NovelToon NovelToon
The Last Encore: Star Blood Universe

The Last Encore: Star Blood Universe

Status: sedang berlangsung
Genre:Vampir / Teen / Fantasi / Romansa Fantasi
Popularitas:206
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

"Di bawah lampu panggung, mereka adalah bintang. Di bawah cahaya bulan, mereka adalah pemburu."

Seoul, 2025. Industri K-Pop telah berubah menjadi lebih dari sekadar hiburan. Di balik gemerlap konser megah yang memenuhi stadion, sebuah dimensi kegelapan bernama The Void mulai merayap keluar, mengincar energi dari jutaan mimpi manusia.

Wonyoung (IVE), yang dikenal dunia sebagai Nation’s It-Girl, menyimpan beban berat di pundaknya. Sebagai pewaris klan Star Enchanter, setiap senyum dan gerakannya di atas panggung adalah segel sihir untuk melindungi penggemarnya. Namun, kekuatan cahayanya mulai tidak stabil sejak ancaman The Void menguat.

Di sisi lain, Sunghoon (ENHYPEN), sang Ice Prince yang dingin dan perfeksionis, bergerak dalam senyap sebagai Shadow Vanguard. Bersama timnya, ia membasmi monster dari balik bayangan panggung, memastikan tidak ada satu pun nyawa yang hilang saat musik berkumandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 24 : The Midnight Phone Call

Malam setelah infiltrasi ke laboratorium S.I.G.M.A. terasa jauh lebih panjang daripada malam-malam biasanya. Incheon kini berada di bawah status darurat. Meskipun pihak otoritas mengumumkan adanya "kebocoran gas berbahaya" untuk mengevakuasi warga, para Hunter tahu kebenarannya: ribuan monster The Void sedang merayap di bawah lampu jalanan yang berkedip, dipancing oleh frekuensi dari Pecahan Kesembilan yang kini tersimpan di dalam brankas portabel milik Jake.

Seluruh member IVE dan ENHYPEN dipisahkan ke dua lokasi aman yang berbeda oleh Han untuk meminimalisir risiko deteksi SIGMA. Wonyoung berada di sebuah apartemen lantai 22 yang menghadap ke laut, ditemani oleh Yujin dan Leeseo. Sementara Sunghoon berada di bunker bawah tanah di sisi lain kota bersama Jake dan Jay.

Pukul 02:15 pagi.

Wonyoung tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon apartemen, membiarkan angin laut yang dingin menusuk kulitnya. Bahunya yang terluka akibat peluru isotop perak sudah diperban, namun rasa perihnya masih berdenyut setiap kali ia bernapas. Ia menatap ponselnya—benda kecil yang kini menjadi satu-satunya alat komunikasi di dunia manusia ini.

Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk.

[ Sunghoon-ssi ]

Wonyoung menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel itu ke telinganya. Untuk beberapa detik, hanya terdengar suara napas di kedua ujung telepon.

"Kau belum tidur?" suara Sunghoon terdengar sangat rendah, hampir seperti bisikan.

"Bagaimana aku bisa tidur setelah melihat ribuan bayangan itu di cakrawala tadi sore?" jawab Wonyoung. Ia mencoba terdengar kuat, namun suaranya sedikit gemetar. "Sunghoon-ssi... kau terluka?"

"Hanya lecet di tangan. Jake sudah mengurusnya dengan antiseptik. Rasanya lebih menyengat daripada luka pedang monster," Sunghoon terkekeh pelan, tawa yang terdengar sangat lelah. "Wonyoung-ah... apa kau melihat langit dari tempatmu?"

Wonyoung mendongak. Langit Incheon tidak lagi berbintang. Awan hitam pekat menggantung rendah, seolah-olah langit sedang bersiap untuk jatuh menimpa mereka. "Gelap sekali. Sangat gelap."

"Aku sedang menatap dinding beton di bunker ini," kata Sunghoon. "Dan aku menyadari sesuatu. Selama tiga ratus tahun, aku tidak pernah takut akan kegelapan. Bagiku, kegelapan adalah rumah. Tapi malam ini... aku takut."

Wonyoung tertegun. Si Ice Prince yang tak tergoyahkan akhirnya mengakui ketakutannya. "Apa yang kau takutkan? Monster-monster itu?"

"Bukan," jawab Sunghoon cepat. "Aku takut karena aku tahu jika besok aku melakukan kesalahan, aku tidak bisa kembali. Aku takut aku tidak akan bisa mendengar suaramu lagi di telepon seperti ini. Keabadian dulu terasa seperti kutukan, tapi sekarang, kefanaan ini terasa seperti ancaman."

Wonyoung merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menyekanya dengan kasar. "Aku juga takut, Sunghoon-ssi. Aku takut besok pagi aku terbangun dan menyadari bahwa keberanianku hari ini hanyalah ilusi. Aku takut SIGMA benar bahwa kita hanyalah variabel yang harus dihapus."

"Wonyoung-ah," panggil Sunghoon lembut. "Ingat apa yang kau katakan di laboratorium? Bahwa hanya orang yang tahu rasanya hancur yang tahu cara bertahan. Kau adalah orang terkuat yang pernah kukenal, bahkan tanpa sihir di tanganmu."

Di sisi lain, di bunker bawah tanah, Jake sedang mengawasi monitor frekuensi sambil sesekali melirik Sunghoon yang sedang menelepon di sudut ruangan. Jay mendekati Jake dengan dua kaleng kopi panas.

"Biarkan dia bicara," bisik Jay. "Itu satu-satunya hal yang menjaga kewarasannya sekarang. Menjadi manusia itu berat bagi seseorang yang menghabiskan tiga abad menjadi es."

"Aku tahu," sahut Jake pelan. "Aku sedang mencoba melacak pergerakan SIGMA. Dr. Aris tidak hanya memanggil monster, dia juga sedang memobilisasi unit taktisnya. Mereka akan membiarkan monster-monster itu melemahkan kita, lalu mereka akan masuk untuk 'membersihkan' sisa-sisanya."

Jake menatap layar yang menunjukkan titik-titik merah ribuan monster yang mengepung Incheon. "Kita butuh lebih dari sekadar keberanian besok. Kita butuh keajaiban manusia."

Kembali ke telepon antara Wonyoung dan Sunghoon.

"Sunghoon-ssi, jika besok segalanya berakhir..." Wonyoung menjeda kalimatnya. "Apa ada sesuatu yang kau sesali?"

"Hanya satu hal," jawab Sunghoon.

"Apa itu?"

"Bahwa kita menghabiskan terlalu banyak waktu untuk saling membenci di kehidupan-kehidupan sebelumnya karena perbedaan klan kita. Jika aku tahu menjadi manusia bersamamu sesakit namun seindah ini, aku akan mematahkan pedangku ratusan tahun yang lalu."

Wonyoung tersenyum di tengah tangisnya. "Aku juga. Aku menyesal telah menyia-nyiakan waktu hanya untuk mengejar cahaya bintang, padahal cahaya yang paling terang ada di genggaman tanganmu."

Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini terasa hangat. Melalui sinyal digital yang sederhana, dua jiwa yang dulunya abadi itu saling menguatkan.

"Wonyoung-ah," ucap Sunghoon lagi. "Besok, saat pertempuran dimulai, jangan cari aku di antara monster. Cari suaraku. Aku akan terus memanggilmu agar kau tahu ke mana harus pulang."

"Janji?"

"Janji darah. Versi manusia," ucap Sunghoon dengan nada bercanda yang menenangkan.

"Tidurlah, Sunghoon-ssi. Kita butuh tenaga untuk menyelamatkan dunia besok."

"Selamat malam, Wonyoung-ah. Sampai jumpa di fajar."

Panggilan itu berakhir. Wonyoung menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia menggenggam piringan perak di pangkuannya. Tiba-tiba, piringan itu mengeluarkan pendar cahaya lembut, namun bukan cahaya perak yang biasanya—cahaya itu berwarna oranye hangat, seperti cahaya matahari terbit.

Di permukaan piringan, muncul satu kalimat baru yang terukir:

"Fear is the Pulse of Life." (Ketakutan adalah Detak Jantung Kehidupan.)

Wonyoung tersadar. Itulah kuncinya. SIGMA menganggap ketakutan mereka sebagai kelemahan, namun bagi Hunter manusia, ketakutan adalah bahan bakar untuk bertahan hidup. Tanpa ketakutan, tidak ada keberanian.

Pukul 05:00 AM - Fajar yang Menentukan.

Wonyoung terbangun saat Yujin mengguncang bahunya. "Wonyoung-ah, bangun. Mereka sudah sampai di gerbang kota. Han sudah menyiapkan transportasi."

Wonyoung berdiri, rasa sakit di bahunya masih ada, namun pikirannya sangat jernih. Ia mengenakan jaket taktisnya, mengikat rambutnya tinggi-tinggi, dan mengambil busur karbonnya.

"Ayo pergi," ucap Wonyoung.

Di lobi apartemen, mereka bertemu dengan Sunghoon, Jake, dan Jay. Pertemuan itu singkat, tidak ada pelukan dramatis, hanya tatapan mata antara Wonyoung dan Sunghoon yang mengatakan segalanya: Aku masih di sini, dan aku akan tetap di sini.

Han berdiri di depan sebuah van lapis baja. "Dengar semuanya. SIGMA telah melepaskan 'The Pulse' frekuensi yang membuat monster-monster itu menjadi agresif sepuluh kali lipat. Kita harus mencapai pemancar utama SIGMA di Incheon Bridge dan menghancurkannya menggunakan energi gabungan dari sembilan pecahan yang kita miliki."

"Tapi kita tidak punya sihir untuk menggabungkan energi pecahan itu, Han-ssi!" seru Gaeul.

"Kita tidak butuh sihir," Wonyoung melangkah maju, mengangkat piringan peraknya. "Kita punya detak jantung kita. Kita akan melakukan Human Sync."

Sunghoon tersenyum, meletakkan tangannya di bahu Wonyoung. "Kau dengar itu? Mari kita tunjukkan pada Dr. Aris bahwa variabel manusia tidak bisa dihitung dengan mesinnya."

Van itu meluncur membelah kabut fajar Incheon. Di kejauhan, raungan monster terdengar bersahut-sahutan dengan sirine kota yang mencekam. Pertempuran terbesar mereka bukan lagi sebagai makhluk abadi, melainkan sebagai manusia yang menolak untuk menyerah, baru saja dimulai.

Bab 24 ditutup dengan berakhirnya panggilan telepon tengah malam yang mengubah ketakutan menjadi kekuatan. Mereka kini siap menghadapi fajar paling berdarah dalam sejarah mereka, bersenjatakan teknologi manusia dan hati yang saling terikat.

"The midnight call was a goodbye to the monsters they used to be, and a welcome to the heroes they've become."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!