Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Yuna menarik nafas dalam, selah menarik semua kegelisahan yang dia rasakan dan membuangnya perlahan.
Gelas kecil berisi urin di atas wastafel, sejak tadi hanya dia tatap. Yuna belum berani memasukan alat tes kehamilan itu kedalam gelas. Takut hasilnya akan membuat pikirannya semakin kacau.
Berulang kali memikirkan langkah yang akan dia ambil jika di dalam rahimnya tengah mengandung anak Barra. Salah satunya adalah dengan mempertahankan Barra di sisinya, tidak peduli meski ada hitam di atas putih. karna anak yang akan lahir membutuhkan kedua orang tuanya yang utuh.
Namun yang membuat Yuna tidak tenang, sampai saat ini dia tidak tau asal usul Barra. Tidak tau seperti apa kehidupan pribadi Barra.
Suami kontraknya itu terlalu misterius.
"Bagaimana ini,,," Gumam Yuna. Dia menatap alat tes kehamilan yang ada di tangannya.
Ragu-ragu Yuna mendekatkan alat itu ke arah gelas, matanya terpejam, memanjatkan doa yang dia harapkan.
"Apapun hasilnya, semoga ini yang terbaik,," Ucapnya.
Yuna memasukan alat itu, matanya tak berkedip sedikitpun. Mengamati benda itu dengan seksama dengan jantung yang terus berdetak kencang.
"Garis dua,,," Gumam Yuna tak percaya. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin, seketika lemas. Ada ketakutan luar biasa yang tiba muncul. Berkali-kali lipat dari yang dia rasakan sebelumnya.
Alat itu menjadi bukti bahwa benih Barra telah berkembang di rahim Yuna dengan cepat.
Pasalnya, pernikahan mereka baru akan genap 1 bulan.
"Aku harus bagaimana.?" Yuna bertanya pada dirinya sendiri. Dia bingung harus bagaimana menghadapi kehamilannya dalam pernikahan kontrak yang dia jalani bersama Barra.
"Apa harus secepat ini aku memberi tau Mas Barra.? Tapi,,," Yuna benar-benar terlihat frustasi. Dia tidak siap menghadapi permasalahan rumit ini. Ternyata hamil setelah menikah juga bisa membuat seseorang takut dan bingung.
"Mas Barra belum memiliki perasaan apapun padaku. Apa kehamilan ini akan berarti untuknya.?"
"Dia hanya akan bertanggungjawab pada anak ini, bukan untuk mempertahankan pernikahan kami."
Yuna menunduk sedih.
Pernikahan dia dan Barra memang membebaskan dia dari segala permasalahan dan cobaan yang dia hadapi saat itu. Tapi kehamilan ini akan membawa permasalahan baru yang harus dia hadapi dalam jangka panjang, bahkan mungkin seumur hidupnya.
"Yunaaa,,,!!" Teriakan Mama Rena di luar kamar membuat Yuna tersentak kaget. Dia langsung membereskan semua itu dan menyimpan bukti kehamilannya.
Dia masih harus memikirkan langkah kedepannya. Entah harus menyembunyikan kehamilan dari Barra untuk sementara waktu, setidaknya sampai berhasil mendapatkan cinta dari Barra.
Atau jujur pada Barra tentang kehamilannya dan meminta Barra untuk tidak mengakhiri pernikahan mereka demi anak itu.
"Ya,, sebentar Mah,,,!!!" Jawab Yuna sembari berjalan cepat keluar dari kamar mandi.
Kehamilan ini akan menjadi rahasia untuk sementara yang harus dia simpan untuk beberapa waktu. Banyak hal besar yang harus dia pikirkan dan pertimbangkan.
"Kenapa Mah.?" Tanya Yuna begitu membuka pintu kamar.
"Nitha sudah datang sejak tadi, kamu nggak turun.?"
"Mama lihat dia sedang packing, katanya banyak orderan yang masuk sejak semalam."
Penuturan Mama Rena membuat Yuna diam beberapa saat. Dia langsung tanggap, tau penyebab orderannya membeludak.
"Iya Mah,, ini Yuna mau turun." Yuna tersenyum tipis. Dia keluar dan menghampiri Nitha di ruang kerja.
"Speechless aku Yun,,,!" Seru Nitha saat melihat Yuna masuk ke ruang kerja.
Yuna terdiam, menatap tumpukan baju yang akan di packing pagi ini.
"Orderan sebanyak ini," Kata Nitha lagi.
"Kayaknya kamu harus mulai produksi lagi Yun, jangan sampai nanti kehabisan stok. Bisa-bisa pembeli kabur,,," Nitha memberi saran.
Yuna masih belum fokus dengan omongan Nitha, selain bingung melihat banyaknya orderan hari ini, pikirannya juga sedang kacau memikirkan kehamilannya.
"Yun,,!" Tegur Nitha.
"Hah,,? Kenapa Nit.?" Yuna menghampiri Nitha.
"Kamu kenapa.? Kok lesu gitu.?" Nitha menatap intens wajah Yuna yang tidak seperti biasanya. Terlihat lesu dan tampak tidak fokus.
"Nggak kenapa-napa, bingung aja liat orderan segini banyak." Yuna duduk di samping Nitha dan ikut packing.
Pembahasan mereka berlanjut mengenai produksi berikutnya yang harus segera di lakukan sebelum stok menipis.
Yuna terlihat bersemangat, mulai bisa mengalihkan pikirannya dari garis dua yang tadi terus muncul di kepalanya.
Sampai jam makan siang tiba, mereka baru berhenti menyelesaikan orderan dan bergegas makan siang. Yuna sampai lupa kalau Barra sedang menunggu kabar darinya.
Berulang kali menghubungi ponsel Yuna tapi tidak mendapatkan jawaban. Membuat Barra gelisah dan memilih untuk meninggalkan kantor agar bisa menanyakan langsung pada Yuna.
Suasana di meja makan cukup ramai. Setelah menghabiskan makan siang, mereka bertiga asik mengobrol dan melempar candaan satu sama lain.
Sesekali membahas usaha yang sedang dirintis oleh Yuna.
Kedatangan Barra di ruang makan langsung menarik perhatian mereka. Yuna dan Mama Rena sedikit terkejut melihat Barra pulang.
"Mas,," Yuna beranjak dari duduknya. Dia menghampiri Barra yang sejak datang hanya menatap ke arahnya.
Sementara itu, Nitha memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaan. Begitu juga dengan Mama Rena yang ikut beranjak dari meja makan. Mama Rena ingin membantu pekerjaan Nitha, agar Yuna bisa mengurus suaminya yang mungkin saja akan makan siang.
"Siapin makan siang buat Barra, Yun,," Ucap Mama Rena.
"Saya sudah makan Mah,," Jawab Barra cepat.
"Ya sudah."
"Mama mau bantuin Nitha, Yun. Kamu urus dulu keperluan Barra." Ucapnya pelan. Yuna mengangguk paham.
Barra menatap kepergian Mama Rena dan Nitha sampai bilang dari pandangan, setelah itu beralih menatap Yuna dengan wajah serius.
"Bagaimana hasilnya.?" Tanya Barra. Nada bicaranya terdengar tidak sabar menunggu jawaban.
"Kenapa nggak telfon aku.?"
"Aku telfon kamu berulang kali juga nggak di jawab."
Barra berbicara cepat sampai membuat Yuna kebingungan.
"Maksudnya gimana.? Aku nggak ngerti Mas,," Yuna menatap Barra dengan dahi mengkerut.
"Sebaiknya jangan bicarakan disini." Barra menggandeng pergelangan tangan Yuna. Menarik tangan Yuna agar mengikutinya.
Yuna menurut, mengikuti Barra yang membawanya ke kamar.
Barra menutup dan mengunci pintu.
"Kamu bilang akan memberi tau hasilnya jam makan siang. Kamu sudah tes kehamilan kan.?" Barra menatap intens wajah Yuna.
Yuna mengangguk pelan. Dia tidak berani menatap langsung kedua mata Barra. Ada hal yang akan dia tutupin dari Barra untuk sementara waktu, Yuna tidak mau Barra melihat kebohongan di matanya karna selama ini dia tidak bisa berbohong dengan baik.
"Lalu apa hasilnya.? Kamu hamil.?"
Seru Barra.
Yuna menggeleng cepat.
"Negatif." Ucap Yuna.
"Itu sebabnya aku nggak hubungi Mas Barra."
Yuna tidak punya pilihan lain saat ini. Dia terpaksa menutupi kehamilannya dari Barra. Setidaknya sampai dia bisa mendapatkan cinta Barra dan Barra mau berjanji akan membatalkan kontrak pernikahan mereka.
"Apa.?"
"Jadi kamu hanya telat.?" Barra tampak kecewa. Dia sudah memikirkan hal ini sejak pagi, berharap Yuna akan hamil agar pernikahan ini cepat selesai sesuai waktu yang sudah di tentukan.
"Ya, bukankah itu bagus.? Lagipula hanya akan terjadi masalah kalau sampai aku hamil."
"Dia akan menjadi korban dari perceraian orang tuanya."
"Aku nggak mau hal itu terjadi."
Yuna menunduk sendu.
"Aku sudah bilang akan bertanggungjawab, jadi dimana masalahnya.?" Tanya Barra datar.
"Masalahnya, kamu hanya bertanggungjawab pada anak kita saja nantinya."
"Mas Barra akan tetap menceraikan aku kan.?" Tanya Yuna tegas. Dia menatap dalam kedua manik mata Barra.
Barra selalu diam jika Yuna bertanya hal itu.
"Kalau akan tetap bercerai, lebih baik jangan menghadirkan seorang anak." Yuna tersenyum getir. Dia bergegas keluar dari kamar.