Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Semangkuk Bubur Yang Hangat
Alasan Miranda baru bisa membalas pesannya adalah karena dia tidak sempat. Begitu lah satu kalimat pesan yang kini tengah dibaca Arlen dari layar ponselnya.
Tapi seharusnya setelah mendapatkan balasan pesan dari Miranda, perasaannya menjadi lega, kan?
Tapi kenapa dia malah gusar?
Arlen menengok pada jam tangannya, waktu sudah menunjukkan hampir waktunya istirahat, tepat saat itu Noe masuk ke dalam ruangannya dengan membawa makan siang untuk Arlen dan meletakannya di atas meja kerta atasannya itu.
"Aku ga pesan makan." kata Arlen acuh seraya kembali memfokuskan diri pada layar laptop di depannya.
"Tapi, Tuan tidak sarapan tadi pagi, Nona meminta saya untuk-"
"Nona?" Mata tajam itu beralih pada Noe. "Nona siapa?"
"Nona Kalila."
Kening Arlen berkerut. "Dia yang menyuruhmu pesan makan siang untukku?"
"Benar, Tuan."
Matanya beralih ke bungkus makanan dan kembali lagi ke layar laptopnya.
"Buang."
"Tapi Tuan, sejak pagi Tuan memang belum sarapan dan-"
"Aku bilang buang!" Bentak Arlen. "Dia pikir bisa mengelabuhiku lagi!"
Noe tidak bisa berbuat apa-apa selain diambilnya kembali bungkus makanan yang baru saja dia letakkan di atas meja.
"Kalau begitu, apa ada menu makan siang yang mau Tuan pesan?"
"Ga ada! Tinggalkan aku sendiri!"
Ah, suasana hati Arlen benar-benar kacau balau hari ini. Bukan hanya Noe yang menjadi sasaran bentakan-bentakannya, sekertaris dan karyawan lainnya juga menjadi tempat pelampiasan kekesalannya.
Hingga malam menjelang, Arlen terus menyibukkan dirinya dengan tumpukan pekerjaan yang sebenarnya bisa dia selesaikan dalam waktu beberapa hari, hingga dia merasakan perutnya tidak nyaman.
Rasa perih menyerangnya, perutnya seperti ditusuk-tusuk, keringat dingin mulai bermunculan, pandangannya mulai tidak fokus.
"Akh!" Ia berusaha menahan sakitnya, tangannya terulur untuk meraih gelas minum, tapi karena matanya yang berkunang-kunang, dia justru membuat gelas itu terjatuh dan pecah di atas lantai.
"Tuan!" Noe tentu saja langsung sigap masuk ke dalam ruangan Arlen begitu mendengar suara pecahan gelas.
*
Kalila baru saja hendak masuk ke dalam kamarnya ketika terdengar kode kunci ditekan. Arlen datang bersama Noe yang membantunya berjalan. Wajah Arlen yang pucat langsung menghentikan niat Kalila untuk masuk ke dalam kamar.
"Arlen kenapa?" tanya Kalila. Ia sunguh khawatir. Dikesampingkannya lirikan sinis mata Arlen terhadapnya.
"Gerd-nya kambuh." jawab Noe sambil membantu Arlen merebahkan diri di atas sofa.
Kalila membuang napas. "Apa dia ga makan siang juga?"
Noe mengangguk.
Kalila membuang napas lagi seraya memejamkan matanya. "Bisa tetap disini? Aku mau siapkan obat dan makanan untuknya."
"Baik Nona."
Kalila langsung melesat untuk mengambil kotak obat-obatan, setelah meminta tolong pada Noe untuk membantu Arlen minum obatnya. Kalila sudah mulai membuatkan bubur di dapur. Tidak membutuhkan waktu lama, aroma gurih mulai tersebar hingga membuat kedua mata Arlen yang terpejam perlahan bergerak terbuka.
Arlen ingat aroma ini.
Aroma bubur yang dulu selalu dibuatkan Kalila jika gerd-nya kambuh.
"Makan lah dulu." Kalila datang dengan membawa nampan dengan semangkuk bubur hangat dan air hangat.
Arlen berusaha untuk duduk. Meski dengan wajahnya yang pucat, tatapan sinis itu sama sekali tidak berkurang.
"Kamu boleh pulang, Noe." Titah Arlen kepada asistennya itu.
Begitu mereka tinggal berdua tanpa ada Noe, atmosfer dingin sangat kental terasa. Tapi, Kalila mempertahankan ekspresinya untuk tetap datar dan tenang.
"Untuk apa kamu masak untukku? Mencoba mencari perhatianku?"
"Aku hanya menjalankan tugasku sebagai manusia." jawab Kalila. "Lagi pula, apa kata Mama Erina jika tau aku ga merawatmu."
"Oh," Arlen terkekeh sinis. "Rupanya karena Mama."
"Tentu saja, memangnya kalau aku bilang karena aku peduli padamu, apa kamu akan percaya?" tantang Kalila.
"Cih!"
"Makan lah, kalau kamu ga mau makan, aku terpaksa akan vidio call dengan Mama Erina dan menyuapinimu dengan tanganku."
"Kamu bisa mengancam sekarang?" Arlen melihat Kalila tidak percaya.
"Bisa!"
Karena wajahmu sudah sepucat kertas! Bertahan lah!
Mau tak mau, Arlen mengulurkan tangannya untuk meraih mangkuk bubur yang ada di atas coffee table, tapi karena ia merasa lemah, mangkuk itu justru nyaris jatuh dari tangannya, hingga akhirnya Kalila duduk tepat di sebelahnya, mengambil alih mangkuk dan sendok itu dari tangan Arlen.
"Makan! Anggap saja aku orang asing yang ga kamu kenal." kata Kalila dengan sesendok bubur di depan mulut Arlen. "Kamu bisa anggap aku orang asing mulai sekarang."
Dengan sorot matanya yang penuh benci, Arlen mau tak mau membuka mulutnya untuk menelan bubur yang dibuatkan Kalila.
Arlen tidak memungkiri, bubur buatan Kalila memang selalu bisa membuat perutnya nyaman ketika gerd nya kambuh. Rasa hangat itu seperti memeluk seluruh isi perutnya, dan membuang semua rasa sakit yang dia rasa saat ini.
Kalila menyuapi Arlen dengan pelan-pelan, seperti sosok Kalila yang dulu selalu Arlen kenal. Sosok Kalila sahabatnya yang penuh kelembutan. Tapi, rasa sakit hatinya kembali muncul ketika ia kembali teringat bahwa semua itu hanya kepalsuan.
"Kenapa kamu harus berubah? Kenapa kamu menipuku?" tanya Arlen disela-sela suapannya.
"Makan saja." Kalila menjawab, dia mengalihkan wajahnya dari Arlen. "Kalau kamu membenciku, benci saja, ga perlu tahu apa alasanku."
Tangan Arlen menarik lengan Kalila hingga Kalila kembali menghadap Arlen. "Aku perlu tahu, apakah alasankku membencimu sudah tepat."
"Tepat atau ga tepat, memang kenapa? Aku tetap menjadi orang yang setuju dijodohkan karena uang."
"Kalau memang kamu membutuhkan uang, kenapa harus berpura-pura selama ini?"
"Karena...kamu ga akan mungkin mau berteman dengan orang sepertiku."
"Sepertimu? Maksudnya?"
Kalila membuang napas. Alih-alih menjawab pertanyaan Arlen, ia malah menyerahkan mangkuk dengan sisa bubur yang masih ada. "Selesaikan saja makan mu. Letakkan saja nanti di meja, biar aku yang rapihkan besok pagi."
Kalila beranjak dan meninggalkan Arlen.
Dia masuk ke dalam kamarnya, menutup dan mengunci pintu di belakang punggungnya. Jantungnya berdebar. Antara gugup, canggung juga sedih.
Bodoh...
.
.
.
Bersambung.
terima kasih ya yang udah baca, udah like karya aku, semoga kisah kali ini bisa menghibur teman-teman semuanya ❤️❤️❤️
Saranghae 🫰🏻🫰🏻🫰🏻