Menikahi Paman Mantan

'Pamanmu mau melepaskan Vale, juga membebaskan orang tuamu, tapi syaratnya semua aset yang ada di luar negri harus dialihkan atas namanya.'

Kelvin yang kala itu sedang merokok di balkon kamar, spontan membelalak ketika mendapat pesan dari kakeknya. Bagus memang, orang tuanya dibebaskan dan Vale juga diceraikan. Namun ... harus merelakan semua aset yang selama ini menjadi miliknya. Apa itu mudah?

'Apa tidak bisa aset itu dibiarkan jadi milik Mama, Kek?'

'Jangan ngelunjak, Kelvin! Masih baik pamanmu mau membebaskan orang tuamu, sekaligus menceraikan Vale. Ingat, dalam ini kesalahan ayah ibumu itu sudah fatal.'

Kelvin mende-sah kasar ketika membaca balasan dari Jason. Jiwa serakahnya keberatan menerima itu, walaupun itu merupakan pilihan yang amat sangat baik.

'Kakek rasa itu juga bukan hal buruk. Orang tuamu masih punya skill, juga punya tabungan pribadi. Meski tanpa aset itu, Kakek yakin mereka bisa merintis lagi hingga menjadi pebisnis seperti sekarang.'

Meski pesan dari Jason cukup menenangkan, tetapi Kelvin belum puas. Bagaimana tidak, tabungan pribadi tak akan seberapa jika dibandingkan dengan aset yang jelas nyata. Selain itu, dirinya juga nyaris tak punya tabungan. Selama ini dia terlalu royal dengan wanita, menghamburkan uang ke sana kemari demi memenuhi hasratnya.

"Tapi ... harus bagaimana lagi aku mempertahankan itu semua, tidak mungkin dengan membiarkan Mama Papa dipenjara dan melepaskan Vale untuk kedua kalinya," gumam Kelvin.

Akhirnya dengan segala keterpaksaan, Kelvin mengiakan keputusan Riu. Namun, ia masih meminta syarat atas hal itu, yakni surat perjanjian tertulis yang bisa digugat andai Riu mangkir dari kesepakatan.

'Kamu ingat apa yang sudah Kakek janjikan dulu? Semua yang berbuat curang akan dicoret dari daftar keluarga. Sekarang Kakek sudah menarik janji itu dan membujuk pamanmu untuk memberikan keringanan. Tapi, kamu masih kurang-kurang terus?'

'Begini saja, Vin. Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Anggap saja Riu tidak pernah mengatakan apa-apa. Kakek memang menyayangi ibu dan tantemu, tapi Kakek juga sangat kecewa dengan mereka kalau kamu mau tahu.'

Dua pesan beruntun dari Jason sukses membungkam keserakahan Kelvin. Entah benar atau sekadar gertakan, yang jelas Kelvin tak berkutik dan hanya berani membalas 'baiklah'.

Kendati begitu, Kelvin tak henti-hentinya menggeram dan memaki dalam kesendirian. Begitu banyak umpatan dan kata-kata kasar yang ia tujukan untuk Riu, seolah-olah lelaki itu adalah orang paling kejam sedunia. Kelvin tak berkaca bahwa dia dan orang tuanyalah yang serakah.

_______

"Kalau dia memaksa untuk memilik aset kita, biarkan saja, yang penting Mama dan Papa bisa bebas dari sini. Nanti ... suruh orang-orang kita memberikan sambutan baik untuknya."

Kalimat pertama yang keluar dari bibir Annisa ketika Kelvin datang dan memberitahukan keputusan Riu.

Kelvin menanggapinya dengan senyum miring. Dia paham benar dengan maksud dari 'sambutan baik', itu hanyalah kiasan dari kalimat yang bermakna sebaliknya.

"Kalau perlu, minta bantuan Angela untuk membantu memberikan sambutan. Kesempatan ini jarang terjadi, Kelvin, jadi harus seistimewa mungkin," sambung Annisa.

Kelvin sekadar mengangguk. Dalam hal itu dia kurang setuju. Niatnya untuk kembali dengan Vale yang membuat Kelvin enggan berurusan dengan Angela, apalagi yang terhitung hutang budi. Kalau bisa jangan sampai. Bergerak dengan orang-orang yang berdiri di pihak keluarganya saja sudah cukup, tak perlu melibatkan Angela.

Namun, Kelvin tidak berterus terang tentang masalah itu, karena pasti akan ditentang oleh ibunya. Dulu sewaktu masih gadis saja ditolak, apalagi sekarang sudah menjadi bekasnya Riu.

Akan tetapi, bukan Kelvin namanya jika tidak mengedepankan ego. Persetan dengan ketidaksetujuan orang tuanya kelak, yang ia tahu hanya satu, Vale harus menjadi miliknya.

"Aku akan menyambut Paman dengan baik, sesuai keinginan Mama. Dengan begitu, aku punya pegangan untuk tetap memilih Vale. Mama dan Papa tidak akan bisa membantah lagi," batin Kelvin dengan penuh percaya diri, amat sangat yakin bahwa rencananya akan berhasil.

"Ngomong-ngomong bagaimana Sander? Kenapa dia tidak ikut ke sini? Apa tidak ada usaha juga untuk menyambut pamannya?" tanya Annisa.

Kelvin mengedikkan bahu, "Entahlah, Ma, aku tidak mengerti dengan jalan pikiran dia. Terlalu santai menanggapi masalah ini, sudah gitu masih sok baik lagi. Biar saja dirasakan sendiri nanti kalau jadi gelandangan."

Annisa menarik napas panjang, "Dari dulu dia memang seperti itu, susah diatur. Padahal, Camelia dan Vir melakukan itu juga untuk dia. Tapi, Sander malah terus-terusan bersikap bodoh."

"Aku juga hanya mengingatkan, Ma, tidak bisa memaksa. Kalau dia tetap abai, ya sudah, mau bagaimana lagi?" jawab Kelvin.

"Iya. Ya sudahlah, urus masalah di keluarga kita saja, Vin, jangan ikut campur urusan mereka, kecuali nanti setelah semuanya clear."

Kelvin mengangguk, terkesan sopan dan menurut pada ibunya. Siapa yang tahu kalau sebenarnya dia menyimpan niat lain, yang sudah pasti membuat kecewa.

Usai berbicara dengan ibunya, tak berselang lama Kelvin berbincang dengan ayahnya. Sama seperti Annisa, Theo juga menyuruh Kelvin untuk memberikan 'sambutan' pada Riu. Dia juga memberikan nomor kontak yang sudah dihafal di luar kepala.

"Hubungi nomor itu sebelum pulang ke London. Ceritakan padanya apa yang sedang kita alami, nanti dia akan membantu kesulitan kita," ujar Theo.

Kelvin memandangi nomor yang kini sudah tertera di layar ponselnya, "Dia siapa, Pa?"

"Relasi Papa."

Kelvin belum mengalihkan tatapan dari nomor yang ia ketik beberapa detik lalu. Entah mengapa dia penasaran dengan pemilik nomor itu. Pasalnya, selama ini dia mengenal satu demi satu orang yang berhubungan dengan ayahnya, tetapi yang barusan sepertinya tidak.

"Papa sampai hafal nomornya, berarti hubungan mereka cukup dekat. Tapi, kenapa aku sama sekali tidak mengenal nomor ini. Dan ... Papa juga tidak memberitahuku siapa namanya," batin Kelvin.

Sayangnya, sebesar apa pun rasa penasaran, Kelvin tak mendapatkan jawaban, karena sang ayah langsung kembali ke dalam jeruji.

Dengan perasaan yang bingung dan bimbang, Kelvin beranjak dan berjalan keluar.

Setibanya di dalam mobil, Kelvin kembali memandangi nomor itu, lantas melirik angka yang menunjukkan waktu di sudut layar—pukul 02.00 siang. Artinya, di London masih pukul 08.00 pagi.

"Masih pagi," gumam Kelvin, agak ragu ketika hendak menghubungi. Di sana jam delapan belum masuk jam kerja. Bukankah sedikit tidak sopan jika menelepon sepagi itu apalagi untuk meminta bantuan?

"Coba sekali saja. Kalau tidak diangkat ya sudah, coba lagi nanti," ujar Kelvin sambil mengusap icon telepon pada kontak tersebut.

Satu detik, dua detik, tiga detik ... sambungan terhubung. Seseorang di seberang sana menyapa dengan suara ramah. Namun, Kelvin malah tertegun dibuatnya.

Bersambung...