Squel Cinta Setelah Pernikahan
21+
“Gimana mau move on kalau sering berhadapan dengan dia?”
Cinta lama terpendam bertahun-tahun, tak pernah Dira bayangkan akan bertemu lagi dengan Rafkha. Laki-laki yang membuatnya tergila-gila kini menjadi boss di perusahaan tempat ia bekerja.
“Tolong aku Ra, nikah sama aku bisa?” ucap lelaki itu. Dira bingung, ini lamaran kah? Tak ada kata romantis, tak ada cincin, tiba-tiba lelaki itu memintanya menikah dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamanya
Mama ‘kan pingin tau type wanita idaman kamu itu kayak gimana.
Tak pernah terpikir oleh Rafkha tentang bagaimana wanita idamannya. Manurutnya, menentukan kriteria itu tidak terlalu penting. Asal cantik, enak di pandang, berperilaku baik, dan... satu lagi penurut. Itu sudah cukup baginya, dan yang terpenting adalah nyaman saat bersamanya.
Ia ingat sekitar tujuh tahun silam, ada gadis yang berhasil membuat pandangannya tak terlepas dari gadis itu. Hanya menatapnya dari kejauhan saja, langsung membuatnya penasaran. Hatinya tergerak untuk mencari tahu lebih jauh tentang gadis itu.
Wajahnya yang manis, polos dan tingkahnya yang lugu, berhasil menarik hatinya. Tapi Rafkha adalah tipe yang tak mau tergesa-gesa. Ada baiknya semuanya bertahap, perkenalan, pendekatan, hingga menjalin hubungan. Baginya, semua harus melalui proses yang alami tanpa dipaksakan.
Rafkha tak mengerti, apakah gadis seperti itu kah yang masuk dalam kriteria idaman yang di maksud sang mama?
Tapi, nasib baik tak berpihak kepadanya. Kala itu, teman dekatnya Vian, juga menaruh hati pada gadis yang sama. Berbeda dengan dirinya yang ingin semuanya dijalani secara perlahan, Vian justru lebih cepat bertindak. Tepat didepannya, dihadapannya Vian mengatakan bahwa ia menyukai Dira. Bersaing dengan teman sendiri? Rafkha tak ingin hanya karena seorang gadis, merusak pertemanan mereka yang sudah terjalin menahun.
Tapi, kali ini takdir baik seolah berpihak padanya. Di pertemukan lagi dengan Dira, merupakan suatu anugerah. Anugerah itu datang kembali setelah ia lewatkan. Dan kini, gadis manis yang tak lagi polos itu sedang duduk dihadapannya. Menunggunya membuka suara, lebih tepatnya menunggu bantuan seperti apa yang ingin ia pintakan ke gadis itu.
“Bang, kenapa ngeliatin aku terus? jadi bicara nggak nih?” Sudah hampir sepuluh menit mereka duduk berhadapan. Dira tak kuasa di tatap terus-terusan. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Orang-orang yang sedang menikmati makanan di restoran itu. Atau, melihat pelayan yang mondar-mandir mengantarkan makanan.
Lelaki dihadapannya tengah kebingungan, harus memulai dari mana. Karena ini penting, tentang kelanjutan hidupnya, dan juga Dira. Tentang jenjang akhir dalam sebuah hubungan. Tentang janji seumur hidup dihadapan sang pencipta.
“Ehem, gini Ra,” Rafkha mengeluarkan ponselnya, membuka memo yang pernah ia buat di malam minggu lalu, dalam mobilnya, bersama Dira.
Dira mencoba menatap Rafkha, meski tak kuasa. Tapi harus, karena tidak sopan jika membiarkan orang berbicara tanpa dilihat.
“Bantu aku,” lanjutnya.
Dira masih menatap lelaki itu, berbicara tanpa tuntas. Kalimatnya terpenggal-penggal. Rafkha tengah mengatur napasnya untuk kalimat lanjutan yang akan ia ucapkan.
“Jadi istri aku, Ra. Bisa?” Nadanya tegas, tak pantas untuk gaya berbicara melamar seorang gadis.
Rafkha lega, berhasil menyampaikannya. Bantuan yang ia maksud to the point ia sampaikan tanpa babibu atau bertele-tele. Langsung pada intinya saja.
“Bi-bisa di ulangi, Bang? aku takutnya pendengaranku salah,” Mana mungkin Dira percaya dengan yang ia dengar barusan, ia yakin pasti salah.
“Nggak perlu aku ulang, aku yakin kamu dengar. Aku tau ini terlalu cepat, atau terlalu tiba-tiba. Tapi, aku butuh bantuan kamu.”
Sama gugupnya dengan Dira, Rafkha berusaha tenang dan tetap cool walau jantungnya sedang berdegup tak karuan saat meminta bantuan yang sedikit gila itu.
Dira masih menunduk, bingung harus menjawab apa. Tapi, ada yang terlintas dipikirannya. “Karena kamu nggak mau di jodohin, kamu minta aku pura-pura jadi calon istri kamu?” Dada Dira terasa sesak, saat menyampaikan itu. Ia yakin bahwa Rafkha berniat memperalatnya saja.
“Maksud kamu pura-pura gimana? jadi istri aku Ra, nikah sama aku. Kita beneran nikah, bukan cuma pura-pura.” Rafkha menjelaskan, sulit memang tapi harus.
Dira mengambil napas dalam sejenak, ini mimpi? atau nyata? atau Rafkha sedang mengerjainya seperti yang sedang trend saat ini, istilahnya prank. Tentu ia berharap tidak.
“Kita bakal jadi suami-istri beneran, gitu?”
Dira mengulang-ulang, meski penyampaiannya beda, tapi inti dari pertanyaannya sama.
“Nantinya, kita bakal jadi suami-istri yang sah di hadapan hukum dan agama,” Rasanya Rafkha sudah cukup menjelaskan.
“Aku nggak bisa, Bang.” Dira menjawab cepat, tanpa ada jeda.
Dira tak mau senang dulu, bisa saja yang di maksud Rafkha ini nikah kontrak, sementara dan sebagainya.
Rafkha mengusap kasar wajahnya. “Ra, ingat! Janji kamu?” Rafkha mendesah kecewa, disaat banyak wanita lain yang menginginkannya, saat ini, ia justru di tolak? kemudian meraih ponselnya. “Ini, aku udah catat waktunya, waktu kamu janji ke aku, kalau kamu pernah berucap bakalan bersedia bantuin aku.” Memperlihatkan layar ponselnya ke hadapan Dira.
“Tapi, aku nggak tau kalau bantuan kayak gini yang kamu maksud,” Dira memegang keningnya, ingin menangis. Entah apa sebabnya, harusnya ia senang kan? barusan Rafkha secara tidak langsung melamarnya.
“Aku bilang waktu itu, asalkan wajar—“ kalimat Dira langsung di sangkal oleh Rafkha.
“Ini wajar, apa yang salah? Aku cuma minta kamu jadi istri aku, dimana salahnya?” Rafkha tak terima, rasanya ia ingin merutuki dirinya sendiri, kenapa tidak bisa bersikap lebih romantis sedikit saja, perempuan kan suka kelembutan, bukan paksaan, apalagi bentakan.
“Maaf...maaf, aku ulang. Dira, bersediakah kamu nikah sama aku?”
Nadanya lebih lembut, sorot matanya memancarkan ketulusan. Tapi sayang Dira tak melihat itu. Karena wanita itu kini tengah menunduk, menahan tangis. Tangis bahagia pastinya.
“Berapa lama?” lagi, Dira menguji keseriusan lelaki itu. Baginya, pernikahan bukanlah perihal mudah, jadi keseriusannya harus di uji. Pernah Dira mendengar istilah nikah kontrkak, nikah dengan perjanjian, atau semacamnya. Tentu ia tak mau mendapat peran utama dalam nikah kontrak seperti yang pernah ia tahu.
“Berapa lama? Maksud kamu?” Rafkha berkerut kening, benar-benar tak mengerti pertanyaan Dira.
“Kita jadi suami istri sampe berapa lama jangka waktunya?” memperjelas pertanyaannya beberapa detik yang lalu.
“Selamanya Ra, ya ampun, aku mau selamanya. Aku nggak main-main, pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, Ra. Kamu tau ‘kan?”
Mendengar kata selamanya, rasa haru yang menyelimuti benak Dira tak bisa tertahan lagi hingga ia meneteskan air matanya. Rafkha bingung, Dira menangis. Salah apa yang telah ia lakukan?
“Ra, kenapa? maaf kalau ada kata-kata aku yang nyakitin kamu,” Rafkha melirik ke sekeliling mereka. Jika tak ada orang lain, ingin sekali ia membawa gadis itu dalam pelukannya. Tidak... tidak, niat itu kembali ia urungkan, tidak boleh. Belum halal.
Memjiat pelan pelipisnya, bingung. “Dira?” panggilnya sekali lagi. Gadis itu masih bersembunyi, menyembunyikan wajah dengan rambut yang di pindahkan ke depan.
Tak bisa berbuat apapun, akhirnya Rafkha hanya bisa menyodorkan tisu ke hadapan Dira. “Malu di liat orang, Ra. Nanti orang mikirnya, aku jahatin kamu. Putusin kamu, padahal kita baru mulai.”
“Aku nggak apa-apa, cuma syok aja.” Sudah ia usap air matanya, memberanikan diri menatap Rafkha.
“Jadi, aku diterima atau enggak?” penuh harap, Rafkha bertanya sekali lagi.
Dira mengangguk pelan, tersipu, tersenyum malu-malu. “Tapi cincinnya mana?” Sempat-sempatnya ia bertanya soal itu, ya menurutnya seseoang melamar itu kan perlu cincin sebagai bukti keseriusan. Dira menggerakkan jari manisnya bagian kanan.
Rafkha terkekeh melihatnya. Benar, ia bodoh sekali. Melamar seseorang kan perlu cincin. Tapi Rafkha sama sekali tak memikirkan soal itu, “Itu gampang Ra.”
Dira tersenyum lebar, begitu juga dengan Rafkha. Untuk beberapa detik, mereka saling bertatapan. Saling melempar senyum malu-malu, ada perasaan aneh, dan juga lucu. Sampai ke titik ini, masih banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin Dira utarakan kepada Rafkha.
Yang mungkin saja, setelah mendengar pernyataan itu, Rafkha bisa saja mengurungkan niatnya.
🌸🌸🌸
Gimana? gimana?
oh iya Follow ig aku dong @rizki.taaaa
Binatang saja ga segitu kejamnya kok Sama anak sendiri...
Ga Ada roman2 nya Blas..