Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kondisi Daffa yang memburuk
Beberapa minggu kemudian setelah kejadian itu, Usaha jahit milik Inara mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dan hari ini rencananya ia akan menutup usahanya selama dua hari kedepan karena jadwal kontrol penentuan putranya, tindakan seperti apa yang akan dilakukan oleh Dokter selanjutnya untuk kesembuhan Daffa.
Kini usianya Daffa genap tiga bulan lebih dua minggu, sementara itu... Rayyan sendiri sudah tidak sabar untuk mengetahui siapa calon istrinya, sudah hampir dua bulan lamanya ia menunggu kabar dari ibunya, dan berkat dari hasil desain milik Inara yang sengaja ia beli, pada akhirnya perusahaan Witjaksono dan Brand Lewwis melambung semakin tinggi, pasar-pasar di Eropa dan Asia, sangat antusias dengan gebrakan baru dari produk tersebut, dan tentunya perusahaan Witjaksono mengalami kenaikan pendapatan yang fantastis. Rayyan sendiri sempat berharap jika ibunya tidak jadi menjodohkan dirinya dan menikahkannya secara paksa dengan wanita pilihannya.
Kemudian Frans datang sambil membawa laporan perusahaan yang tadi telah dimintanya. Kini Frans duduk berhadapan dengan Tuannya.
"Tuan, apa sebaiknya kita ajak Nona Inara untuk merayakan hari kemenangan kita? Bukankah Nona Inara ikut andil dalam hal ini!"
Mendengar Frans berkata seperti itu, Rayyan terdiam sejenak, sebenarnya ia masih merasa sangat kesal kepada Inara, karena ia pikir Inara lah yang telah membocorkan masalah ini terhadap ibunya, namun kali ini ia tak mau ambil resiko, jika seandainya mengatakan Inara adalah biang keladinya atas pernikahan paksa dirinya dengan wanita pilihan ibunya, tanpa adanya bukti yang kuat, maka ibunya akan semakin murka padanya, sehingga sampai saat ini Rayyan lebih memilih bungkam dan sangat membenci wanita itu.
"Jangan kau sebut wanita itu lagi di hadapanku Frans, di dunia ini hanya ada dua wanita yang aku benci, wanita laknat itu dan juga Inara!"
Mendengar Tuannya berkata seperti itu, Frans terperanjat tak percaya, pikirnya bukan kah hubungan Tuannya dan Inara selama ini baik-baik saja?
.
.
Rumah Sakit Permata Medika
Ruangan tunggu di depan Poli Anak terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Udara berbau antiseptik yang tajam menambah ketegangan di hati Inara. Ia duduk mematung di samping Bu Farida, sesekali mengelus lembut pipi Baby Daffa yang terlelap pulas dalam gendongannya.
Usia Daffa sudah tiga bulan, namun tubuh mungilnya terlihat begitu ringkih. Uang hasil jerih payahnya menjual desain kepada Tuan Rayyan kini semakin menipis. Harapan Inara hanya satu yakni putranya, Daffa, bisa segera dinyatakan sembuh total dari Down Syndrome dan kelainan jantung yang dideritanya.
Sejak tadi, dokter spesialis anak, Dr. Reza, telah melakukan pemeriksaan komprehensif, didampingi oleh seorang spesialis jantung anak. Bu Farida tak henti-hentinya menggenggam tangan Inara, berusaha menyalurkan kekuatan yang hampir hilang.
Tak lama kemudian, Dr. Reza keluar dari ruangan, raut wajahnya tampak serius. Inara dan Bu Farida segera bangkit dan menghampiri.
Inara berbicara dengan suara bergetar.
"Dokter, bagaimana kondisi anak saya? Baby Daffa baik-baik saja, kan? Dia sudah minum obatnya dengan teratur, Dok."
Dr. Reza menghela napas perlahan. "Ibu Inara, mari kita bicara sebentar di ruangan saya. Ada hal serius yang harus saya sampaikan."
Inara dan Bu Farida akhirnya mengikuti Dr. Reza ke ruang konsultasi. Suasana di sana hening mencekam.
"Jadi begini, Bu. Dari hasil pemeriksaan, terutama hasil ekokardiogram dan EKG Daffa, kami menemukan bahwa kelainan jantungnya Ventricular Septal Defect (VSD) dan Atrial Septal Defect (ASD)-nya tidak membaik, bahkan cenderung memburuk. Ada tekanan darah tinggi di paru-paru Daffa (Pulmonary Hypertension) yang sangat mengkhawatirkan."
Wajahnya Inara kini memucat.
"Memburuk? Apa maksudnya, Dok?"
"Jantung Daffa bekerja terlalu keras. Jika tidak segera dioperasi, dalam waktu dekat, ia bisa mengalami gagal jantung dan kelainan ini akan menyebabkan komplikasi serius pada organ vital lainnya, terutama paru-paru. Jika sudah terjadi kerusakan permanen pada paru-paru, operasinya akan menjadi sia-sia. Daffa harus segera mendapatkan tindakan operasi jantung terbuka secepatnya, Bu. Ini bukan lagi pilihan pengobatan jalan."
Inara terhuyung, air matanya langsung menetes deras. Bu Farida merangkulnya erat.
"Ya Tuhan... secepatnya? Dokter, apakah tidak ada cara lain? Dia masih sangat kecil..."
"Usia Daffa yang masih 3 bulan memang membuat operasi ini sangat berisiko, tapi menunggu lebih lama risikonya jauh lebih besar, bahkan menyangkut nyawa Daffa. Kami sarankan Daffa harus segera dirawat inap hari ini juga untuk observasi pra-operasi."
Inara menangis sesenggukan, ia memeluk erat tasnya.
"Operasi... berapa biaya operasinya, Dok? Dan juga perawatan selama di sini?"
"Tentu, Bu. Biaya operasi jantung, apalagi dengan tingkat kerumitan dan risiko tinggi pada bayi, serta perawatan intensif pasca-operasi di PICU Jantung... pihak administrasi kami memprediksi kisaran totalnya bisa mencapai hampir 500 juta rupiah. Ini sudah mencakup seluruh tim ahli, peralatan canggih, dan obat-obatan yang dibutuhkan."
Inara merasakan dunianya runtuh. Angka 500 juta rupiah terasa seperti jurang tak berdasar.
"Lima... lima ratus juta?" Ucapnya lirih, hampir tak terdengar
"Kami sarankan Ibu Inara bisa segera mengurus masalah administrasi dan mempersiapkan dana. Tim medis kami siap kapan saja."
Inara dan Bu Farida keluar dari ruangan Dr. Reza, Baby Daffa sudah diantar ke ruang perawatan untuk segera menjalani observasi. Di bangku tunggu, Inara menangis histeris. Ia meremas-remas tangan dan menghitung sisa uang di rekeningnya.
Inara mengusap air mata sambil membuka aplikasi bank di ponselnya. "Bu... uang kita... uang hasil desain itu... sisa tabunganku hanya tinggal seratus juta lagi. Hanya seratus juta..."
Bu Farida menenangkan Inara, mengelus punggungnya.
"Tenang, Nak... tenang. Jangan panik. Kita pasti cari jalan. Daffa butuh kamu kuat."
"Tapi, Bu! Empat ratus juta lagi! Harus kemana aku mencari uang sebanyak itu dalam waktu secepat ini? Aku harus bagaimana, Bu Farida? Bagaimana nasib Daffa?"
Bu Farida menatap wajah Inara yang diliputi keputusasaan, lalu ia teringat pada seseorang.
"Inara, dengarkan Ibu baik-baik. Ada satu cara. Kamu ingat Nyonya Martha, kan? Sahabat baik Ibu. Beliau adalah orang yang sangat dermawan, punya perusahaan dan juga sangat menyayangi Ibu. Kita harus meminta bantuan padanya, Nak."
Inara menatap Bu Farida dengan mata penuh harap "Nyonya Martha? Apa beliau mau membantu kita, Bu?"
"Kita harus coba. Ini adalah harapan terakhir kita. Ayo, sekarang juga Ibu akan coba menghubungi Nyonya Martha. Kita harus lakukan apa pun demi kesembuhan Daffa."
"Baik, Bu. Tolong... tolong hubungi Nyonya Martha. Hanya ini satu-satunya jalan kita. Semoga Tuhan membukakan pintu rezeki untuk anakku..."
" kamu tenang saja Inara, Ibu akan secepatnya menghubungi Nyonya Martha, semoga ia bisa menolong Daffa!"
Kemudian Bu Farida berucap dalam hati, sambil menatap iba Inara.
'Semoga saja Martha tulus mau menolong Inara tanpa embel-embel apapun, aku takut rencananya untuk menjodohkan Inara dengan putranya akan ia manfaatkan di saat momen terjepit seperti ini, aku sangat tahu sekali wataknya, tapi harapan Inara dan Daffa saat ini hanyalah Martha. '
Bersambung...