Kembalinya Ratu Gangster

Grace tidak berani banyak bertanya lagi. Ia tahu, ada perubahan besar yang terjadi pada Madam Nalea sejak ia masuk ke keluarga Hersa, seolah Nalea yang dulu dan Nalea yang sekarang adalah dua orang yang berbeda.

Tak baik mencampuri urusan Madam Nalea. Tugas saya hanya melindungi dan mematuhi.

Grace mengangguk. “Baik, Madam. Kalau begitu, saya akan menyiapkan buku-buku pelajaran yang paling baik untuk Madam. Jika Madam ingin belajar, saya akan pastikan Madam mendapatkan guru yang paling cerdas.”

“Tidak perlu guru, Grace,” potong Nalea cepat. Ia tidak mau ada orang luar yang terlalu dekat dengannya.

Aku tidak butuh guru. Tapi di kehidupan ini aku tidak tahu bisa memiliki kesempatan bersama atau tidak. Jika dulu aku masih bodoh dan Kayzo bisa masuk sebagai guru privat. Aku harus menemukan cara untuk menghubunginya tanpa membuatnya curiga. Perang dingin di antara aku dan dia untuk saat ini tidak memungkinkan tiba-tiba saja ada keakraban dengannya.

“Aku akan belajar sendiri,” putus Nalea. “Aku akan menguji diriku. Dan aku akan membuktikan pada mereka bahwa Nalea Shara bukan hanya Ratu Gangster, tapi juga seorang jenius terdepan.”

Nalea kembali menatap layar laptopnya, tetapi pikirannya kini tertuju pada satu nama, Kayzo. Ia harus mencari tahu rahasia kecerdasan pria itu di masa lalu, rahasia yang ia yakini akan menjadi kunci kekuatannya saat ini.

...**********...

BRAK! BUGH!

Dengan tendangan satu kaki yang kuat dan tak terduga, Kayzo Renand berhasil membuka pintu utama kediaman utama Keluarga Mahaka. Satpam pun tak ada yang mencegah Kayzo berbuat sesuka hati, takut-takut peluru akan bersarang di tempat yang tidak seharusnya. Suara debuman keras itu memecah keheningan pagi yang mewah. Kayzo melangkah masuk tanpa permisi, jaket kulitnya dan aura Krayrock-nya menodai kemegahan ruang tamu. Di belakangnya mengekor Devano sebagai wakil ketua yang paling setia.

Jika bukan karena Pandu Mahaka, kakeknya, yang menelepon langsung dan memintanya datang, Kayzo tidak sudi menginjakkan kaki di rumah itu, terutama jika harus berhadapan dengan Yudhis, ayahnya, dan Hansen, adik tirinya.

“Heh! Dasar bocah semprul! Cah gendeng!”

Sebuah suara serak dan tegas menggelegar dari ujung lorong. Pandu Mahaka, sang kepala keluarga yang karismatik, muncul sambil memegang tongkat kayu eboni. Wajahnya keras, tetapi ada kilatan sayang yang tersembunyi di matanya saat melihat cucu sulungnya.

“Pintu rumah itu, bukan pintu club malammu! Tidak punya sopan santun sama sekali!” omel Pandu, logat Jawanya yang kental menambah kesan tegas.

Kayzo hanya tersenyum tipis, senyum yang jarang ia tunjukkan. Ia menghampiri kakeknya dan membungkuk sedikit, bentuk hormat yang hanya ia berikan kepada Pandu.

“Jangan marah-marah, Simbah. Nanti Simbah cepat mati. Aku belum selesai balas dendam, Simbah harus lihat sampai tuntas,” balas Kayzo, nadanya datar dan acuh tak acuh.

Pandu pura-pura mengayunkan tongkatnya ke arah Kayzo. “Mulutmu itu minta dicabein! Cah edan! Ngumpahin orang tua mati, gendeng! Kenapa harus datang ke sini kalau niatnya bikin darah Simbah naik?”

“Simbah yang memanggilku,” jawab Kayzo singkat.

Saat perdebatan antara kakek dan cucu itu terjadi, Hansen Mahaka baru turun dari tangga spiral, mengenakan piyama sutra. Ia melirik Kayzo dengan tatapan jijik dan segera menuju meja makan, tempat sarapan mewah sudah tersaji.

Pandu yang melihat tingkah Hansen, langsung mengalihkan kemarahannya.

“Hansen! Bangun siang, tidak tahu aturan! Duduk langsung makan! Tidak sapa Ayahmu, tidak sapa Kakakmu! Bocah ora duwe toto kromo!” omel Pandu.

Hansen hanya mendengus. “Pagi, Simbah. Semalam aku tidur larut karena ada rapat penting.”

“Rapat penting apanya,” cibir Kayzo keras, suaranya menarik perhatian Yudhis, ayah mereka, yang baru saja keluar dari ruang kerja.

Kayzo melangkah ke meja makan, tatapannya menghina Hansen.

“Pecundang itu hanya tahu berfoya-foya, pesta, dan makan serta buang hajat. Menghabiskan jatah beras keluarga Mahaka. Kenapa kau tidak bangun siang, Hansen? Agar kau bisa makan lebih banyak? Atau kau takut aku melihat tato naga palsu di punggungmu?” Kayzo memprovokasi.

Hansen tersentak, wajahnya merah. “Jaga mulutmu, Kayzo! Kau tidak tahu apa-apa tentangku!”

Yudhis, yang selama ini diam, berdiri. Matanya penuh amarah pada Kayzo. Yudhis selalu memihak Hansen dan anak-anak dari istri barunya, dan menelantarkan Kayzo sejak ibunya meninggal.

“Kayzo!” bentak Yudhis, suaranya menggelegar. Ia melangkah cepat dan hendak menampar Kayzo.

Namun, sebelum tangan Yudhis mencapai pipi Kayzo, Devano, yang berdiri di balik Kayzo, bergerak cepat dan mencegat lengan Yudhis dengan cengkeraman baja.

“Jangan coba-coba menyentuh Ketua kami, Tuan Yudhis,” desis Devano, tangannya mencengkram kuat.

Kayzo tersenyum dingin. “Lepaskan dia, Devano. Kadang orang tua suka lupa siapa anaknya yang sebenarnya. Biarkan dia menampar. Aku sudah terbiasa dengan tamparan dari pria lemah.”

Wajah Yudhis memerah menahan malu karena dicegah oleh pengawal Kayzo. “Kau! Kau tidak pernah tahu aturan! Kau selalu kasar! Kau merusak nama baik Mahaka dengan ulah premanmu!”

“Nama baik Mahaka? Cih!” Kayzo tertawa hampa. “Nama baik Mahaka sudah hancur sejak kau selingkuh di belakang Ibuku, dan kau menelantarkanku! Kau menuduhku anak haram, padahal kau yang paling tahu siapa aku ini sebenarnya!”

Hansen bangkit, wajahnya licik. “Diam, Kayzo! Kau tidak pantas berada di sini! Kau itu anak kampung! Udik! Kau hanya tahu kekerasan, kau bodoh, dan tidak punya pendidikan! Kau seharusnya malu dengan penampilan premanmu!”

Kayzo menatap Hansen, matanya memancarkan api kemarahan. “Setidaknya aku tidak mengandalkan uang dari seorang wanita. Kerja! Jangan jadi beban keluarga atau pria mokondo. Pecundang sepertimu, Hansen. Dan soal pendidikan? Kau lupa, dasar pengecut. Aku adalah anak sah yang lahir dari pernikahan sah. Sementara kau? Kau hanyalah anak haram tetapi tidak tahu diri. Seharusnya kau menjadi gelandangan, bukan di sini, berpura-pura menjadi Tuan Muda dan menikmati kekayaan yang seharusnya milikku!”

“Kayzo!” teriak Yudhis.

Pandu memukul tongkatnya ke lantai, suaranya menghentikan perdebatan itu. “CUKUP! HENTIKAN KEKONYOLAN INI!”

Pandu terlihat pusing. Ia menatap Kayzo dengan nada memohon.

“Kayzo, antar Simbah ke kamar. Kepalaku pusing. Wes, wis, kakean polah kowe kabeh!”

Kayzo mengangguk, ia mengabaikan tatapan penuh kebencian Yudhis dan Hansen. Ia memapah kakeknya menuju kamar Pandu.

Setelah memastikan pintu tertutup dan Devano menunggu di luar, Pandu duduk di kursi malasnya. Ia menatap Kayzo dengan pandangan yang melembut.

“Kay,” kata Pandu, suaranya tenang. “Aku memanggilmu ke sini bukan untuk melihat drama konyol itu.”

“Aku tahu, Simbah. Simbah ingin aku bergabung dengan perusahaan,” jawab Kayzo, bersandar di dinding.

“Betul! Sudah cukup kau bermain-main dengan geng motor sampahmu itu! Cepat bergabung dengan Mahaka Group. Aku akan memberimu posisi CEO dan mempersiapkanmu sebagai pewaris,” desak Pandu.

Kayzo menggeleng. “Tidak, Simbah. Aku masih banyak urusan. Ada rencana yang harus kuselesaikan.”

“Urusanmu itu membunuh orang, Kayzo!” tegas Pandu. “Aku tahu semua yang kau lakukan di luar sana. Dengan mudahnya kau menghilangkan nyawa orang. Jika bukan karena nama besar Mahaka, nama besar Simbah, kau pasti sudah mendekam di penjara seumur hidup!”