Kembalinya Pendekar Pedang Naga Api
Blllaaammmmmmmm!!!!
Ledakan dahsyat terdengar saat sebuah cahaya merah membara menghantam kereta kuda dengan bendera Kerajaan Panjalu. Kereta kencana dari kayu berukir indah dengan lambang kepala garuda itu hancur berkeping-keping dan jatuh ke dalam Jurang Menjing yang ada di kiri jalan yang mereka lewati.
Seorang kusir dan empat ekor kuda yang menarik kereta kuda ikut tewas dalam ledakan dahsyat di siang hari itu.
Namun seorang lelaki muda berusia kurang lebih 2 dasawarsa berpakaian mewah layaknya seorang bangsawan berhasil menyelamatkan diri dengan melompat keluar dari kereta kuda sesaat sebelum sinar merah membara menghantam. Meski beberapa luka menghiasi tubuhnya, namun dia masih selamat.
Sayangnya keberuntungan sang lelaki muda tak begitu baik. Meski dia berhasil melompat ke jalan, tapi seorang lelaki paruh baya dengan jenggot lebat yang mulai memutih kembali melontarkan cahaya merah membara kearah si lelaki muda.
Whuuutthhhh!!
Si lelaki muda bertubuh tegap dengan wajah tampan itu langsung salto ke belakang beberapa kali menghindari sinar merah membara yang di lepaskan lelaki paruh baya itu.
Dhuuaaaaaaarrrrrr!!!
Ledakan dahsyat kembali terdengar. Si lelaki muda itu menyadari bahwa kemampuan nya jauh di bawah si lelaki paruh baya yang memburu nya, bermaksud untuk melarikan diri. Namun dari sisi yang lain juga muncul seorang lelaki paruh baya lain dengan satu mata tertutup kulit lembu berwarna hitam.
Sadar tak mungkin bisa meloloskan diri, si pemuda mundur setapak demi setapak.
"Kalian berani sekali mencelakai kerabat dekat istana Kadiri? Apa kalian sudah bosan hidup?", ujar si pemuda tampan mencoba untuk menakut-nakuti dua orang yang mendekati sang pemuda.
Hahahahahahaha...
"Menggunakan nama Istana Kadiri untuk menakut-nakuti kami? Kau pikir kami takut?
Phuihhhh..
Kami bertindak juga dengan perintah orang istana Kadiri. Kau pikir kami bodoh berani macam-macam dengan kerabat istana tanpa bantuan orang dalam ha? Kau sungguh naif sekali anak muda", jawab si mata satu sambil tersenyum sinis.
"Mak-maksud mu, kalian di suruh orang dalam istana Kadiri? I-itu tidak mungkin itu tidak mungkin...
Kalian pasti bohong, kalian berdusta", teriak si pemuda tampan sambil terus mundur. Dia benar-benar sulit mempercayai apa yang baru saja dia dengar.
Sambil tersenyum lebar, si lelaki paruh baya berjenggot lebat yang mulai memutih itu mengeluarkan sebuah lencana perak bergambar Candrakapala yang di angkat ke depan wajah sang pemuda.
"Ini adalah bukti perintah nya. Apa kau masih meragukan omongan ku, Gusti Pangeran? Hahahaha...
Bersiaplah untuk menemui leluhur mu di neraka. Salahkan nasib sial mu yang menjadi anak pertama Jayengrana", ucap si lelaki berjenggot lebat sambil mengumpulkan tenaga dalam nya di tangan kanannya.
"Mampus kau, Pangeran Tejo Laksono!"
Sinar merah membara melesat cepat kearah si pemuda tampan yang tak lain adalah Panji Tejo Laksono, putra tertua dari Prabu Jitendrakara atau juga dikenal sebagai Prabu Jayengrana.
Whhuuuuuuuggggh!!
Tak ingin terbunuh tanpa perlawanan, Panji Tejo Laksono langsung mengeluarkan Ajian Tapak Dewa Api yang dia pelajari dari Padepokan Padas Putih.
Sinar merah menyala seperti api tercipta di kedua tangan Panji Tejo Laksono. Dengan cepat ia menghantamkan kedua tangan nya ke arah sinar merah membara yang menuju ke arah nya.
Blllaaammmmmmmm!!
Ledakan dahsyat terdengar. Panji Tejo Laksono muntah darah segar sambil terpental ke arah Jurang Menjing. Tubuhnya melayang turun dan dia pingsan saat masih di udara.
Si lelaki berjenggot lebat itu juga muntah darah segar dan terdorong sejauh 2 tombak ke belakang. Si mata satu dengan cepat mendekati nya.
"Kakang Reksowiryo kau tidak apa-apa?", tanya si mata satu itu dengan cepat.
"Uhuukkkk...
Bocah tengik itu lumayan juga. Saat mau mampus masih sempat melukai ku. Kita harus cepat pergi dari sini, Kencaka.. Aku yakin orang orang kita tidak mampu menahan dua perwira tinggi Kerajaan Panjalu itu lebih lama lagi", ajak lelaki berjenggot lebat yang di panggil dengan nama Mpu Reksa sambil melesat ke arah rimbun pepohonan di sisi lain jalan. Temannya yang bermata satu yang di sebut dengan nama Mpu Kencaka itu langsung mengikuti langkah Mpu Reksowiryo.
Mpu Reksowiryo dan Mpu Kencaka adalah sepasang pendekar sepuh yang memiliki nama besar di wilayah Tanah Perdikan Lodaya. Mereka bekerja pada kelompok pembunuh bayaran yang paling di takuti di wilayah timur Kerajaan Panjalu, Bulan Sabit Darah.
Kelompok Bulan Sabit Darah beberapa kali terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap beberapa pejabat rendah hingga menengah. Yang paling berani mereka menyerbu ke dalam Istana Kadipaten Matahun untuk membunuh Adipati Maitreya. Meski gagal dan kehilangan beberapa pilar utama kelompok, tapi kelompok itu tetap menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar pejabat di timur Kerajaan Panjalu.
Tubuh Panji Tejo Laksono yang pingsan meluncur turun ke dasar jurang. Sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuh Panji Tejo Laksono sebelum menyentuh dasar jurang yang berbatu.
"Hemmmmmmm tulang yang bagus", gumam si bayangan putih itu sambil melayang seperti terbang menuju ke arah timur.
Di sebuah pondok kayu dekat air terjun kecil di lereng Gunung Kelud, si bayangan putih yang ternyata adalah seorang kakek tua bertubuh sedikit kurus dengan pakaian seperti pertapa itu berhenti. Jenggotnya telah memutih, rambutnya penuh dengan uban dan kulit nya yang keriput menandakan bahwa kakek tua itu telah berusia lanjut.
Dengan hati hati, sang kakek tua meletakkan tubuh Panji Tejo Laksono diatas dipan kayu yang di lapisi daun daun kering.
Dengan cepat, sang kakek tua itu memeriksa keadaan Panji Tejo Laksono.
"Ah untung saja cuma luka dalam sedang saja. Kau benar benar punya keberuntungan anak muda", ujar si kakek tua yang dengan cepat menotok beberapa jalan darah dan urat nadi Panji Tejo Laksono.
Setelah itu, si kakek tua segera mendudukkan tubuh Panji Tejo Laksono. Sambil duduk bersila di belakang nya, si kakek tua bertubuh kurus itu segera menyalurkan tenaga dalam nya. Hawa panas menyebar ke seluruh tubuh Panji Tejo Laksono hingga sang pemuda tampan tersadar dari pingsannya.
Thapp thapp..
Dengan cepat kakek tua menotok dua titik nadi di punggung Panji Tejo Laksono.
Huuuuooogggghhh!!!
Panji Tejo Laksono langsung muntah darah kehitaman. Melihat Panji Tejo Laksono memuntahkan darah kehitaman, kakek tua itu tersenyum senang. Perlahan dia beringsut dan merebahkan tubuh Panji Tejo Laksono keatas dipan kayu. Bibir Panji Tejo Laksono yang nampak pucat itu bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tubuhnya sangat lemah hingga tak punya tenaga untuk bicara.
"Istirahat lah anak muda. Kita bicara lagi setelah pulih tenaga mu", ujar kakek tua sembari tersenyum tipis.
Dengan menyentuh dahi diantara dua mata, si kakek tua itu langsung membuat Panji Tejo Laksono tertidur pulas. Si kakek tua tersenyum simpul lalu berjalan keluar dari dalam pondok kayu beratap daun kelapa yang dianyam. Satu gerakan cepat, tubuh tua kakek itu melayang meninggalkan pondok kayu.
Sementara serombongan pasukan berkuda berhenti di bekas arena pertarungan antara Panji Tejo Laksono dan dua pembunuh bayaran.
Seorang lelaki bertubuh tegap langsung melompat turun dari kudanya dan bergegas memeriksa keadaan sekitar tempat itu. Mata lelaki berusia empat setengah dasawarsa itu nampak menyapu ke sekeliling tempat itu. Matanya terpaku pada genangan darah, beberapa potongan kayu kereta dan sebuah potongan kain yang menyangkut di sebuah pohon johar yang tumbuh di tepi tebing Jurang Menjing.
Tak berapa lama kemudian rombongan berkuda lain menyusul berhenti di tempat itu. Seorang lelaki bertubuh tambun dengan rambut mulai memutih nampak melompat turun dari kudanya mendekati sang perwira tinggi prajurit Panjalu.
"Apa yang kau lihat Lu? Apa kau menemukan sesuatu?", tanya perwira tinggi bertubuh tambun itu segera.
"Kau diam dulu Mbreg...
Aku sedang mencoba menggambarkan keadaan pertarungan disini tadi", bentak si lelaki bertubuh tegap itu dengan keras.
"Ah kau itu tetap saja begitu Lu, suka main rahasia rahasiaan sama aku", perwira bertubuh tambun itu mendengus kesal.
"Dasar cerewet!
Coba kau lihat potongan kayu jati itu, juga bekas tapak roda yang menghilang disini. Terus darah yang belum mengering di sana. Lobang itu juga merupakan dari hantaman ajian kanuragan tingkat tinggi.
Dari itu semua, aku perkirakan bahwa kereta kuda yang membawa Gusti Pangeran Panji Tejo Laksono telah jatuh ke Jurang Menjing ini, Mbreg", jawab sang perwira tinggi berkumis tipis itu segera. Mendengar jawaban itu, si perwira prajurit bertubuh tambun itu terkejut bukan main begitu juga para prajurit yang mengiringi mereka.
Ya, mereka berdua adalah Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg, dua perwira tinggi Kerajaan Panjalu. Mereka adalah abdi setia Prabu Jitendrakara alias Jayengrana sejak masih muda.
Kali ini mereka berdua di tugaskan untuk menjemput Pangeran Panji Tejo Laksono yang telah selesai menempuh pendidikan di Padepokan Padas Putih.
Namun rupanya ada sebuah persekongkolan besar di dalam istana Kadiri hingga iring-iringan rombongan Panji Tejo Laksono di sergap para pembunuh bayaran Bulan Sabit Darah.
Para pembunuh bayaran dari Kelompok Bulan Sabit Darah dengan cerdik memisahkan kereta kuda Pangeran Panji Tejo Laksono dengan Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg hingga menyebabkan peristiwa ini terjadi.
Seluruh prajurit Panjalu yang dipimpin oleh Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg langsung memikirkan nasib yang akan di terima oleh mereka jika kabar jatuhnya Pangeran Panji Tejo Laksono ke Jurang Menjing terdengar oleh telinga Maharaja Panjalu Prabu Jitendrakara Parakrama Bhakta. Hukuman penggal sudah pasti mereka terima karena gagal melindungi putra tertua Panji Watugunung itu.
Saat mereka tengah memikirkan nasib mereka ke depannya, seorang prajurit melihat suatu sinar berkilau di dasar Jurang Menjing.
"Gusti Tumenggung,
Ada cahaya berkilauan di dasar jurang ini. Itu ada disana", sang prajurit menunjuk ke cahaya berkilauan seperti batu mulia.
Mendengar ucapan itu, Tumenggung Ludaka segera bangkit dan memicingkan matanya ke arah cahaya yang di tunjukkan oleh sang prajurit.
"Itu itu lencana perak. Itu pantulan sinar matahari dari perak. Itu pasti lencana perak Gusti Pangeran.
Mbreg, aku akan turun ke bawah untuk memastikan bahwa ada kemungkinan Gusti Pangeran di temukan di bawah sana. Aku akan turun ke bawah ", ujar Senopati Ludaka pada Demung Gumbreg dengan girang.
"Tapi Lu,
Jurang Menjing ini sangat dalam. Menuruninya sangat berbahaya. Iya kalau itu benar lencana perak Gusti Pangeran, kalau bukan kan sia sia kau kesana", Demung Gumbreg mencoba untuk menghentikan niat Tumenggung Ludaka.
"Mbreg,
Kita itu prajurit Panjalu. Sekalipun kita mati dalam tugas yang diberikan oleh Gusti Prabu Jayengrana, bagiku itu lebih baik daripada harus kembali ke istana dengan kegagalan menjalankan tugas. Aku akan membawa 6 prajurit ku.
Kau kembalilah ke istana. Kabarkan berita ini pada Gusti Prabu seorang. Tapi ingat, selain kita yang ada disini, berita ini tidak boleh bocor.
Apa kau mengerti?", Tumenggung Ludaka menatap ke arah Demung Gumbreg.
"Aku mengerti Lu..
Sebaiknya kau kembali dengan selamat dan membawa berita baik ", jawab Demung Gumbreg sambil menatap wajah sahabat karibnya itu. Mereka telah berkawan karib puluhan tahun, mengabdikan diri pada Panji Watugunung melewati suka duka bersama di puluhan perang dan pertempuran.
Usai berkata demikian, Demung Gumbreg segera melompat ke atas kuda nya dan bersama para prajurit Panjalu dia menggebrak kudanya menuju ke arah Kotaraja Kadiri.
Sedangkan Tumenggung Ludaka dan keenam prajurit pilihan nya segera bergegas mencari jalan memutar untuk menuruni lereng terjal Jurang Menjing. Begitu menemukan yang dicari, mereka bertujuh segera turun ke bawah.
Rimbun pohon belukar dan akar akar pohon menjalar menjadi alat bantu mereka untuk menuruni lereng terjal itu. Menggunakan parang dan golok, mereka membuat jalan menuju dasar jurang. Sesampainya di dasar jurang, Tumenggung Ludaka dan keenam prajurit Panjalu menyusuri sungai kecil berair jernih menuju ke arah tempat dimana kilauan perak tadi terlihat.
Setelah sampai, mereka segera berpencar ke sekeliling tempat terlihatnya perak tadi. Di tempat itu mereka menemukan bangkai kuda dan mayat kusir kereta tapi tidak menemukan jasad Pangeran Panji Tejo Laksono.
Seorang prajurit akhirnya menemukan lencana perak bergambar Candrakapala di dekat batu besar yang ada di samping sungai kecil. Dengan cepat ia menyerahkan lencana perak itu pada Tumenggung Ludaka.
Hemmmmmmm..
'Jasad Gusti Pangeran Panji Tejo Laksono tidak ada. Tidak ada tanda tanda binatang buas maupun darah berceceran. Ada kemungkinan besar Gusti Pangeran masih hidup, tapi dimana beliau sekarang?', batin Tumenggung Ludaka sambil mengernyitkan keningnya.
Setelah menguburkan mayat kusir kereta kuda, mereka segera bergegas meninggalkan tempat itu karena hari telah menjelang sore. Mereka memilih untuk menyusuri sungai kecil itu dengan harapan untuk dapat menemukan keberadaan Panji Tejo Laksono.
Sementara itu di ruang pribadi Raja di istana Katang-katang, seorang lelaki bertubuh tegap dengan kumis tipis nampak berdiri sambil mengepalkan tangannya di belakang pinggang. Sebagian rambutnya telah memiliki uban namun tidak mengurangi wibawa dan gurat ketampanan masa muda nya sebagai seorang Raja. Meski sedang tidak mengenakan mahkota raja, lelaki itu terlihat agung dengan tatapan mata tajamnya. Dia sedang gusar mendengar laporan Demung Gumbreg yang baru saja kembali dari Padepokan Padas Putih tempat putra sulungnya menempuh pendidikan dari para resi sebagai bekal nya menjadi pemimpin masa depan Kerajaan Panjalu.
"Jadi Tumenggung Ludaka masih mencari keberadaan putra ku di Jurang Menjing?", ujar lelaki bertubuh tegap itu tanpa menatap ke arah Demung Gumbreg.
Perwira tinggi prajurit Panjalu bertubuh tambun itu segera menghormat pada lelaki di hadapannya.
"Benar begitu adanya Gusti Prabu..
Kami berbagi tugas untuk menyampaikan berita ini langsung pada Gusti Prabu. Sedangkan Tumenggung Ludaka juga berpesan agar berita ini tidak boleh menyebar kepada siapa pun meski pada kerabat istana", Demung Gumbreg segera menundukkan kepalanya.
Hemmmmmmm...
'Musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang bersembunyi di dalam rumah kita sendiri. Tapi harus menemukan bukti kuat untuk mencari dalang dari semua ini', batin si lelaki bertubuh tegap yang tak lain adalah Panji Watugunung alias Pangeran Jayengrana yang terkenal dengan abhiseka nya Prabu Jitendrakara Parakrama Bhakta.
"Kau yakin mereka adalah orang-orang Kelompok Bulan Sabit Darah?", Panji Watugunung sedikit menoleh ke arah Demung Gumbreg yang masih duduk bersila di lantai ruang pribadi raja.
"Hamba yakin Gusti Prabu..
Para pengeroyok kami mengenakan kalung berliontin kayu berukir bulan sabit terbalik dengan warna merah. Itu adalah bukti tentang keterlibatan mereka", ujar Demung Gumbreg sambil merogoh sebuah liontin kalung dari kayu jati kecil dan mengangkat kedua tangan nya untuk menghaturkan benda itu pada Panji Watugunung.
Maharaja Panjalu itu langsung meraih liontin kalung dari tangan Demung Gumbreg. Lalu memperhatikan ukiran yang tergambar di sana.
"Tidak salah lagi. Mereka berani menantang ku. Akan ku tumpas mereka sampai ke akar-akarnya", Panji Watugunung segera meremas liontin kalung dari kayu jati itu. Tak berapa lama kemudian liontin kalung itu berubah menjadi abu. Panji Watugunung segera menoleh ke arah dua prajurit penjaga.
"Prajurit!
Panggil Senopati Warigalit kemari!".
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hai para penggemar kisah BNL..
Kali ini seri ketiga dari BNL hadir ya setelah seri kedua dengan judul PPP menemani dunia baca kalian semua di noveltoon...
Selamat membaca, jangan lupa untuk memberi dukungan kepada cerita ini dengan like, vote, komentar dan hadiahnya 😁😁✌️✌️✌️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 354 Episodes
Comments
Mahayabank
Yaudah lanjuuuut lagiiieee 👌👌👌
2024-03-24
1
Mahayabank
/Good//Good//Good//Ok//Ok/
2024-03-24
0
aim pacina
💪🤲
2024-01-31
2