Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 — Jerat Kontrak yang Melukai
Waktu yang Mei Lan miliki kini telah habis. Kain sutra itu, yang ia tenun dengan air mata, cinta, dan ketakutan, kini telah selesai. Kain itu, yang ia namakan Kain Harapan, adalah mahakarya. Itu adalah sutra yang begitu halus sehingga terasa seperti kabut, namun motif naga tersembunyi yang ia tambahkan tampak begitu nyata dan mengancam, seolah siap terbang dari kain itu.
Mei Lan dan Jian membawa kain itu ke ruang pribadi Nyonya Liu, sebuah kamar yang dipenuhi dengan dupa mahal dan perabotan kayu berukir. Suasana di ruangan itu tegang dan dingin, jauh berbeda dari kehangatan yang mereka temukan di antara mereka sendiri.
Nyonya Liu duduk di kursinya yang berlapis beludru merah, mengisap pipa panjangnya. Tuan Yu, Mata-mata Istana, masih bersembunyi di suatu tempat di Kota Bayangan, dan Nyonya Liu tahu betul bahwa keberadaan Jian meningkatkan risiko bagi seluruh jaringannya.
Mei Lan perlahan membuka gulungan kain di atas meja mahoni yang mengkilap.
Saat Nyonya Liu melihat Kain Harapan, pipa di tangannya berhenti. Ekspresi sinisnya, yang biasanya tak tergoyahkan, sedikit retak. Matanya membesar karena takjub.
“Ini…” Nyonya Liu berbisik, mengulurkan tangannya yang dihiasi cincin giok untuk menyentuh sutra itu. “Ini bukan hanya kain. Ini… sihir. Cahaya dan bayangannya bergerak. Ini adalah kain terbaik yang pernah kulihat dalam dua puluh tahun.”
Mei Lan merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Ia berhasil.
“Ini untukmu, Nyonya Liu,” kata Mei Lan, membungkuk. “Sesuai perjanjian. Rho Jian dan saya kini bebas untuk pergi.”
Nyonya Liu menarik tangannya, senyumnya kembali, tetapi kini jauh lebih berbahaya.
“Tentu saja, Gadis Penenun. Kontrak adalah kontrak,” katanya, nadanya terdengar manis, tetapi matanya menatap Jian, yang berdiri diam dan waspada di belakang Mei Lan.
“Namun,” lanjut Nyonya Liu, mengambil seteguk anggur beras. “Kita harus realistis. Nilai kontrak ini telah berubah secara drastis.”
Jian maju selangkah. “Kontrak telah dipenuhi, Nyonya Liu.”
“Memang,” balas Nyonya Liu, mengangguk. “Tapi mari kita bicara tentang harga pasar. Tiga minggu lalu, aku mempekerjakan seorang penenun yang naif dan seorang prajurit buronan kelas rendah. Hari ini, aku mendapati diriku memegang mahakarya yang tak ternilai dan melindungi seorang Bayangan Singa—Jenderal Rho Jian—yang diburu oleh pembunuh terbaik Istana, Tuan Yu.”
Mei Lan merasakan kengerian merayap di punggungnya. Nyonya Liu tahu.
“Jian adalah aset, Jenderal,” kata Nyonya Liu, menatap Jian dengan penghinaan. “Dan kau telah menjadi magnet bagi bencana. Keberadaanmu di sini membuat seluruh jaringanku terancam. Tuan Yu ada di luar sana, dan dia tahu aku menyembunyikanmu. Jadi, harga kebebasanmu tidak lagi sebanding dengan sepotong sutra, seindah apa pun itu.”
Mei Lan merasakan jantungnya tenggelam. Jeratan itu.
“Apa maumu?” tanya Jian, suaranya tajam, sarat ancaman.
Nyonya Liu tersenyum dingin. “Sangat sederhana. Kau tidak bebas, Jenderal. Kau telah menjadi milikku. Aku tidak akan menyerahkanmu pada Istana, karena kau lebih berharga hidup daripada mati. Kau akan tetap menjadi 'bayangan' pelindungku, dan kau akan menjauhkan Tuan Yu dari pintuku. Sebagai imbalannya, gadis penenunmu ini akan terus menenun untukku. Kalian berdua akan menjadi ‘aset jangka panjang’ ku. Kontrakmu diperpanjang tanpa batas waktu.”
Mei Lan membeku. Ia tidak hanya terperangkap, tetapi ia telah menjerumuskan Jian lebih dalam ke dalam perbudakan kontrak. Ia menyadari bahwa seluruh usahanya sia-sia. Ia telah menenun kain harapan yang kini menjadi tali yang mengikat leher mereka.
“Tidak,” kata Mei Lan, suaranya bergetar. “Kau tidak bisa melakukan ini. Kami sudah mendapatkan kesepakatan!”
Nyonya Liu tertawa kecil, suara tawa yang kejam dan kering. “Di Kota Bayangan, Gadis Manis, kesepakatan hanya berlaku selama kau memiliki leverage. Sekarang, aku yang memiliki leverage. Kau harus memilih. Tetap di sini, dan aku akan melindungi keluargamu yang malang di desa dari Kepala Desa Liang—aku bisa mengatur itu. Atau pergi, dan aku akan menyerahkanmu pada Tuan Yu, sekaligus membiarkan keluargamu dihancurkan di desa. Pikirkan juga Jian. Jika kau melarikan diri, dia akan diburu dan disiksa sampai mati.”
Ancaman itu menghantam Mei Lan seperti cambuk kulit naga. Ancaman ganda: Jian dan keluarganya. Ia melihat wajah Jian yang tegang, siap untuk menyerang Nyonya Liu, tetapi Jian tahu itu adalah bunuh diri.
Mei Lan merasakan kekuatannya hilang. Semua cinta dan tekadnya untuk menenun kebebasan kini terasa hampa. Ia jatuh ke lututnya, tidak tahan dengan tekanan yang tiba-tiba ini. Perangkap itu menutup.
“Tidak…” bisik Mei Lan, air mata mulai mengalir deras. Ini adalah keputusasaan yang lebih buruk daripada lamaran pedagang kaya. Ini adalah jeratan total.
Jian meraihnya, tetapi Mei Lan mendorongnya menjauh. Ia tidak ingin Jian melihatnya begitu lemah. Ia bangkit, wajahnya pucat pasi, dan ia berlari keluar dari ruangan itu, melewati para penjaga Nyonya Liu yang menatapnya dengan rasa iba yang sinis.
Mei Lan tidak lari ke hutan seperti rencana awalnya. Ia lari ke sudut tersembunyi Kota Bayangan, ke atap gudang rempah-rempah yang ditinggalkan, tempat ia bisa melihat langit.
Ia ambruk di atas genteng berdebu, membiarkan isak tangisnya yang tertahan keluar. Ia gagal. Ia telah menyakiti Jian lebih parah. Keluarganya, Jian, dan dirinya sendiri, semuanya kini menjadi sandera Nyonya Liu.
Jian tidak membuang waktu untuk bernegosiasi lagi. Ia tahu, negosiasi dengan Nyonya Liu hanya akan membuatnya semakin terperosok. Ia mengikuti Mei Lan.
Jian menemukan Mei Lan bersembunyi di atap yang gelap. Gadis itu meringkuk, bahunya bergetar tak terkendali karena isak tangis yang dalam.
Jian duduk di sampingnya. Ia tidak berbicara. Ia hanya membiarkan keheningan yang penuh pemahaman menyelimuti mereka.
Mei Lan mengangkat kepalanya yang basah oleh air mata, wajahnya penuh keputusasaan. “Aku gagal, Jian. Aku menjerumuskan kita. Aku telah membuat Kain Harapan menjadi tali yang mengikat lehermu. Kita tidak bisa lari. Nyonya Liu akan menyakiti keluargaku. Dan Tuan Yu ada di luar sana.”
“Kau tidak gagal,” kata Jian, suaranya lembut, tetapi dipenuhi kepastian yang luar biasa. “Kau menenun keajaiban, Mei Lan. Kau menenun harapan. Masalahnya bukan pada kainmu, masalahnya pada sifat Kota Bayangan. Tidak ada kebebasan sejati di sini.”
Mei Lan menggeleng. “Tapi bagaimana sekarang? Kita terikat. Kita harus melakukan apa yang dia inginkan.”
Jian menoleh. Ia menatap Mei Lan dengan tatapan yang menghilangkan semua keraguan. Tatapan itu adalah janji, sebuah ikrar.
“Aku sudah memberitahumu,” kata Jian. “Aku adalah Bayangan Singa. Aku tahu cara keluar dari benteng yang tidak bisa ditembus, dan aku tahu cara memotong jeratan yang paling kuat. Kita tidak akan tinggal di sini. Kita tidak akan tunduk pada Nyonya Liu.”
Mei Lan masih diliputi keputusasaan. “Tapi keluarga saya…”
“Aku akan mengurus keluargamu. Aku akan mengirim pesan melalui jaringan lamaku. Mereka akan aman, entah itu di kota atau desa, aku akan memastikan mereka tidak disentuh oleh Kepala Desa Liang atau Nyonya Liu,” janji Jian.
Jian mengulurkan tangannya, dan kali ini, ia tidak menahan diri. Ia menarik Mei Lan ke pelukannya.
Pelukan itu bukan pelukan yang tergesa-gesa atau canggung. Itu adalah pelukan pertama mereka yang benar-benar erat dan lama, yang didorong oleh kebutuhan absolut untuk saling menopang di tengah kehancuran total.
Jian memeluk Mei Lan dengan kekuatan penuhnya, seolah-olah ia bisa mentransfer semua kekuatannya dan keberaniannya ke dalam tubuh Mei Lan. Tangannya mengelus rambut Mei Lan, menahannya erat-erat di dadanya yang kokoh.
Mei Lan membenamkan wajahnya di dada Jian, menghirup aroma kulit dan rempah-rempah yang ia rindukan. Ia membiarkan air matanya membasahi jubah Jian. Di dalam pelukan itu, ia merasa aman, dilindungi, dan paling penting, dilihat. Semua rasa takut dan kegagalan yang ia rasakan menguap. Ia tidak sendirian.
Jian tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya memeluknya, diam-diam mengakui bahwa inilah satu-satunya tempat yang ia inginkan, dan bahwa ia akan menghancurkan seluruh Kekaisaran demi melindungi kehangatan yang ia rasakan di lengannya.
Setelah waktu yang lama, Mei Lan melepaskan diri. Matanya merah, tetapi air matanya telah berhenti. Ia menatap Jian.
“Kita lari,” kata Mei Lan, suaranya lemah, tetapi tekadnya kembali. “Kita akan lari malam ini juga.”
Jian tersenyum tipis. Bukan senyum prajurit, tapi senyum yang lembut, seorang pria yang telah menemukan alasannya untuk berjuang.
“Bagus, Gadis Penenun. Aku adalah bayangan, dan Kau adalah cahaya. Kita akan menyelinap keluar, dan kita akan membawa rahasia ini ke tempat yang seharusnya.”
Mereka duduk berdua di atap yang dingin, menyusun rencana pelarian mereka, kini tidak lagi terhalang oleh keraguan atau jarak. Jeratan kontrak Nyonya Liu, ancaman Tuan Yu, dan pengkhianatan Istana, semuanya kini terasa seperti tantangan yang harus mereka hadapi bersama.
Malam itu, mereka berdua akan mengambil takdir mereka ke tangan mereka sendiri.