MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran Andika
Lampu kristal di ruang tengah berpendar redup, memantulkan bayangan kegelisahan yang menyelimuti ruangan itu. Di atas sofa beludru, Santi mulai melenguh.
Kelopak matanya bergetar hebat sebelum akhirnya terbuka perlahan. Hal pertama yang ia rasakan adalah hantaman rasa pening yang luar biasa, seolah-olah ada godam yang menghujam tempurungnya.
"Santi? Sayang, kamu bangun?" suara Andika terdengar cemas di telinganya.
Santi mencoba duduk, namun dunianya serasa berputar.
"Kepalaku... Andika, kepalaku sakit banget,"
rintihnya sambil memegang keningnya yang diperban tipis.
Memorinya kembali berputar pada kejadian di gudang kegelapan, tawa dingin itu, dan sebuah tendangan yang melesat secepat kilat.
Seketika, mata Santi membelalak. Ia teringat wajah Rahayu yang hancur namun memancarkan aura mengerikan. Tubuh Santi mulai gemetar hebat. Ia tiba-tiba menjerit, suara lengkingannya memenuhi ruangan, memecah keheningan malam yang larut.
"Dia mengerikan! Andika, dia bukan manusia lemah! Dia mau membunuhku!" teriak Santi histeris. Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat. Ia mencengkeram kemeja Andika dengan kuku-kukunya, seolah mencari perlindungan dari serangan sosok mengerikan yang bahkan tidak ada di ruangan itu.
Andika segera merengkuh tubuh Santi ke dalam pelukannya.
"Tenang, darling. Tenang. Aku di sini. Dia gak akan bisa menyentuhmu lagi. Dia udah dirantai seperti binatang liar, di gudang itu."
"Tapi dia bisa melihatku, Andika! Meskipun matanya buta, aku merasa dia sedang menatap jantungku!" Santi terisak di dada Andika, suaranya parau karena ketakutan yang teramat sangat.
"Singkirkan dia! Aku gak mau tinggal di mansion yang sama dengan monster itu! Aku benci dia, tapi... tapi aku takut, Andika. Gerakannya tadi... itu bukan gerakan orang buta biasa."
Melihat wanita yang ia cintai atau lebih tepatnya, rekan dalam ambisinya hancur seperti itu, kemarahan Andika mendidih hingga ke ubun-ubun. Rasa takutnya pada Rahayu kini kalah oleh rasa cinta sesaatnya kepada Santi.
"Aku bersumpah, Santi," bisik Andika dengan nada rendah yang sarat akan kebencian.
"Besok, aku akan membuat dia merangkak di kakimu. Aku akan memastikan setiap tulang di tubuhnya merasakan rasa sakit yang lebih besar dari yang kamu rasakan. Dia akan memohon maut, tapi aku gak akan memberikannya sebelum dia menyerahkan semua hartanya. Aku akan membuat hidupnya di gudang itu seperti neraka yang paling bawah."
Bu Citra yang sejak tadi memperhatikan dari kursi seberang hanya mendengus.
"Jangan cuma bacot doang Andika. Besok pagi adalah penentuannya. Pastikan dia gak punya kekuatan lagi untuk bicara, apalagi menendang."
Keesokan harinya, mentari di Bogor muncul dengan wajah muram, tertutup awan abu-abu yang menggantung rendah. Suasana di mansion itu masih tegang saat ponsel Andika yang tergeletak di meja makan bergetar hebat.
Nama yang muncul di layar membuat jantung Andika seakan berhenti berdetak sesaat.
"Pamer (Papa Mertua)."
Andika menelan ludah. Ia melirik ibunya yang sedang menyesap teh.
"Bu, Papa Rahayu nelpon."
Wajah Bu Citra menegang.
"Angkat. Jangan tunjukkan suaramu gemetar. Ingat, dia adalah sumber uang kita."
Andika menggeser layar hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya.
"Halo, Papa Rio? Selamat pagi saya gak nyangka Papa akan nelepon sepagi ini."
"Andika," suara berat dan berwibawa di seberang sana terdengar lelah, namun tegas.
"Papa baru aja mendarat di Soekarno-Hatta. Papa langsung dari Kanada setelah mendengar kabar duka itu."
Andika mengerutkan kening.
"Kabar duka?"
"Jangan bilang kamu belum tahu. Pak Baskara, pengacara senior sekaligus sahabat baik keluarga Papa, meninggal dunia kemarin sore karena kecelakaan beruntun di tol. Beliau orang yang sangat berjasa bagi keluarga Papa. Jenazahnya akan dimakamkan jam sepuluh pagi ini di pemakaman X."
Andika tersentak. Pak Baskara adalah pemegang banyak dokumen penting keluarga Rio. Kematian mendadaknya adalah berita besar, tapi bagi Andika, ini adalah gangguan pada rencananya pagi ini untuk menyiksa Rahayu.
"Papa ingin kamu dan Rahayu bersiap-siap," lanjut Pak Rio.
"Papa akan langsung menuju ke pemakaman. Kita ketemu di sana. Papa udah rindu juga sama Rahayu. Bagaimana keadaannya? Mengapa seminggu ini dia sulit sekali dihubungi?"
Andika memutar otak dengan cepat. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Ia tidak mungkin membawa Rahayu yang penuh luka dan lebam ke pemakaman umum. Itu sama saja dengan menyerahkan lehernya ke tiang gantungan.
"A-anu, Papa... sebenarnya ada berita kurang baik," ujar Andika, mencoba memasukkan nada sedih ke dalam suaranya.
"Rahayu sedang sakit keras, Pa. Sejak tiga hari yang lalu, dia demam tinggi dan sering mengigau. Dokter bilang dia terkena infeksi virus yang cukup parah dan harus istirahat total di kamar."
Hening sejenak di seberang sana. Andika menahan napas.
"Sakit? Kenapa kamu gak mengabari Papa sejak awal?" nada bicara Pak Rio berubah cemas sekaligus curiga.
"Kami gak ingin Papa khawatir di Kanada, apalagi Papa sedang sibuk dengan proyek besar di sana," Andika berbohong dengan lancar, bak seorang aktor profesional.
"Tadi pagi pun, kondisinya masih sangat lemah. Dia bahkan sulit untuk sekadar duduk. Saya merasa sangat berdosa jika memaksanya ikut melayat dalam kondisi seperti ini. Dia sangat terpukul saat saya beri tahu kabar Pak Baskara tadi, dia menangis sampai pingsan lagi."
Bu Citra yang mendengar itu memberikan jempol secara diam-diam.
Pak Rio menghela napas panjang, terdengar sangat kecewa.
"Begitu ya... kasihan putriku. Baiklah, Andika. Kalau begitu, kamu saja yang datang mewakili keluarga. Papa akan segera ke mansion kalian setelah urusan di pemakaman selesai untuk menjenguk Rahayu. Papa ingin melihat sendiri kondisinya."
"Tentu, Pa. Tentu saja. Saya akan segera bersiap ke pemakaman," ucap Andika cepat-cepat sebelum menutup telepon.
Begitu sambungan terputus, Andika melempar ponselnya ke meja.
"Gawat, Mah. Pak Rio mau ke sini setelah pemakaman. Dia mau menjenguk Rahayu!"
Wajah Bu Citra memucat sesaat, namun kemudian berubah menjadi seringai licik.
"Artinya, kita gak punya waktu sampai nanti sore. Kita harus bertindak sekarang juga. Kita punya waktu sekitar empat jam sebelum Pak Rio sampai di mansion ini."
Bu Citra berdiri, matanya memancarkan kekejaman yang murni.
"Andika, ambil surat peralihan saham itu. Kita ke gudang sekarang. Kita bersihkan luka di wajahnya dengan kasar kalau perlu, paksa dia tanda tangan, lalu kita rias wajahnya agar lebam-lebam itu tertutup bedak tebal saat ayahnya datang. Jika dia berani membuka mulut di depan ayahnya..."
Bu Citra mengambil pisau kecil dari meja makan.
"...pastikan dia tahu bahwa itu akan menjadi kata-kata terakhir yang diucapkannya sebelum kita menghabisi ayahnya juga."
Di dalam gudang yang pengap, Rahayu mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Bukan langkah santai, tapi langkah yang terburu-buru dan penuh kebencian. Ia mencium bau parfum maskulin Andika yang bercampur dengan bau obat-obatan dari perban Bu Citra.
Rahayu menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan tenaga setelah istirahatnya semalam. Ia tahu, sang 'singa' sedang masuk ke dalam kandangnya.
"Andika," bisik Rahayu pelan saat pintu besi itu berderit terbuka.
"Suara langkahmu terdengar sangat gelisah. Apa yang kamu takutkan? Apakah kebohonganmu mulai tercium?"
Andika menggeram, ia melemparkan map cokelat ke lantai semen di depan kaki Rahayu yang terantai.
"Diam kau, buta! Tanda tangani ini sekarang, atau aku akan memastikan lidahmu gak akan bisa lagi bicara buat selamanya!"
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏