Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Libur Pesiar
Gendhis mulai disibukkan dengan rutinitas di sekolah. Maklum saja, sebentar lagi dia akan menghadapi ujian kelulusan. Mulai dari les, belajar mandiri, hingga sibuk mempersiapkan UMPTN. Ia tak ingin mengecewakan orang tuanya, juga orang-orang yang telah memberikan kepercayaan padanya.
Kesibukannya membuat komunikasinya dengan Lintang sedikit terganggu. Kadang Gendhis ada waktu, Lintang yang sibuk dengan kegiatan latihan militernya. Kadang Lintang lagi sempet, Gendhis yang tengah sibuk dengan aktivitasnya. Apalagi, Gendhis sekarang sedang merintis sekolah untuk anak-anak di kampungnya. Itulah salah satu impiannya sejak kecil. Dia ingin bisa meningkatkan pendidikan di kampungnya agar perjodohan dini bisa dihentikan.
Semua itu tidaklah mudah, Gendhis harus berjuang sendiri. Mulai dari meyakinkan warga kampung untuk mau menyekolahkan anak-anak mereka, hingga mengurus izin tempat pendidikan yang ia rintis.
Ia bersyukur, karena ada Pak Argo dan Bu Parti yang selalu siap membantunya. Bahkan mereka menyediakan tempat untuk Gendhis bisa mengajar anak-anak di kampungnya. Ya... meski jauh dari kata sempurna, namun ia bersyukur, masih ada orang sebaik Pak Argo di Kampungnya. Ia juga punya tekad yang bulat, bahwa suatu saat nanti, warga Kampung Merangi akan mulai menyadari pentingnya pendidikan untuk putra putri mereka.
Sore itu, sepulang dari mengajar anak-anak, Lintang menghubunginya.
"Assalamu'alaikum... Mas Lintang..." Sapa Gendhis dengan wajah berbinar.
"Waalaikumsalam... Dis... kemana aja sih, dari kemarin aku hubungi kamu susah banget." Kata Lintang meminta penjelasan.
"Maaf, Mas. Gendhis baru aja sampai rumah. Mas Lintang kan tahu sendiri sinyal di sini sulit banget." Jawab Gendhis.
"Ya sudah, aku cuma mau ngomong, besok pagi kita jalan ya? Mumpung aku lagi ada libur pesiar, dan hari minggu ini nggak ada kegiatan non akademik, jadi taruna boleh jalan-jalan, tapi waktu aku nggak lama, dari jam sepuluh pagi, jam tiga sore harus sudah sampai di asrama lagi." Lintang bahagia, setidaknya ada sedikit waktu buat ketemu Gendhis.
"Besok Mas?" Tanya Gendhis.
"Iya... besok pagi, kita ketemu di caffe La Guna yang dulu aku pernah ajak kamu kesana." Lintang menjelaskan.
Belum ada jawaban pasti dari Gendhis, justru dia nampak sedang berfikir.
"Kenapa Dis? Kok diem? Kamu nggak bisa?" Lintang merasa aneh saat Gendhis tak langsung menyetujui permintaannya.
"Bukannya gitu, Mas... Besok pagi kebetulan di sekolah ku akan ada kunjungan dari Kabupaten, untuk kelanjutan masa depan sekolah di sini. Sekolah ini terpilih menjadi sekolah percontohan, karena meski aksesnya tidak mudah, tapi semangat anak-anak di sini sangat luar biasa. Mereka terbukti bisa bersaing dengan sekolah-sekolah di kota yang notabenenya adalah anak-anak orang kaya dengan segala fasilitas yang dimiliki. Tapi sekolah kita... bisa mendapatkan prestasi cukup baik saat ada event perlombaan dari Kabupaten. Dan... apa Mas Lintang tahu?" Gendhis belum selesai berbicara, Lintang sudah terlebih dahulu memotong perkataannya.
"Gendhis... aku tahu, kamu sekarang super sibuk. Sebentar lagi ujian, lalu seleksi masuk UMPTN, dan sekarang ditambah lagi kegiatan mu di Kampung itu. Tapi... aku cuma minta waktu satu hari... aja. Lagi pula aku juga nggak tentu tiap liburan bisa keluar. Apa ada yang lebih penting dari ini? Katakan, Dis?" Lintang mulai tersulut emosi.
Gendhis hanya terdiam, mengakui kalau Lintang memang tidak salah, tetapi bagaimana dengan rencana kunjungan besok pagi? Gendhis masih belum tahu mesti jawab apa.
"Mas Lintang..." Kata Gendhis.
"Apa? Pasti mau bilang kalau besok aku nggak bisa dateng, iya kan? Udah lah kalau emang nggak bisa nggak usah dipaksain. Biar aku jalan sama temen-temen aja." Lintang pasrah.
"Mas Lintang... dengerin dulu aku ngomong..." Kata Gendhis.
"Iyaaa... besok aku dateng. Cumaaa..." Lanjut Gendhis.
"Cuma apa? Mau ngajuin syarat? Udah lah mending nggak usah ketemu kalau nggak ikhlas." Lintang ngambek.
"Bukannya nggak ikhlas, Mas... aku dateng... tapi... agak siangan dikit boleh? Jam 12 paling lama, aku udah sampai cafe. Gimana? Yaaaa... please... aku kan juga kangen pengen ketemu sama Mas Lintang. Okey..." Gendhis merayu.
"Hheeemmm... ngerayuuu... aku paling nggak bisa denger rayuan kamu tau nggak sih. Coba sekarang kamu di sini, pasti udah aku cubit hidung kamu." Lintang ahirnya luluh dengan Rayuan Gendhis.
"Ehhh... masa di cubit? Sakit tau..." Kata Gendhis.
"Terus kalau nggak dicubit maunya apa? Atauuuu..." Belum selesai Lintang bicara Gendhis sudah memotong.
Dia tahu kalau percakapan itu dilanjutkan, Lintang akan semakin nglantur ucapannya. Maklum sajalah, omongan seorang kekasih yang sudah lama memendam rindu.
"Atau apa? Udah ah, Mas Lintang. Aku mau mandi dulu, sampai ketemu besok di cafe La Guna jam 12 siang. Ba... bye... Mas Lintang sayang..." Kata Gendhis langsung menutup teleponnya.
"Eh... eh... Dis... tunggu! Aku belum selesai ngomong, Dis... Apa? Sayang? Apa aku nggak salah denger? Seumur aku kenal Gendhis bahkan sampai tunangan, baru kali ini dia panggil sayang..., itupun langsung diputus teleponnya? Jahat banget..." Dilihatnya ponsel yang ia pegang, ternyata Gendhis sudah mengahiri pembicaraannya.
"Nggak sopan banget sih... main kabur gitu aja nggak tanggung jawab... Heeemmm... dasar kamu ya, bikin gemes aja! Awas aja besok kalau ketemu..." Kata Lintang bicara sendiri sambil meletakkan ponselnya kembali.
*****
"Alhamdulillah..."
Gendhis mengucap syukur. Acara kunjungan kali ini berjalan dengan lancar. Ia berharap setelah ini, sekolahnya akan semakin maju, dan dana bantuan yang diajukan kepada pemerintah untuk pembangunan sekolahnya akan segera turun, sehingga anak-anak bisa lebih bersemangat lagi dalam belajar.
Gendhis melihat jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Dia tak boleh terlambat menemui Lintang. Susah payah membujuknya agar mau menunda jam pertemuan mereka, masa sekarang dia mau datang terlambat? Kan nggak lucu...
"Bu Gendhis... mari kita foto-foto dulu untuk dokumentasi." Kata salah seorang perugas dari Kabupaten. Dia adalah Bapak Bupati Magelang.
"Oh.. baik Pak. Maaf panggilnya Gendhis saja, karena saya masih terlalu kecil untuk di panggil ibu... he.. he..." Gendhis bercanda.
"Oh... ya? Usia itu bukan batasan seseorang bisa berkiprah bahkan lebih baik dari seorang ibu, contohnya Bu... eh... maksud saya Mbak Gendhis. Saya salut, meski usianya masih muda, tapi prestasinya sangat luar biasa, lanjutkan Mbak..." Kata Pak Bupati.
"Wah... Bapak ini terlalu berlebihan. Terimakasih, Pak... saya cuma sekedar mengamalkannya ilmu yang saya miliki. Saya bersyukur ketika ternyata ilmu itu bisa menjadi lampu penerang untuk orang lain. Mohon do'anya saja Pak, mudah-mudahan kesadaran tentang pentingnya pendidikan bagi warga Kampung Merangi semakin meningkat." Jawab Gendhis.
Pak Argo yang saat itu berada di sana dan mengikuti acara itupun teramat bangga dengan prestasi yang dicapai calon menantunya.
"Iya, Pak... mohon do'anya saja... mudah-mudahan kedepan, akan lebih banyak lagi terlahir Gendhis Gendhis yang lain di Kampung kami. Sehingga wanita-wanita di sini tidak perlu lagi buru-buru dinikahkan sebelum mereka mengenyam bangku pendidikan." Tambah Pak Argo.
"Betul-betul... betul sekali itu, Pak." Kata Pak Bupati.
Seusai mereka berfoto-foto dan beberapa petugas dari Kabupaten itu pergi, Gendhis segera meminta izin untuk meninggalkan acara tersebut. Sebelumnya dia sudah membicarakan hal ini pada Pak Argo, dan tanpa pikir panjang, Pak Argo langsung saja mengizinkan Gendhis untuk menemui putranya.
"Mohon maaf, Bapak Ibu semuanya, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan dilanjutkan acaranya sampai selesai. Saya izin mendahului karena ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan." Gendhis berpamitan.
Warga kampung sangat bahagia, baru pertama kalinya kampung mereka dikunjungi oleh petugas dari Kabupaten, dan mereka merasa bangga.
Anak-anak didiknya pun satu persatu mengulurkan tangannya untuk bersalaman pada Gendhis, Sang Ibu guru muda yang mereka idolakan. Mereka punya cita-cita, kelak jika mereka dewasa, mereka ingin menjadi seperti Mbak Gendhis.
Kebahagiaan Gendhis tidak terkira melihat anak-anak kecil itu. Ia bersyukur, setidaknya hidupnya bisa memberikan manfaat untuk orang lain.
Gendhis pun segera mengambil motor maticnya yang terparkir di halaman sekolah, lantas segera menuruni jalan sepanjang Puncak Gunung Sumbing.
*****
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?