Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang Kelam
Sinar matahari pagi menembus celah tirai kamar utama, menerpa wajah Rangga yang tertidur dengan gelisah di tepi tempat tidur king size. Ia hanya tidur tiga jam, terlalu banyak pikiran yang menghantuinya sepanjang malam. Indira. Kunci. Keputusan bodohnya.
Jam alarm berbunyi keras, pukul enam pagi. Waktu untuk bangun dan bersiap ke kantor. Rangga mematikan alarm dengan gerakan kasar, duduk di tepi tempat tidur dengan kepala terasa berat.
Di sampingnya, Ayunda masih tertidur nyenyak dengan selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya rambut panjang yang terlihat berantakan di atas bantal. Dengkuran halus terdengar dari bibir yang sedikit terbuka, pemandangan yang dulu Rangga anggap lucu, tapi sekarang hanya membuatnya kesal.
Rangga berdiri, berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka. Air dingin menyegarkan wajahnya yang kusut, tapi tidak bisa menghilangkan rasa bersalah dan cemas yang menggerogoti dadanya.
Setelah keluar dari kamar mandi, ia menghampiri Ayunda yang masih tidur. Rangga mengguncang bahunya pelan.
"Ayunda," panggilnya dengan suara serak. "Ayunda, bangun."
"Mmm..." Ayunda hanya bergumam, menarik selimut lebih tinggi.
"Ayunda!" Rangga mengguncang lebih keras. "Bangun. Aku harus ke kantor. Aku butuh kamu siapkan pakaian kerjaku dan buat sarapan."
Ayunda membuka mata perlahan, mata yang masih sangat mengantuk, masih setengah tidur. "Ha? Apa?"
"Pakaian kerja dan sarapan," ulang Rangga dengan tidak sabar. "Aku harus ke kantor. Siapkan untukku."
Ayunda menatap suaminya dengan tatapan bingung yang perlahan berubah menjadi tidak percaya. "Kamu serius?"
"Tentu saja aku serius..."
"Rangga," Ayunda duduk tegak, rambut berantakan tapi wajahnya sudah menunjukkan ekspresi kesal yang jelas. "Aku ini istrimu. Bukan pembantumu."
"Aku tahu kamu istriku," Rangga mulai frustrasi. "Makanya aku minta kamu lakukan tugas istri..."
"Tugas istri?" Ayunda memotong dengan tawa sarkastik. "Rangga, ini abad dua puluh satu. Bukan zaman nenek moyang kita. Istri bukan pembantu yang harus melayani suami dari pagi sampai malam."
"Tapi Indira selalu..."
"INDIRA BUKAN AKU!" Ayunda berteriak, emosinya meledak. "Aku bukan Indira yang rela jadi budak di rumahnya sendiri! Aku punya harga diri!"
Rangga tersentak dengan kata-kata itu. "Aku tidak bilang Indira budak..."
"Tapi kamu treat dia seperti itu, kan?" Ayunda menatapnya dengan tajam. "Dia yang masak, bersih-bersih, cuci baju, siapkan semua kebutuhanmu. Dan kamu anggap itu wajar. Tapi aku tidak akan lakukan itu, Rangga. Aku tidak akan jadi Indira kedua."
Rangga menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan amarahnya yang mulai naik. "Kalau begitu apa yang akan kamu lakukan? Kamu cuma tidur sepanjang hari?"
"Aku akan melakukan apa yang istri modern lakukan," jawab Ayunda sambil berbaring lagi. "Aku akan cari pembantu. Suruh mereka yang kerja. Kamu kan CEO, pasti mampu bayar pembantu."
"Tapi sambil menunggu dapat pembantu, siapa yang akan masak? Siapa yang akan..."
"Kamu," jawab Ayunda simpel. "Atau pesan delivery. Atau makan di luar. Banyak pilihan, Rangga. Jangan dramatis."
Rangga menatap istrinya dengan campuran tidak percaya dan kemarahan yang semakin membesar. "Ayunda, dengarlah..."
"Tidak, kamu yang dengar," Ayunda menatapnya dengan tegas. "Tugasku sebagai istrimu adalah melayanimu di ranjang. Dan itu sudah aku lakukan dengan baik. Untuk urusan rumah tangga? Itu tugas pembantu. Jadi sebaiknya kamu cepat-cepat cari pembantu kalau kamu tidak mau hidup berantakan."
Kata-kata itu seperti tamparan di wajah Rangga. "Melayani di ranjang? Itu saja?"
"Itu saja," Ayunda menarik selimut, bersiap tidur lagi. "Sekarang biarkan aku tidur. Aku masih ngantuk."
Rangga berdiri mematung di samping tempat tidur, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Istrinya... istri yang ia nikahi dengan harapan akan membuat hidupnya lebih baik, ternyata hanya menganggap pernikahan sebagai... apa? Transaksi? Di mana ia hanya perlu "melayani di ranjang" dan sisanya bukan tanggung jawabnya?
Kemarahan yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya meledak. "KAMU PIKIR PERNIKAHAN ITU APA? KAMU PIKIR..."
"Rangga," Ayunda memotong dengan nada bosan, "tolong jangan teriak pagi-pagi. Kepalaku sakit. Dan aku mau tidur. Kalau kamu mau marah-marah, keluar dari kamar."
Rangga menatap istrinya, wanita yang berbaring dengan santai, tidak peduli dengan amarahnya... dan tiba-tiba ia teringat Indira.
Indira yang selalu bangun lebih pagi darinya. Indira yang selalu menyiapkan pakaian kerjanya dengan rapi... sudah disetrika, sudah dipilihkan yang matching. Indira yang selalu menyiapkan sarapan... nasi goreng, atau roti panggang, atau bubur, selalu bervariasi, selalu hangat. Indira yang selalu bertanya "sudah siap sayang?" dengan senyum yang tulus.
Indira yang ia sia-siakan. Indira yang ia khianati. Indira yang sekarang terkunci di kamar tamu karena keputusan bodohnya semalam.
Rangga berbalik, keluar dari kamar dengan membanting pintu, tidak peduli kalau itu akan membangunkan Ayunda lagi. Ia turun ke dapur dengan langkah berat, frustrasi yang menggerogoti setiap sel tubuhnya.
Dapur terasa asing tanpa Indira. Tidak ada aroma kopi yang baru diseduh. Tidak ada suara pisau yang memotong bahan. Tidak ada kehangatan yang biasa mengisi ruangan ini.
Dengan gerakan yang tidak terbiasa, Rangga membuka kulkas. Mengambil roti tawar. Mengoleskan selai kacang dengan kasar. Membuat kopi instan dengan air panas. Sarapan yang menyedihkan untuk seorang CEO.
Tapi kemudian ia berpikir.. Indira. Indira pasti belum sarapan. Ia terkunci sejak semalam. Pasti lapar.
Dengan sedikit penyesalan yang mulai muncul, Rangga membuat dua porsi roti dan kopi. Meletakkannya di atas nampan, tidak se-rapi yang biasa Indira lakukan, tapi setidaknya ia mencoba.
Ia akan ke kamar tamu. Akan membukakan pintu. Akan sarapan bersama Indira. Akan minta maaf dengan cara yang lebih baik. Akan mencoba memperbaiki hubungan mereka...walau dalam hatinya ia tahu mungkin sudah terlambat.
Rangga naik tangga dengan nampan di tangan, berjalan menuju kamar tamu di ujung koridor. Ia merogoh saku celana, mencari kunci yang tadi malam ia gunakan untuk mengunci Indira.
Kunci itu ada di sana. Rangga mengeluarkannya dengan tangan yang sedikit gemetar.
"Dira," panggilnya sambil mengetuk pintu dengan siku karena tangannya penuh. "Dira, aku bawakan sarapan. Aku... mau kita sarapan bersama. Dan aku mau bicara. Minta maaf dengan benar."
Tidak ada jawaban dari dalam.
"Dira?" Rangga mengetuk lagi. "Aku tahu kamu marah. Aku tahu aku salah. Tapi kumohon, beri aku kesempatan untuk jelaskan. Untuk minta maaf."
Masih tidak ada jawaban.
Sesuatu dalam dada Rangga mulai tidak nyaman. Dengan tangan yang semakin gemetar, ia memasukkan kunci ke lubang kunci, memutarnya...
Pintu terbuka.
Rangga masuk dengan nampan di tangan, mata menyapu ruangan...
dan jantungnya berhenti.
Kamar itu kosong.
Tidak ada Indira di tempat tidur yang rapi... terlalu rapi, seperti tidak dipakai. Tidak ada Indira di kamar mandi. Tidak ada Indira di mana pun.
Jendela terbuka lebar, tirai berkibar tertiup angin pagi.
"Dira?" Rangga meletakkan nampan di meja dengan kasar, berlari ke jendela. Ia melirik ke bawah, kanopi yang sedikit penyok, pohon mangga dengan cabang yang masih bergoyang sedikit.
Dan ia mengerti. Indira kabur. Indira turun lewat jendela dan kabur.
"TIDAK!" Rangga berteriak, tangannya mencengkeram bingkai jendela dengan erat. "DIRA!"
Ia berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan tergesa... hampir terjatuh di anak tangga terakhir. Ia berlari ke garasi, mobil Indira masih ada. Berarti ia tidak pergi dengan mobil sendiri. Berarti ada yang menjemput. Rani? Pasti Rani.
Rangga meraih ponselnya, menelepon nomor Indira dengan tangan gemetar.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi..."
Diblokir. Indira memblokir nomornya.
"SIAL!" Rangga membanting ponselnya ke sofa, untung tidak pecah.
Ia harus mencari Indira. Harus minta maaf. Harus membawa dia pulang. Ia tidak bisa membiarkan istrinya pergi seperti ini. Ia tidak bisa...
Ponselnya bergetar. Panggilan masuk. Dari Papa...
Dengan tangan gemetar, Rangga mengangkat. "Papa?"
"RANGGA!" suara Bambang terdengar panik, sangat panik. "Kamu harus ke kantor sekarang! SEKARANG!"
"Papa, ada apa..."
"Pradipta Medika dalam bahaya besar!" Bambang hampir berteriak. "Dua investor besar kita tiba-tiba menarik dana mereka! Tanpa alasan yang jelas! Dan bank mulai menagih hutang yang jatuh tempo bulan ini! Kita... bisa bangkrut dalam hitungan minggu kalau tidak dapat investor pengganti!"
Darah di wajah Rangga menghilang. "Apa? Tapi bagaimana... investor mana yang..."
"PAPA TIDAK TAHU!" Bambang terdengar hampir menangis. "Yang jelas kita dalam krisis besar! Kamu harus ke kantor sekarang! Kita harus meeting darurat dengan seluruh dewan direksi! Kita harus cari solusi sebelum terlambat!"
"Aku... akan ke sana sekarang," Rangga menjawab dengan suara serak.
"CEPAT!" Bambang menutup telepon dengan kasar.
Rangga berdiri mematung di tengah ruang tamu...ponsel masih di tangan, pikiran kacau balau. Indira kabur. Perusahaan dalam bahaya. Investor menarik dana. Bangkrut.
Semuanya runtuh. Semuanya hancur. Dalam satu malam.
Ia melirik ke tangga... ingin naik, ingin minta Ayunda untuk ikut, untuk dukung dia. Tapi ia ingat kata-kata istrinya tadi... "tugasku hanya melayani di ranjang."
Tidak ada gunanya.
Dengan langkah gontai, Rangga mengambil kunci mobil, tas kerja yang tergeletak di sofa, dan keluar dari rumah... rumah yang tiba-tiba terasa sangat kosong, sangat dingin.
Ia masuk mobil, menyalakan mesin, menjalankan mobilnya keluar dari halaman.
Di kaca spion, ia melihat rumahnya... rumah yang dulunya penuh kehangatan karena Indira, sekarang hanya bangunan kosong yang dihuni oleh wanita yang tidak peduli padanya dan istri yang kabur karena pengkhianatannya.
Dan entah kenapa, Rangga merasakan air mata mengalir di pipinya.
Bukan karena perusahaan yang hampir bangkrut.
Tapi karena ia baru menyadari... Terlambat... apa yang sebenarnya ia kehilangan.
Ia kehilangan Indira.
Wanita yang mencintainya dengan tulus.
Wanita yang melayaninya dengan sepenuh hati.
Wanita yang sekarang pergi.
Dan tidak akan pernah kembali.