Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Satria segera menyikut Daniel, tetapi sudah terlambat. “Kau seperti tidak hafal saja, Daniel,” timpal Satria, berusaha meredam suasana, “jika Kayzo tak pernah bersentuhan dengan wanita manapun. Dia punya standar yang sangat tinggi.”
Kayzo tidak menggubris. Ia meraih botol single malt whiskey paling mahal di meja, meneguknya langsung dari botol. Ia ingin mabuk, setidaknya cukup untuk menghilangkan bayangan Nalea yang terus berputar-putar seperti film lama tetapi otaknya terlalu sadar.
Daniel tidak kapok. Ia mencondongkan tubuhnya, tangannya tak mau diam meremas gunung kembar Ladies di sampingnya, membuat gadis itu mendesah pelan. Pemandangan itu membuat Kayzo jijik, tetapi ia tak beranjak. Memang hal yang biasa terjadi di klub malam.
“Kay, jangan-jangan kamu itu nggak doyan perempuan, hah?” ucap Daniel, nadanya penuh provokasi. “Sayang sekali, Bro. Kau tidak tahu bagaimana kenikmatan dan surga dunia yang sebenarnya ada di sini.”
“Hahaha, aku tahu, Kay,” lanjut Daniel, tertawa semakin keras, suaranya memenuhi ruang VIP. “Apa jangan-jangan perkututmu itu tidak bisa berdiri karena kau terlalu sibuk dengan motor dan kertas-kertas perusahaan! Jujur saja, Kay! Kau tidak usah malu!”
Wajah Kayzo Renand yang tadinya dingin, kini mengeras. Suasana hatinya sudah buruk sejak ia melihat Grace dan memikirkan Nalea. Provokasi Daniel ini sudah melampaui batas loyalitas.
Kayzo perlahan meletakkan botol whiskey yang tersisa setengahnya. Ia menarik napas panjang, tatapannya kosong sesaat.
Satria melihat perubahan itu dan segera tahu apa yang akan terjadi. Ia buru-buru menegur Daniel.
“Daniel! Sudah cukup! Tutup mulutmu, anjing! Kau tahu Kayzo tidak suka hal itu!” bentak Satria.
Namun, sudah terlambat. Kayzo tidak bisa lagi menahan emosinya. Daniel sudah menyentuh titik sensitifnya, kepribadiannya, kejantanannya, dan yang paling penting, Nalea.
Kayzo meraih pistol Glock kecil yang tersembunyi di balik jaket kulitnya. Gerakannya cepat, tanpa emosi, dan mematikan.
DOR!
Suara tembakan itu memecah dentuman musik. Peluru itu tepat menembus kepala Daniel. Darah menyembur ke sofa putih, dan tubuh Daniel ambruk tanpa suara.
Gadis di samping Daniel menjerit tertahan. Ia segera menutup mulutnya dan menyingkirkan diri ke sudut ruangan, air matanya mengalir deras karena ketakutan.
Satria hanya bisa memejamkan mata sesaat. Ia sudah memperingatkan Daniel.
Kayzo menyarungkan kembali pistolnya. Matanya kembali dingin, seolah yang barusan ia bunuh hanyalah serangga.
“Satria,” panggil Kayzo. Suaranya kembali tenang, sedingin es.
“Ya, Kay,” jawab Satria, langsung sigap.
“Berikan kode kepada anak buah kita. Buang mayat Daniel si sampah itu di kolong jembatan, jauh dari sini. Jangan sampai ada bekasnya. Dan jangan ada yang bicara soal ini,” perintah Kayzo.
“Siap, Kay.”
Kayzo menyalakan sebatang rokok lagi, menghembuskan asapnya. Rasa pahit dari pembunuhan itu bercampur dengan rasa whiskey yang memabukkan. Ia beranjak, meninggalkan Satria dan mayat Daniel.
“Aku pergi. Atur semuanya, Satria. Aku tidak ingin ada masalah dengan polisi.”
Satria mengangguk patuh. Ia tahu, Kayzo hanya akan bersabar pada orang-orang yang penting baginya. Daniel sudah melewati batas dan kini harus membayar dengan nyawanya. Kayzo Renand tidak pernah main-main dengan harga diri.
Di tepi danau yang gelap dan sunyi, hanya diterangi cahaya rembulan yang memantul di permukaan air, Kayzo Renand duduk di tanah, memegang sebotol penuh whiskey mahal yang ia teguk langsung dari leher botol. Dinginnya angin malam menusuk kulit, tetapi tidak sedingin kehampaan yang terasa di hatinya.
Ia menikmati kesendiriannya, tak peduli seberapa buruk alkohol itu bagi tubuhnya.
Tak ada yang tahu kehidupan Kayzo yang pelik. Semua orang hanya mengenalnya sebagai Kayzo Renand, Ketua Krayrock yang kejam, yang bisa membunuh tanpa emosi. Atau sebagai Tuan Muda Keluarga Mahaka yang angkuh dan misterius. Tapi tak ada yang tahu bahwa ia adalah anak buangan dari keluarga sendiri.
Anak sulung yang sah. Anak pertama dari pernikahan sah. Tapi karena Ibuku hanya wanita desa biasa, aku dianggap sampah. Mereka pikir aku tidak pantas mewarisi nama besar Mahaka. Mereka menganggapku tidak lebih dari anak haram.
Pikirannya melayang pada mendiang ibunya. Wanita sederhana yang dicintai Kayzo sepenuh hati, tetapi diremehkan, diinjak-injak, dan dicurangi oleh keluarga besar Mahaka. Ayahnya sendiri, yang seharusnya melindunginya, justru selingkuh dengan wanita dari keluarga kaya raya. Wanita selingkuhan itu dihormati, dan anak-anaknya diakui, sementara Kayzo dan Ibunya diperlakukan seperti debu. Penyakit yang menggerogoti tubuh Ibunya adalah buah dari kesedihan dan pengkhianatan yang tak berujung.
Kayzo meneguk lagi whiskey-nya, rasanya membakar tenggorokan, tetapi itu lebih baik daripada rasa sakit yang menggerogoti hatinya.
“Mereka mengira aku lemah,” gumam Kayzo pada dirinya sendiri. “Mereka tidak tahu seberapa besar aku membangun jaringan rahasia Krayrock, jaringan yang membentang di seluruh kota. Mereka tidak tahu aku sedang bersiap untuk memberikan kejutan besar pada Ayah dan keluarga besarnya.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Kayzo tidak perlu menoleh. Hanya ada satu orang yang berani mengganggunya dalam keadaan seperti ini.
“Kau terlalu cepat membereskan Daniel, Satria,” ujar Kayzo, suaranya parau karena alkohol.
“Bukan Satria, Kay. Ini Devano,” jawab Devano, berjalan mendekat dengan langkah pelan. Ia membawa sebotol air mineral dan sebatang rokok.
Devano duduk di samping Kayzo, menjaga jarak aman. Ia tahu, Kayzo sedang berada di batas emosi.
“Aku bertemu dengan Satria. Dia bilang kau lagi-lagi menghilangkan nyawa orang begitu mudahnya. Setidaknya jangan gunakan tanganmu sendiri, kau punya banyak anak buah yang siap berlumuran darah, ” ujar Devano, menyalakan rokok dan menawarkan satu pada Kayzo.
Kayzo mengambil rokok itu. “Aku tidak peduli. Dia pantas mati. Dia menyentuh harga diriku.”
“Dia menyebut perkututmu tidak berdiri, kan?” ledek Devano pelan.
Kayzo mendengus keras. “Bukan cuma itu. Dia meremehkan apa yang aku jaga.”
Devano menghela napas. Ia menatap danau. “Kau terlalu banyak minum, Kay. Ceritakan padaku, ada apa? Apakah karena dia? Apakah karena sang Madan gangster tetangga?” tebak Devano pasti tak salah lagi.
Kayzo diam sejenak. Ia menatap botol whiskey di tangannya, yang kini terasa hampa.
“Aku lelah, Dev,” Kayzo akhirnya membuka suara, nada suaranya begitu menyedihkan hingga membuat Devano merasa iba. “Aku lelah menjadi orang yang paling dibenci di rumah, sementara aku adalah anak yang sah. Aku terbuang dan teronggok bagaikan barang tak berguna. Aku lelah berpura-pura menjadi iblis Krayrock, padahal aku hanya ingin keadilan untuk Ibuku.”
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬