“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan
Langkah Elena terasa berat, seperti setiap detiknya adalah hukuman. Ia menunduk sepanjang jalan, mencoba mengatur napasnya, tapi dadanya tetap berdegup tak karuan. Kakinya bahkan sempat hampir tersandung ketika mereka melewati koridor menuju lantai eksekutif. Axel berjalan di depannya dengan santai, seolah tak terjadi apa-apa, seolah ia bukan baru saja mempermalukan Elena di depan seluruh karyawan.
Suasana koridor terasa sepi, hanya suara langkah mereka yang terdengar. Elena beberapa kali menggigit bibir bawahnya, ingin bertanya, ingin protes, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya bisa mengikuti, seperti seorang terdakwa menuju ruang sidang.
Sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kaca besar bertuliskan CEO Room. Axel membuka pintu itu dengan satu tangan, lalu menoleh sedikit ke belakang.
“Masuk ...!" perintah Axel dengan singkat.
Elena menelan ludah, lalu masuk pelan-pelan. Ruangan itu luas, modern, dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari lantai atas. Meja kerja dari kayu hitam mengilap berdiri anggun di tengah ruangan, dengan kursi kulit hitam di belakangnya. Bau ruangan itu seperti campuran kayu mahal dan wangi parfum maskulin yang entah kenapa langsung membuat Elena semakin gugup.
Ia terlalu fokus dengan pikirannya sendiri, sampai tak sadar Axel yang berjalan di depannya tiba-tiba berhenti. Dan ....
Tubuh Elena menabrak punggung Axel cukup keras. Dia sangat terkejut.
“Astaga!” pekik Elena lirih. Ia hampir saja terjungkal kalau saja tangan Axel tidak dengan sigap menangkap pinggangnya.
Dalam sekejap, tubuh Elena sudah berada di pelukan Axel. Napas mereka begitu dekat. Elena bisa mencium aroma parfum pria itu yang hangat dan maskulin.
Axel menatapnya dengan tatapan tajam sekaligus geli. Sudut bibirnya terangkat. “Apa ini cara barumu mencari perhatianku?”
Elena membeku. “A-aku … aku nggak sengaja,” ucap Elena dengan suara bergetar, pipinya terasa panas.
Axel mendekatkan wajahnya sedikit, suaranya menurun jadi lebih dalam. “Hmm … atau sebenarnya kamu memang sengaja? Supaya aku memelukmu begini?”
Elena spontan mundur, tapi Axel belum melepas pelukannya dipinggang wanita itu. “Lepaskan …,” ucap Elena pelan.
Bukannya melepaskan, Axel justru mempererat pelukannya. Ia mendekatkan bibir ke telinga Elena, berbisik dengan suara rendah yang membuat bulu kuduk Elena meremang.
“Jujur, Elena. Kamu merindukan kehangatanku, kan?”
Pertanyaan itu menghantam dada Elena seperti palu. Ia langsung menatap Axel dengan mata membesar. “A-apa maksudmu?! Jangan asal bicara!”
Axel tersenyum miring, tatapannya tajam tapi juga nakal. “Kamu lupa, Elena? Malam itu … kamu yang memintaku untuk tetap tinggal. Kamu yang tidak mau aku pergi.”
Wajah Elena memanas seketika. “Berhenti bicara soal itu!” seru Elena, dia berusaha menjauh.
Axel akhirnya melepaskannya, tapi tidak benar-benar memberi jarak. Ia melangkah mundur setengah langkah, lalu menyandarkan diri di tepi meja kerjanya, tangan terlipat di dada, menatap Elena dari ujung kepala sampai kaki.
“Kamu tampak sangat gugup. Berbeda sekali dengan malam itu," ujar Axel dengan suara tenang.
“Aku tidak gugup!” balas Elena cepat, meski jelas-jelas napasnya belum teratur.
“Bohong,” Axel menyeringai. “Kamu bahkan nggak berani menatapku lama-lama.”
Elena mendongak menantang, meski pipinya masih merah. “Aku di sini karena kamu memanggilku, bukan karena aku mau ngobrol santai!”
Axel menaikkan satu alis. “Oh? Jadi kamu nggak mau ngobrol santai denganku? Padahal kita pernah ‘santai’ bersama sebelumnya. Bahkan lebih dari sekedar santai!"
“Elena!” Ia melangkah maju lagi, membuat Elena spontan mundur sampai punggungnya hampir menempel ke dinding kaca.
Axel berhenti tepat di depannya, jarak mereka hanya beberapa senti. “Kamu tahu nggak,” bisik Axel, “Sejak tadi di aula, aku mencari-cari wajahmu. Aku penasaran, apakah kamu akan berpura-pura tidak mengenaliku.”
Elena menahan napas. “Aku … aku tidak berpura-pura. Aku hanya ….”
“Hanya apa?” Axel mencondongkan tubuhnya, membuat Elena semakin terpojok.
“Hanya ingin melupakan kejadian itu,” jawab Elena akhirnya, lirih.
Axel tertawa kecil, nadanya pelan tapi menusuk. “Kamu pikir kamu bisa melupakannya? Elena … kamu salah besar. Aku tidak akan membiarkanmu melupakannya.”
Elena menggigit bibir. “Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini padaku?”
“Karena aku ingin kamu ingat siapa aku,” jawab Axel santai. “Dan karena aku ingin tahu … apa kamu menyesal?”
Elena menoleh ke samping, menghindari tatapan Axel. “Aku … aku tidak menyesal.”
Axel terdiam sejenak, lalu senyum itu kembali menghiasi wajahnya. “Bagus.” Ia mengangkat dagu Elena dengan ujung jarinya, memaksanya menatap. “Kalau begitu, jangan lari setiap kali kamu melihatku. Kamu milikku sekarang.”
“Milikmu?” Elena hampir tercekik mendengar kata itu.
“Ya.” Axel menatapnya dalam-dalam. “Kamu pikir kamu bisa menghabiskan malam itu denganku lalu pergi begitu saja? Tidak, Elena. Kamu sudah menyalakan api, dan aku tidak akan memadamkannya sebelum aku puas.”
Elena menahan napas, dadanya berdebar hebat. “Axel … aku sudah menikah.”
“Aku tahu.” Axel mengangguk santai. “Dan aku tidak peduli.”
Ucapan itu seperti petir yang menyambar. Elena mematung, tak tahu harus berkata apa.
Axel mendekat lagi, suaranya merendah, nyaris seperti bisikan. “Kamu yang memintaku menemanimu malam itu. Kamu yang menatapku seperti … kamu menginginkanku. Dan kamu tahu? Aku juga menginginkanmu. Sampai sekarang.”
Elena memejamkan mata, berusaha menahan gejolak perasaan yang bercampur aduk. “Kamu jahat …,” ucap Elena lirih.
Axel tertawa kecil. “Mungkin. Tapi jujur saja, bagian dari dirimu menyukai sisi jahatku ini, kan?”
Elena menggeleng cepat. “Tidak!”
“Tapi kamu tidak menolakku saat itu.”
“Itu … itu karena aku sedang marah! Aku hanya … aku hanya butuh pelampiasan. Lagi pula aku sedang mabuk, jadi tak sadar dengan apa yang aku lakukan!"
Axel tersenyum lebar. “Dan aku akan dengan senang hati menjadi pelampiasanmu lagi. Aku akan membuat kamu sadar saat melakukannya lagi denganku!"
Elena membuka mata, menatapnya marah. “Kamu gila!”
“Ya, aku gila,” Axel menunduk, mendekatkan wajahnya, “Tapi hanya untukmu.”
Elena terpaku. Kata-kata itu terlalu berbahaya.
Axel akhirnya mundur setengah langkah, memberi Elena sedikit ruang bernapas. “Santai saja, Elena. Aku tidak akan memaksamu … sekarang.” Ia melirik jam tangannya. “Tapi aku akan menunggumu. Dan percayalah, aku selalu mendapatkan apa yang aku mau. Aku sudah berulang kali mengingatkan kamu, jika kamu berani memulai, jangan pernah mengakhiri tanpa izin dariku."
Elena meremas tangannya sendiri, berusaha tetap tegar. “Aku akan kembali bekerja.”
Axel mengangguk santai. “Silakan. Tapi ingat … setiap kali kamu berjalan di koridor perusahaan ini, kamu akan selalu ingat siapa yang memimpin tempat ini sekarang.”
Elena menelan ludah. “Apa kamu akan terus menggangguku?”
Axel menyeringai. “Mengganggu? Tidak. Mengingatkan kamu akan malam panas kita, iya.”
"Dasar gila," ucap Elena lagi.
Elena akhirnya melangkah pergi setelah mengucapkan itu, mencoba menjaga wibawanya, meski jantungnya masih berdegup kencang. Saat pintu ruangan terbuka, ia mendengar suara Axel lagi.
“Elena.”
Ia berhenti, tapi tidak menoleh.
“Besok aku ingin kamu datang ke sini lagi. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan.”
Elena menggigit bibir. “Aku tidak punya apa-apa untuk dibicarakan denganmu.”
“Kalau begitu,” suara Axel terdengar semakin rendah, “Aku yang akan berbicara, kamu hanya perlu mendengarkan.”
Elena segera keluar sebelum ia benar-benar kehilangan kendali. Begitu pintu tertutup, Axel berdiri di tengah ruangan, menatap pintu yang baru saja menelan sosok Elena. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Aku akan membuatmu jujur pada perasaanmu, Elena. Dan kali ini, kamu tidak akan punya kesempatan untuk lari.”
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2