Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Kebakaran
"Lebih cepat, Gavin! Gas lagi! Itu langitnya sudah merah semua!"
Kiana berteriak sambil memukul dashboard mobil sport Gavin. Matanya tidak berkedip menatap cakrawala di arah utara Jakarta yang seharusnya gelap gulita, kini berpendar oranye mengerikan. Asap hitam pekat membumbung tinggi, menelan bintang-bintang, menciptakan siluet raksasa yang mencekam.
Gavin tidak menjawab. Rahangnya mengeras, tangannya mencengkeram setir kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia sudah memacu mobilnya di kecepatan 140 kilometer per jam, meliuk-liuk di antara truk-truk kontainer di jalan tol pelabuhan yang lengang.
"Aku sudah injak gas sampai mentok, Kiana. Tenang sedikit," suara Gavin rendah, berusaha tetap fokus agar mereka tidak mati konyol karena kecelakaan sebelum sampai di lokasi.
"Gimana bisa tenang?! Itu Gudang A! Gudang utama!" Kiana menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. Ponsel di pangkuannya terus bergetar, memuntahkan pesan-pesan panik dari grup WhatsApp operasional. "Di dalam sana ada barang elektronik impor klien baru senilai lima puluh miliar! Dan sialnya... sialnya asuransinya baru mau diperpanjang minggu depan karena admin bodoh itu lupa bayar premi!"
Gavin melirik sekilas. "Lima puluh miliar tanpa asuransi?"
"Iya! Kalau barang itu habis jadi abu, Elva Express bangkrut malam ini juga! Aku harus ganti rugi pakai apa? Ginjal?!" napas Kiana memburu, air mata kepanikan mulai menggenang di pelupuk matanya.
Mobil Gavin berbelok tajam di tikungan keluar tol Tanjung Priok, ban mobil berdecit nyaring beradu dengan aspal.
Bau hangus langsung menyergap masuk ke dalam kabin mobil meski kaca tertutup rapat. Bau karet terbakar, plastik meleleh, dan kayu yang hangus. Bau kehancuran.
Begitu mereka mendekati area pergudangan, pemandangannya seperti medan perang. Sirine pemadam kebakaran meraung-raung memekakkan telinga. Cahaya lampu rotari biru dan merah berputar-putar, memantul di dinding-dinding seng.
Tapi semua itu kalah dengan kobaran api raksasa yang melahap bangunan seluas dua ribu meter persegi di depan mereka. Lidah api menjilat ke langit, rakus dan liar. Hawa panas langsung terasa menyengat begitu Gavin menghentikan mobil di luar garis polisi.
"Tidak..." desis Kiana.
Tanpa menunggu Gavin mematikan mesin, Kiana melompat keluar dari mobil.
"Kiana! Tunggu!" teriak Gavin, buru-buru melepas sabuk pengaman dan mengejarnya.
Kiana berlari menerobos kerumunan karyawan gudang yang sedang menangis atau berlarian menyelamatkan barang-barang kecil. Wajah mereka cemong oleh jelaga.
"Minggir! Minggir!" teriak Kiana, mendorong tubuh-tubuh yang menghalangi jalannya.
Dia melihat Pak Ujang, mandor gudangnya, sedang duduk lemas di aspal sambil memegangi kepalanya, sementara beberapa staf lain berusaha menyiram api dengan selang air kecil yang sama sekali tidak berguna.
"Pak Ujang! Kenapa bisa begini?!" Kiana mencengkeram kerah baju mandornya itu, mengguncangnya kasar.
Pak Ujang mendongak, wajahnya basah oleh air mata dan keringat. "Bu Kiana... maafin saya, Bu... apinya tiba-tiba besar dari belakang... kami nggak sempat..."
"Server!" Kiana teringat sesuatu yang lebih vital daripada barang dagangan. "Ruang server di lantai dua! Data backup klien ada di sana! Kalau itu hilang, kita nggak punya bukti manifest!"
Pak Ujang menggeleng lemah. "Tangga sudah runtuh, Bu. Nggak bisa naik."
Mata Kiana membelalak menatap lantai dua gudang yang jendelanya sudah pecah dan memuntahkan api. Server itu adalah otak perusahaannya. Tanpa data itu, dia buta. Dia tidak tahu barang siapa saja yang terbakar, dia tidak bisa mengurus klaim (kalaupun ada), dan reputasinya akan hancur total.
"Aku harus ambil," gumam Kiana. Logikanya mati tertutup panik.
"Bu! Jangan! Bahaya!" teriak Pak Ujang saat Kiana melepaskan cengkeramannya dan berlari nekat menuju pintu samping gudang yang belum sepenuhnya roboh, meski api sudah menjalar di kusennya.
"Kiana! Berhenti!"
Gavin yang baru sampai melihat istrinya berlari menuju neraka itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak.
"Aku harus ambil harddisk-nya!" teriak Kiana tanpa menoleh, terus berlari. Hawa panas di depannya sudah membakar kulit, tapi dia tidak peduli. Dia hanya memikirkan warisan kakeknya yang akan musnah.
Kiana sudah sampai di bibir pintu. Dia hendak menerobos masuk ke dalam asap tebal.
GREP!
Sebuah lengan kekar melingkar di pinggangnya, menyentak tubuhnya ke belakang dengan kekuatan penuh. Kiana terlempar mundur, menabrak dada bidang seseorang yang keras.
"Lepas! Lepasin aku, Gavin!" Kiana meronta-ronta, memukul lengan Gavin, menendang kakinya. "Serverku di dalam! Aku harus selamatkan perusahaan!"
Gavin tidak melepaskannya. Dia justru menyeret Kiana mundur, menjauh dari jilatan api yang tiba-tiba menyembur keluar dari pintu tempat Kiana tadi berdiri. Kalau Gavin telat sedetik saja, wajah Kiana sudah terbakar.
"Kamu gila?!" bentak Gavin tepat di telinga Kiana, suaranya mengalahkan deru api. "Lihat itu! Atapnya mau rubuh!"
BRAK!
Benar saja, balok baja di atas pintu jatuh berdentum, menghalangi jalan masuk sepenuhnya.
Kiana berhenti meronta. Dia menatap reruntuhan itu dengan mata kosong.
"Habis..." bisiknya, suaranya pecah. "Semuanya habis..."
Gavin memutar tubuh Kiana agar menghadapnya. Dia mencengkeram kedua bahu wanita itu, mengguncangnya agar sadar.
"Dengar saya, Kiana! Harta bisa dicari lagi! Barang bisa diganti! Tapi kalau kamu mati konyol di dalam sana, siapa yang bakal urus Alea? Siapa yang bakal lawan Rio?!"
Kiana mendongak, menatap wajah Gavin yang tegang dan penuh kekhawatiran. Wajah pria itu merah karena pantulan api dan emosi.
"Tapi itu lima puluh miliar, Gavin..." air mata Kiana akhirnya tumpah. Pertahanan dirinya sebagai boss lady yang tangguh runtuh seketika di depan kobaran api yang menghanguskan jerih payahnya. "Aku gagal... Kakek bakal kecewa..."
"Persetan dengan lima puluh miliar!" teriak Gavin marah. "Nyawamu lebih mahal dari barang rongsokan itu, Kiana! Sadar!"
Kiana tidak sanggup lagi berdiri. Kakinya lemas. Dia merosot jatuh.
Gavin dengan sigap menahan tubuhnya, lalu memeluk Kiana erat-erat. Dia membenamkan wajah Kiana di dadanya, melindunginya dari pemandangan kehancuran itu dan dari debu panas yang beterbangan.
Di tengah hiruk pikuk suara sirine dan teriakan orang, Kiana menangis tersedu-sedu di pelukan Gavin. Dia meremas kemeja Gavin, menumpahkan segala ketakutan dan rasa frustrasinya. Untuk pertama kalinya, dia merasa sangat kecil dan tidak berdaya.
Gavin mengusap punggung Kiana kasar, mencoba menenangkannya. "Sudah. Jangan dilihat. Ada saya. Kita urus ini."
Gavin mengangkat kepalanya, menatap situasi di sekelilingnya. Tiga mobil pemadam kebakaran yang ada kewalahan. Tekanan air mereka kurang kuat untuk menjangkau titik api di tengah gudang yang luas.
Mode pemimpin Gavin mengambil alih. Dia tidak bisa membiarkan Kiana hancur begini. Dia harus bertindak.
Gavin merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya. Dia menekan panggilan cepat ke Direktur Operasional Ardiman Logistics.
"Halo, Rudi! Bangun kamu!" bentak Gavin ke telepon. "Kerahkan semua unit Water Cannon milik kita yang ada di pool Tanjung Priok sekarang juga! Bawa ke gudang Elva Express di Blok C4. Saya kasih waktu sepuluh menit! Kalau telat, besok kamu saya pecat!"
Gavin mematikan telepon, lalu beralih menatap Pak Ujang yang masih bengong.
"Pak Ujang! Jangan cuma nangis!" perintah Gavin tegas, suaranya menggelegar penuh wibawa. "Kumpulkan semua karyawan di area parkir depan. Absen satu per satu. Pastikan tidak ada yang tertinggal di dalam. Cepat!"
"S-siap, Pak Gavin!" Pak Ujang langsung berlari, merasa mendapat komando yang jelas.
Gavin menunduk, menatap Kiana yang masih sesenggukan di dadanya.
"Kiana, tatap saya," kata Gavin, mengangkat dagu Kiana.
Kiana menatapnya dengan mata bengkak dan merah. Wajah cantiknya coreng-moreng oleh debu hitam.
"Hapus air matamu. Kamu CEO. Anak buahmu butuh melihat kamu kuat, bukan hancur," ucap Gavin tegas namun ada nada lembut di sana. Dia menyeka pipi Kiana dengan ibu jarinya. "Biar saya yang urus apinya. Kamu urus manusianya."
Kiana tertegun. Kata-kata Gavin seperti tamparan yang menyadarkan. Benar. Dia tidak boleh lemah.
Kiana menarik napas panjang, mengangguk pelan. "Oke."
"Bagus. Sekarang berdiri."
Lima belas menit kemudian, bantuan datang. Empat truk tangki air raksasa milik Ardiman Logistics—yang biasanya dipakai untuk membersihkan armada kapal kargo—masuk ke area gudang. Tekanan air high pressure dari truk-truk itu jauh lebih kuat.
Pasukan Gavin bergabung dengan pemadam kebakaran. Situasi yang tadinya kacau balau mulai terkendali. Titik api di tengah gudang berhasil diisolasi agar tidak merembet ke gudang B dan C di sebelahnya.
Kiana berdiri di samping mobil Gavin, menatap proses pemadaman itu dengan tatapan kosong namun tidak lagi histeris. Gavin berdiri di sebelahnya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun, seolah menyalurkan kekuatan.
Dua jam berlalu.
Langit timur mulai menampakkan semburat fajar. Api besar sudah padam, menyisakan kerangka baja yang bengkok, tumpukan arang yang masih mengepulkan asap putih, dan bau hangus yang menyengat.
Gudang A ludes. Rata dengan tanah.
Kiana berjalan gontai mendekati garis polisi. Sepatu mahalnya menginjak genangan air hitam bercampur abu.
Pak Ujang berjalan mendekat dari arah reruntuhan. Dia ditemani seorang petugas pemadam kebakaran. Wajah Pak Ujang terlihat ketakutan, tangannya gemetar memegang sesuatu yang dibungkus sapu tangan kotor.
"Bu Kiana... Pak Gavin..." panggil Pak Ujang lirih.
"Ada korban jiwa?" tanya Gavin langsung.
"Alhamdulillah nihil, Pak. Semua selamat," jawab Pak Ujang.
Kiana menghela napas lega. Setidaknya dia tidak perlu masuk penjara karena kelalaian yang menyebabkan kematian. "Terus kenapa Bapak muka pucat begitu? Apa lagi?"
"Ini, Bu..." Pak Ujang membuka lipatan sapu tangan itu dengan hati-hati. "Petugas damkar menemukannya di dekat tumpukan kardus di pojok belakang. Di titik awal api berasal. Katanya, ini aneh karena area itu harusnya area bebas rokok dan bahan mudah terbakar."
Kiana mencondongkan tubuh. Di atas kain kotor itu, tergeletak sebuah benda logam kecil yang permukaannya sudah agak menghitam karena panas, tapi masih utuh.
Sebuah pemantik api Zippo.
Bukan pemantik gas warung yang murah. Ini pemantik kolektor. Terbuat dari emas murni—atau setidaknya lapis emas tebal—dengan ukiran yang sangat detail dan khas.
Jantung Kiana berhenti berdetak sesaat. Dia mengenali benda ini. Sangat mengenalinya.
Tangan Kiana refleks terulur, hendak menyambar pemantik itu.
"Jangan sentuh!"
Gavin menangkap pergelangan tangan Kiana dengan cepat sebelum jari istrinya menyentuh logam itu.
"Gavin! Itu—"
"Jangan pegang langsung permukaannya, Kiana," potong Gavin tajam, matanya menatap lekat pada benda itu. "Kalau ini pembakaran sengaja, sidik jari pelakunya masih menempel di sana. Minyak dari tanganmu akan merusak bukti DNA."
Kiana tersentak. Logikanya kembali bekerja. "Kamu benar."
Kiana menatap Pak Ujang. "Pak, tolong balikkan bendanya pakai ujung kain. Jangan disentuh kulit. Saya mau lihat bagian bawahnya."
Dengan tangan gemetar, Pak Ujang melapisi kain itu untuk membalik posisi si pemantik tanpa menyentuhnya. Bagian bawah pemantik itu kini terlihat. Meski tertutup sedikit jelaga, ukirannya masih jelas.
Di sana, terukir satu huruf inisial dengan gaya huruf gothic yang elegan.
R.
Dada Kiana bergemuruh hebat. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Dulu, tiga tahun yang lalu, saat mereka masih menikah dan bahagia, Kiana pernah membelikan pemantik ini sebagai hadiah ulang tahun untuk suaminya di Paris. Dia memesannya khusus.
"Radit..." desis Kiana, suaranya penuh racun dan kebencian.
Gavin yang berdiri di sampingnya ikut melihat inisial itu. Matanya menyipit tajam. "Kamu kenal pemiliknya?"
Kiana mengepalkan tangannya sendiri hingga kuku menancap di telapak tangan. Rasa sakit itu menahannya untuk tidak meledak histeris.
"Sangat kenal," jawab Kiana dingin. Dia menoleh ke arah Gavin, matanya yang tadi menangis kini kering dan tajam seperti pisau bedah. "Ini bukan kecelakaan, Gavin. Dan ini bukan korsleting listrik."
Kiana menunjuk benda di tangan Pak Ujang dengan dagunya.
"Ini pesan perang. Mantan suamiku, Radit, yang membakar gudang ini."
Gavin menatap Kiana, lalu menatap inisial 'R' itu. Rahangnya mengeras. Dia mengambil sapu tangan dari tangan Pak Ujang, membungkus rapi pemantik itu tanpa menyentuh isinya, lalu memasukkannya ke dalam saku jas bagian dalam.
"Kalau begitu, dia salah pilih lawan," ucap Gavin datar, tapi nadanya mematikan. "Dia baru saja membakar aset milik istri Gavin Ardiman. Kita pulang, Kiana. Biar tim forensik dan pengacaraku yang mengurus benda ini. Saya pastikan dia membusuk di penjara."
Kiana mengangguk lemah namun sorot matanya membara. Energinya habis, tapi dendamnya baru saja dimulai.
Mereka berjalan kembali ke mobil, meninggalkan puing-puing yang masih berasap. Matahari sudah kelihatan, menyinari wajah-wajah lelah mereka. Tapi di balik kelelahan itu, ada kemarahan yang baru saja disulut.
Dan kali ini, Kiana tidak sendirian.
vote untuk mu