WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Berdua
Keesokan paginya, Ben mendatangi Ana ke rumahnya sebelum laki-laki itu berangkat bekerja. Ia menyempatkan diri untuk mampir dan memastikan kondisi Ana sambil membawa makanan dan berbagai camilan.
Saat tiba di depan rumah istri keduanya, Ben melihat Ana sedang menyapu halaman. Gadis itu membawa sapu dengan lap di pundaknya.
"Hei, selamat pagi," sapa Ben. Ia memarkirkan mobilnya di sebrang jalan dan membuat Ana tidak menyadari kedatangannya.
"Ah, kau datang pagi sekali. Ada apa?" tanya Ana. Gadis itu tersenyum dan mengajak Ben masuk.
"Apa semalam kau bisa tidur dengan nyenyak?"
"Ya, aku baik-baik saja."
"Aku membawa makanan untukmu. Aku sengaja datang pagi sebelum kau pergi membeli makanan, ayo sarapan," ajak Ben.
"Kau belum sarapan?"
"Hmm, sudah. Hanya beberapa sendok. Aku sengaja makan sedikit agar bisa makan bersamamu," jawab Ben.
Entah harus senang atau kesal mendengar jawaban suaminya, Ana hanya bisa tersenyum samar. Bukan ia tidak suka Ben menaruh banyak perhatian padanya, melainkan ia lebih mengkhawatirkan Rosalie ketimbang kondisi perasaannya sendiri.
Ben yang sudah menata semua makanan yang ia bawa di lantai beralaskan tikar, meminta Ana segera duduk dan makan bersamanya.
"Hmm, ini enak," gumam Ana saat mencicipi ayam panggang keju di hadapannya.
"Kau suka? Habiskan," ujar Ben. Ana mengangguk dan tersenyum senang.
Sejak Ana pulang di rumah ini, Ben lebih sering melihat gadis itu tersenyum dan tertawa lepas. Ana terlihat sangat nyaman dan tenang. Jika saat di rumah Rosalie gadis itu lebih menutup diri dan selalu menghindar, maka tidak saat ia di sini.
"Jadi, kau ingin tempat tidur seperti apa?" tanya Ben setelah mereka berdua selesai makan. Laki-laki itu membantu Ana membereskan sisa makanan mereka.
"Apa saja asal muat di kamar itu."
"Kau tidak punya kriteria khusus? Misal tingginya berapa, bahan apa atau kasur dengan merek apa?" tanya Ben lagi.
"Hmm, bagaimana denganmu? Kau lebih suka yang seperti apa?" Ana balik bertanya.
"Yang pasti kita butuh tempat tidur yang kuat dan kokoh. Jika tidak, kita akan menghancurkannya lagi," canda Ben.
"Hei, tempat tidur lamaku memang sudah rapuh," ujar Ana. "Memangnya kau sekuat apa sampai bisa menghancurkannya semudah itu," lanjutnya sedikit bergumam.
"Anastasia, apa kau meragukan kekuatanku?" tanya Ben sambil menyipit.
"Ah, tidak. Bukan begitu maksudku," sanggah Ana. Kini Ben nampak salah paham dan berpikir Ana meremehkannya.
"Hmm, lalu apa? Jelaskan padaku!" seru Ben. Tanpa aba-aba Ben langsung menyergap tubuh Ana dan membawanya ke kamar.
"Hei, kau mau apa?" tanya Ana sambil berontak.
"Membuktikan kekuatanku," jawab Ben. Ia membaringkan tubuh Ana di atas kasur yang tergeletak di lantai sambil menggelitik pinggang gadis itu.
"Aku percaya! Aku percaya!" seru Ana sambil tertawa.
Ben tidak mempedulikan Ana yang tertawa terpingkal-pingkal karena geli. Laki-laki itu menggelitik seluruh tubuh Ana.
"Hentikan, geli!" teriak Ana. Gadis itu tertawa sampai meneteskan air mata.
Karena kasihan, Ben akhirnya menghentikan kejahilannya. Laki-laki itu membiarkan Ana bernapas lega sambil memegang perutnya yang kram karena terlalu banyak tertawa.
"Kau meremehkanku?" tanya Ben. Ia mendekati wajah Ana dan merangkak di atas tubuh gadis itu.
"Tidak, bukan begitu maksudku."
"Hmm, apa kau tidak ingat saat pertama kali kita melakukannya? Kau bahkan hampir pingsan karena ulahku. Seharusnya aku mengingatkanmu bagaimana cara jalanmu setelah kita melakukannya, kau terseok-seok seperti baru berjalan sejauh tiga puluh kilometer," ungkap Ben.
"Hei, jangan meledekku!"
"Begitulah kenyatannya."
"Ayo keluar, kau bisa terlambat bekerja," ajak Ana. Ia mendorong dada Ben dan memintanya menyingkir dari atas tubuhnya.
"Tidak, aku belum selesai," tolak Ben. Saat Ana hendak protes, laki-laki itu mencium bibir istrinya dengan cepat.
Ben mulai menjelajahi tubuh sang istri dengan bibirnya. Mula-mula, Ben mencium bibir, lalu turun ke leher, lalu semakin turun dan membiarkan sebelah tangannya masuk ke dalam kaos tipis yang Ana kenakan.
Saat kaos semakin terangkat naik dan Ben sudah membenamkan kepalanya di depan dada istrinya, suara ponsel laki-laki itu terdengar berdering terus menerus.
"Sepertinya itu penting," ucap Ana dengan suara tersendat.
"Ah, aku melupakan sesuatu," gumam Ben sambil menarik diri. Ia melihat layar ponselnya dan membaca pesan.
"Ada apa?"
"Pagi ini aku ada meeting penting dengan seseorang di kantor. Ada beberapa proyek luar kota yang harus aku urus," jawab Ben.
Dengan perasaan kecewa, Ben bangkit dari atas kasur dan menarik tubuh Ana.
"Maaf, Anastasia. Aku janji akan ke datang sepulang kerja," ucap Ben.
Ana menghembuskan napas panjang. Untuk apa Ben minta maaf? Padahal Ana senang karena mereka tidak jadi bertempur pagi-pagi.
"Siapapun kau, terima kasih," batin Ana. Ia tidak membayangkan jika tidak ada orang lain yang mengganggu mereka, Ben pasti tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.
Setelah membantu Ben merapikan kembali pakaiannya, Ana mengantar laki-laki itu keluar dari rumah.
"Hah, melegakan sekali," gumam Ana. Ia hampir harus mandi lagi jika Ben tidak segera pergi.
Kini Ana harus kembali merapikan ruang tamunya. Masih ada beberapa makanan dan camilan yang belum termakan, Ana membungkus kembali semuanya dan meletakkannya di dapur.
Tok ... Tok ... Tok ....
Terdengar suara ketukan pintu. Saat Ana mendekat dan mengintip siapa tamu yang datang, gadis itu terkejut.
"Kak Rose," gumamnya pelan.
🖤🖤🖤
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu