahun lamanya tak pernah memimpikan Panji Watugunung lagi, selama dua malam terakhir ketenangan nya terganggu dengan kehadiran sosok pria tampan yang mirip Panji Watugunung dalam mimpinya.

"Sudahlah Gusti Putri,

Mimpi hanyalah bunga tidur. Sebaiknya Gusti Putri tidak terlalu memikirkannya. Malam telah larut, sebaiknya kita beristirahat", ujar Puspa Putih sang dayang setia.

Malam itu hujan terus mengguyur dengan derasnya hingga hari menjelang pagi.

Suasana dingin terasa di kota Pakuwon Sukowati yang terletak di kaki Gunung Wilis sebelah barat meski pagi sudah menjelang tiba.

Panji Tejo Laksono dan Gayatri pagi itu berniat membeli beberapa barang di pasar Pakuwon yang terletak di depan alun alun Kota Pakuwon Sukowati sebagai tanda terima kasih atas kebaikan Ki Wiryo yang memberikan tumpangan berteduh dan bermalam kepada mereka berdua sekalian membeli beberapa pakaian ganti.

Mereka berkeliling pasar yang cukup ramai dikunjungi oleh para pembeli dan pedagang yang menjual barang dagangan nya.

Dewi Ambarwati yang kebetulan pagi itu juga ke pasar karena ingin melihat keramaian, terkejut bukan main melihat sesosok pemuda tampan dan seorang kawannya tengah menenteng barang belanjaan.

Lama Dewi Ambarwati menatap ke arah Panji Tejo Laksono hingga tak mendengar panggilan Puspa Putih dan Puspa Abang yang mengawalnya.

"Gusti Putri,

Apa yang kau lihat?", tanya Puspa Abang.

Dengan gugup, Dewi Ambarwati menelan ludah nya karena tenggorokan nya terasa kering. Terbata-bata dia berbicara.

"Pe-pemuda i-itu Puspa Abang..

Dia mirip Panji Watugunung"

1
Joel
Luar biasa
Tegar Nagan
haha
Nunung Setiawan
Lumayan
Nunung Setiawan
Luar biasa
Mahayabank
/Good//Good//Good//Good//Good//Pray//Pray/
Mahayabank
Panjang sangad...tuh gelar.../Good//Good//Good/
Mahayabank
/Good//Good//Good/ The best
Mahayabank
Nah..padahal sudah tinggal potong leher.../Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Mahayabank
Mantaaap...Lanjuuuut lagiiee 👌👌👌
Mahayabank
/Good//Good//Good//Moon//Moon/
Mahayabank
/Ok//Ok//Ok//Good//Good/
Mahayabank
Yaudah lanjuuuut lagiiieee 👌👌👌
Mahayabank
Setan jantan juga ada donk klo gitu.../Facepalm//Facepalm/
Mahayabank
/Good//Good//Good//Moon//Moon/
Mahayabank
Yaudah lanjuuuut lagiiieee 👌👌👌
Mahayabank
/Good//Good//Good//Ok//Moon/
Mahayabank
Mantaaap...Lanjuuuut lagiiee 👌👌👌
Mahayabank
Yaudah lanjuuuut lagiiieee 👌👌👌
Mahayabank
/Good//Good//Good//Ok//Ok/
Mahayabank
Mantaaap...Lanjuuuut lagiiee 👌👌👌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!