Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerusuhan Setelah Turnamen
Pertandingan sepak bola antar kampus baru saja selesai. Kemenangan tim kami seharusnya menjadi momen bahagia, tetapi suasana berubah tegang saat kami bersiap pulang. Rian dan timnya tiba-tiba menghadang kami di jalan. Tanpa basa-basi, mereka langsung menyerang, tidak terima atas kekalahan mereka.
"Kalian pikir bisa pulang begitu saja?!" teriak Rian sebelum mulai menyerang.
Kami mencoba menghindari perkelahian sebisa mungkin, tapi tekanan dari mereka terlalu besar. Akhirnya, kami terpaksa melawan untuk membela diri. Suasana menjadi kacau. Pukulan dan tendangan berhamburan di antara teriakan dan kegaduhan.
Di tengah kerusuhan itu, aku melihat Dinda berdiri dengan wajah pucat. Matanya yang biasanya tenang terlihat penuh ketakutan. Dia tampak terjebak di antara kerumunan yang ribut. Namun, tidak jauh dari sana, aku juga melihat Monika. Wajahnya yang biasanya ceria kini penuh kecemasan. Dia juga terjebak, sama seperti Dinda.
Aku diliputi kebingungan. Siapa yang harus kuselamatkan lebih dulu?
Ketika aku sedang ragu, aku melihat Daniel, berlari ke arah Dinda. Dia segera menarik Dinda ke tempat aman. Melihat itu, aku langsung membuat keputusan dan bergegas menuju Monika.
"Monika!" teriakku, sambil menarik tangannya. Aku mencoba membawanya keluar dari keributan. Namun langkah kami terhenti ketika Rian tiba-tiba memegang tangan Monika.
"Mau ke mana? Urusan gue sama lu belum selesai!" katanya dengan nada penuh emosi.
Aku menepis tangan Rian dengan keras agar melepaskan Monika. Tapi kemarahan Rian semakin menjadi. Dia meraih balok kayu di dekatnya dan mengayunkannya ke arahku.
Monika, yang seharusnya lari menyelamatkan diri, malah berdiri di depanku. "Hati-hati!" teriaknya sambil mendorongku ke samping.
Aku terlambat menyadari apa yang terjadi. Balok itu menghantam punggung Monika.
"Monika!" aku berteriak panik sambil menangkap tubuhnya yang hampir jatuh.
Monika meringis kesakitan di pelukanku, tapi dia masih mencoba tersenyum. "Aku nggak apa-apa, Mas," katanya pelan, meski jelas rasa sakit menghantamnya.
Melihat Monika yang terluka, Rian tampak terguncang. Dia menjatuhkan baloknya dan mendekati kami. "Monika, gue nggak sengaja. Lo nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada penuh penyesalan.
Namun, Monika mendorongnya dengan lemah. "Bisa nggak sih nggak usah ganggu aku lagi?" katanya tegas meski suaranya bergetar.
Beberapa polisi yang mendengar keributan akhirnya tiba di lokasi dan segera mengamankan Rian serta teman-temannya. Aku tidak lagi peduli pada Rian. Fokusku hanya pada Monika. Aku menggendongnya menuju ruang perawatan tempat dimana sebelumnya aku dirawat.
Di perjalanan, aku merasakan banyak tatapan tertuju pada kami, termasuk dari Dinda. Dari kejauhan, aku melihat Dinda hendak menyusul, tapi langkahnya dihentikan oleh Daniel.
Setelah Monika dirawat, aku lega mendengar bahwa lukanya tidak terlalu parah. Namun, rasa bersalahku tetap membekas. "Aku antar kamu pulang," kataku padanya.
Monika tidak banyak bicara, hanya mengangguk lemah.
Sesampainya di depan rumahnya.
Setelah Monika turun dari motorku, dia menatapku dengan senyum yang masih terlihat sedikit lemah. "Makasih, Mas," katanya pelan, nada suaranya tulus.
Aku mengangguk, mencoba terlihat tenang meski dalam hati masih kacau memikirkan kejadian tadi. "Yang penting kamu istirahat. Kalau ada apa-apa, kabari aku," ucapku, menahan rasa canggung.
Monika tersenyum kecil, lalu berkata, "Iya pasti." Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah melangkah masuk ke rumahnya, meninggalkan aku yang hanya bisa menghela napas panjang.
Ketika aku kembali ke tempat parkir kampus, suasana sudah sepi. Aku bertemu Dinda yang masih berdiri di dekat pintu gerbang bersama Daniel. Ekspresinya terlihat datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit aku artikan. Ketika aku mendekat, dia melangkah maju tanpa menghiraukan Daniel.
"Mas," panggil Dinda dengan suara lembut, namun tegas. "Monika sudah baik-baik saja, kan?"
Aku mengangguk. "Iya, dia sudah di rumah. Luka di punggungnya nggak parah."
Dinda menatapku, diam sejenak sebelum bertanya, "Kenapa kamu memilih menyelamatkan dia dulu?"
Pertanyaan itu menohok. Aku tahu ini lebih dari sekadar siapa yang aku pilih untuk diselamatkan. Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi akhirnya hanya berkata, "Karena Daniel sudah ada di dekat kamu waktu itu, Din. Aku tahu kamu aman bersamanya."
Ekspresi Dinda sedikit melunak, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. "Ya, aku ngerti," jawabnya pelan, lalu mengalihkan pandangan.
Daniel yang sedari tadi berdiri agak jauh akhirnya mendekat. "Alan, aku antar Dinda pulang. Kamu sendiri hati-hati di jalan," katanya singkat sambil menepuk pundakku. Aku mengangguk, sementara Dinda hanya memberi salam singkat sebelum pergi bersamanya.
Malam itu, aku duduk di kamar, memikirkan semua yang terjadi. Dari Rian, Monika, hingga Dinda. Dalam benakku, aku terus bertanya-tanya: apakah aku sudah membuat keputusan yang benar? Atau justru melukai perasaan seseorang tanpa aku sadari?