Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Hutan Hitam membentang seperti jurang tanpa dasar, gelap dan sunyi, dengan udara yang membawa aroma kematian.
Alvaro berjalan tertatih, satu tangannya menopang tubuh Gale yang terkulai lemas. Napas Gale terengah-engah, wajahnya pucat pasi. Pertarungan melawan siswa eksekutif tadi telah menguras stamina mereka hingga nyaris habis tak bersisa.
"Kita harus terus maju, Gale," gumam Alvaro dengan suara serak, meskipun ia sendiri hampir kehilangan kekuatan. Kegelapan hutan menyelimuti mereka, membuat setiap langkah terasa seperti melawan dunia.
Mereka akhirnya tiba di sebuah celah kecil di antara pepohonan tua yang menjulang. Angin dingin berhembus, membawa suara-suara aneh yang tidak bisa dijelaskan. Tanah di bawah kaki mereka terasa seperti menarik ke bawah, seolah mencoba menelan siapa pun yang berani mendekat.
"Al... Hutan ini... kita tidak seharusnya ada di sini," Gale berbisik pelan, suaranya hampir tak terdengar. Matanya sedikit terbuka, tetapi hanya menatap kosong ke depan.
Alvaro menahan napas, mencoba menepis rasa takut yang perlahan mulai menjalari pikirannya. Ia tahu tentang Hutan Hitam. Semua orang tahu. Tidak ada yang berani mendekat karena desas-desus tentang efek magis yang bisa melumpuhkan siapa pun yang masuk. Tetapi apa pilihan mereka? Satu-satunya cara untuk menghindari kejaran siswa eksekutif adalah dengan memasuki tempat yang bahkan para pengejar mereka enggan dekati.
Namun, efek magis itu kini mulai terasa. Tubuh Alvaro semakin berat, pikirannya mulai kabur. Setiap langkah menjadi perjuangan yang menyakitkan.
"Tidak... aku harus terus... Gale..." Alvaro berbisik, tetapi tubuhnya tak lagi mendengarkan. Dalam hitungan detik, ia jatuh berlutut di atas tanah basah, lalu roboh sepenuhnya.
Gale, yang masih bersandar padanya, turut terjatuh. Mereka berdua kini tergeletak di tanah, tak sadarkan diri. Hutan Hitam kembali sunyi, hanya suara dedaunan yang berdesir oleh angin.
Namun, dari kejauhan, suara langkah-langkah berat mendekat. Sebuah bayangan besar muncul di antara pepohonan, matanya yang berkilauan memancarkan rasa haus darah. Hutan Hitam tidak pernah kosong, dan mereka yang berani masuk jarang kembali.
***
Alvaro membuka matanya perlahan. Cahaya redup dari lilin-lilin kecil di sudut ruangan menyilaukan pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di atas kasur sederhana dengan selimut tipis yang menutupi tubuhnya. Aroma kayu basah dan ramuan herbal memenuhi udara, memberikan suasana yang aneh namun menenangkan.
Ia menoleh ke arah suara gesekan logam—seorang gadis, berambut hitam panjang dengan pakaian sederhana yang terlihat lusuh namun praktis, sedang duduk di bangku kecil. Tangannya cekatan mengasah pedang yang terbuat dari tulang besar, menghasilkan percikan api kecil setiap kali mata pedang itu bergesekan dengan batu asah.
Alvaro mencoba bangkit, tetapi tubuhnya masih lemah. Usahanya membuat suara derit dari kasur kayu tempatnya berbaring, cukup untuk menarik perhatian gadis itu. Gadis tersebut menoleh, matanya tajam seperti seorang pemburu yang terlatih, tetapi bibirnya melengkungkan senyum kecil saat melihat Alvaro sadar.
"Akhirnya bangun juga," ucapnya sambil bangkit dan mengambil sebuah cangkir yang berisi cairan hijau dari meja dekat perapian. Ia menghampiri Alvaro dengan langkah tenang, memberikan minuman itu tanpa berkata apa-apa.
Alvaro memandang cairan itu dengan ragu. "Apa ini?" tanyanya, suaranya masih serak.
"Ramuan. Bagus untuk memulihkan stamina dan menetralisir efek magis Hutan Hitam," jawab gadis itu singkat. "Minum saja. Jika aku ingin membunuhmu, aku tidak akan repot-repot menyelamatkanmu tadi."
Alvaro mendesah dan akhirnya meminum ramuan itu. Rasanya pahit dengan sedikit rasa asam, tetapi ia segera merasakan kehangatan menjalar di tubuhnya. Tenaganya perlahan kembali, meski belum sepenuhnya pulih.
Sambil ia mencoba mencerna situasi, pandangannya tertuju pada beberapa makhluk yang sedang duduk diam di dekat pintu. Mereka adalah anjing besar dengan bulu hitam lebat dan mata merah yang bersinar seperti bara api. Salah satu dari mereka menggeram pelan, tetapi langsung diam ketika gadis itu melirik mereka.
"Mereka milikmu?" tanya Alvaro, mencoba duduk lebih tegak.
Gadis itu mengangguk sambil kembali duduk di bangkunya. "Mereka lebih dari sekadar peliharaan. Mereka adalah bagian dari hutan ini, sama seperti aku."
Alvaro mengerutkan kening. "Siapa kau sebenarnya? Dan kenapa aku ada di sini?"
Gadis itu mengangkat pedang tulangnya, menatap Alvaro dengan pandangan penuh keyakinan. "Namaku Heather. Aku penjaga Hutan Hitam ini. Tugasku adalah memastikan siapa pun yang masuk ke sini tidak membawa kehancuran. Aku menemui kalian berdua tergeletak di tanah seperti mayat. Teman mu ada di kamar sebelah, masih pingsan."
Alvaro terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum mereka tak sadarkan diri. "Penjaga Hutan Hitam? Apa itu berarti kau bekerja untuk Akademi Debocyle?"
Heather tersenyum sinis. "Tidak. Aku tidak begitu yakin apa yang kau maksud. Tugasku hanya untuk hutan ini. Dan sekarang kalian ada di sini, aku ingin tahu kenapa kalian nekat masuk ke tempat yang seharusnya kalian hindari."
Suasana menjadi sunyi. Alvaro menyadari bahwa Heather bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah seseorang yang tahu lebih banyak tentang Hutan Hitam daripada siapa pun, dan kehadirannya di sini mungkin bukan hanya kebetulan.
"Jadi?" Heather memulai, memecah keheningan. "Apa yang membuatmu dan temanmu cukup nekat masuk ke tempat seperti ini? Tidak banyak yang keluar hidup-hidup, kau tahu."
Alvaro, yang masih belum sepenuhnya pulih, menatap Heather dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Ia tidak yakin apakah gadis ini sekutu atau ancaman baru. "Kami tidak punya pilihan," katanya akhirnya. "Hutan ini adalah satu-satunya tempat yang cukup berbahaya untuk membuat para pengejar kami mundur."
Heather menyeringai samar, hampir seperti mengolok-olok.
Alvaro menghela napas, mencoba menyusun kata-katanya. "Kami hanya butuh tempat untuk berlindung sementara waktu."
Heather berdiri dari kursinya, menghunus pedang tulangnya untuk diperiksa sebelum kembali diasah. Anjing-anjing besar yang duduk di dekatnya tampak menunggu perintah, tetapi tidak menunjukkan agresi. "Hutan ini bukan tempat berlindung," katanya tanpa emosi. "Ini tempat orang datang untuk mati."
Alvaro tidak menjawab, tetapi ia menyadari bahwa gadis ini lebih dari sekadar penghuni acak di tengah hutan. Cara dia bergerak, cara dia berbicara—terlalu terlatih untuk seseorang yang hanya hidup dalam isolasi.
"Kau tahu, istirahatlah saja dulu. Pulihkan stamina untuk esok hari. Mungkin aku bisa membawa beberapa makanan nanti." Ucap Heather sambil berlalu keluar rumah dan diikuti oleh anjing-anjing besarnya. Menampakan kembali betapa seramnya hutan hitam yang ada di balik pintu itu.