novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara yang Berbisik pada Air
Cai berdiri terpaku, masih mencoba memahami kata-kata yang keluar dari mulut Sena. Di hadapannya, makhluk dari Dimensi Api itu tampak begitu nyata—begitu berbeda dari segala hal yang pernah ia kenal. Sena adalah kontras dari seluruh kehidupannya: panas, menyala, liar. Namun anehnya, kehadirannya tidak menimbulkan rasa takut, hanya rasa asing yang menggema seperti gelombang baru di dalam dada.
Udara di Dimensi Api sangat berbeda. Jika di Dimensi Air tubuhnya melayang ringan, di sini lututnya terasa berat, seolah gravitasi memaksanya untuk tunduk. Panas membelit kulitnya, membuatnya berkeringat untuk pertama kalinya dalam hidup. Ia menggenggam sedikit air yang tersisa di telapak tangannya—air yang selalu menempel sebagai bagian dari dirinya. Namun air itu kini bergetar, seolah ketakutan.
Sena melirik ke arah tangannya. “Air itu tidak akan bertahan lama di sini. Dimensi Api tidak menyukai tamu dari duniamu.”
Cai menatap cairan kecil itu. “Tapi… ini bagian dari diriku.”
Sena mengangguk pelan. “Aku tahu. Karena itu, aku kagum kau masih utuh dalam panas tempat ini. Para penjaga api biasanya sudah bisa merasakan kehadiran semacammu dari jauh. Kau beruntung aku yang menemukanku duluan.”
Cai menarik napas yang terasa seperti menghirup bara. “Kau bilang retakan dimensi melemahkan batas? Apa maksudmu?”
Sena berbalik, menunjukkan jalur berbatuan yang tampak mencair di beberapa titik. “Ikut aku. Aku akan menunjukkan sesuatu—asalkan kau bisa tetap hidup hingga kita sampai.”
Tanpa menunggu persetujuan, Sena berjalan lebih dulu. Langkahnya cepat, namun gerakannya memancarkan keanggunan khas penghuni api. Cai bergegas mengikutinya, berusaha menjaga jarak agar panas dari tubuh Sena tidak terlalu menyengat. Batu-batu di bawah kaki mereka berwarna hitam legam, namun ada celah-celah merah pijar seperti urat magma. Udara bergetar halus, dan suara desahan api terdengar dari berbagai arah.
“Ini… dunia yang berbeda sekali,” gumam Cai.
“Tentu saja,” jawab Sena sambil tersenyum kecil. “Begitu juga duniamu. Dimensi Api dan Air tidak pernah seharusnya bertemu kembali. Perpecahan membuat kita menjadi legenda satu sama lain.”
Cai menelan ludah. “Di dunia kami… kisah tentang Api hanya sebatas cerita lama. Banyak tetua menganggapnya dongeng.”
Sena tertawa, suaranya seperti denting logam. “Begitu pula di sini. Air dianggap sebagai ancaman. Sebagian bahkan percaya bahwa menyebut namanya dapat melemahkan nyala jiwa.” Ia menoleh ke Cai. “Tapi aku tidak pernah percaya pada ketakutan itu.”
“Kenapa?” tanya Cai.
“Karena aku berbeda,” jawab Sena singkat. “Seperti kau.”
Kalimat itu membuat Cai terdiam.
Mereka terus berjalan hingga akhirnya Sena berhenti di dekat sebuah tebing besar. Dinding tebing itu tampak seperti kaca magma yang mengeras, namun permukaannya berdenyut—cahaya merahnya berubah-ubah seperti nafas makhluk hidup.
Sena mengangkat tangannya dan menempelkan telapak ke permukaan tebing. Cahaya langsung merespons, membentuk lingkaran berkilau. Dari lingkaran itu, muncul retakan tipis—bukan retakan batu, tetapi retakan ruang seperti kaca yang pecah.
Cai membelalakkan mata. “Itu… celah antar-dimensi?”
“Ya,” jawab Sena. “Salah satunya.”
Cai mendekat perlahan. Dari retakan itu keluar hembusan dingin, sangat berbeda dari panas sekitarnya. Ia mengenali rasa dingin itu—dingin dari Dimensi Air. Pusat riak yang muncul di Sungai Lensa mungkin berasal dari celah semacam ini.
“Ini masih aktif,” bisik Cai, kagum sekaligus takut.
“Dan semakin membesar setiap hari,” kata Sena. “Kami, para penjaga api, tidak bisa menutupnya. Kekuatan kami justru membuat celah semakin melebar. Dan yang lebih buruk…” Ia menatap Cai dengan mata berkilat. “Celah ini bukan satu-satunya.”
Cai merasakan perutnya mengencang. “Berapa banyak?”
“Sembilan yang terdeteksi,” jawab Sena. “Dan mungkin lebih banyak lagi yang belum kami temukan.”
Cai menatap retakan itu lama. Dalam hatinya muncul firasat buruk. Jika batas antara dimensi terus melemah, dunia air—yang rapuh dalam struktur ruang dan keseimbangan energi—bisa saja runtuh. Begitu pula dunia api, yang stabil hanya karena batasnya kuat.
“Kenapa memilih memanggil aku?” tanya Cai akhirnya. “Jika kau punya banyak penjaga api, kenapa harus makhluk dari air?”
Sena tersenyum miring. “Karena hanya air yang bisa menutup retakan seperti ini. Api akan membuatnya semakin panas dan rapuh. Dunia kami tidak memiliki elemen pendingin—semua di sini membakar, meleleh, berubah bentuk. Kami tidak bisa menenangkan luka pada ruang.” Ia menatap Cai tajam. “Tapi seorang makhluk air murni dengan aura perak… itu hal yang belum pernah ada sebelumnya.”
Cai tersentak. “Aura perak? Di dunia air itu dianggap aneh.”
“Aneh bukan berarti buruk,” ucap Sena lembut. “Terkadang, hal yang tidak biasa adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia.”
Cai tidak tahu harus menjawab apa.
Sena mendekat ke retakan itu dan menyentuh pinggirnya. “Ini yang membuatku memanggilmu. Saat retakan pertama muncul, aku bisa merasakan energi asing menembus dunia kami. Energi itu bukan api. Bukan panas. Bukan kekuatan dari dunia ini.” Ia menunjuk dada Cai. “Dan aura itu sama persis dengan milikmu.”
Cai merasakan sesuatu menusuk dadanya—campuran kaget dan takut. “Kau yakin?”
“Seratus persen,” jawab Sena. “Energi yang keluar dari retakan ini seolah memanggil-manggil keberadaanmu.”
“Kau bilang… retakan ini memanggilku?” ulang Cai.
“Ya,” Sena mengangguk. “Seperti dua arus yang ingin berjumpa kembali.”
Cai menatap retakan itu, lalu melihat kembali ke arah Sena. “Tapi bagaimana bisa? Aku tidak pernah meninggalkan dunia air. Aku berasal dari klan biru murni. Tidak ada alasan bagiku terhubung dengan dimensi api.”
Sena menatapnya lama, kemudian berkata, “Mungkin asal-usulmu tidak seperti yang kau kira.”
Kata-kata itu menghantam Cai seperti gelombang. Ia mundur selangkah, mencoba memahami maksud perkataan Sena. “Apa maksudmu? Aku lahir di Dimensi Air. Aku dibesarkan di sana.”
“Ya, tapi tidak semua kelahiran jelas sumbernya. Beberapa… mengembara melalui cahaya, atau melalui riak energi yang sulit dijelaskan. Kau terlalu berbeda dari yang lain.” Sena mendekat hingga hanya beberapa langkah. “Dan kau tahu itu, bukan?”
Cai menggigit bibirnya. Ia memang selalu merasa berbeda. Aura perak itu—yang tak dimiliki siapa pun—selalu menjadi bisik-bisik di antara para tetua. Mereka tidak pernah menjelaskan asal-usulnya.
“Mungkin kau benar,” kata Cai akhirnya. “Tapi… apa yang harus kulakukan sekarang?”
Sena mengulurkan tangan, telapak merah menyala namun tidak membakar. “Kau harus belajar cara menutup retakan. Dan untuk itu, kau harus memahami apa yang menyatukan air dan api—bukan apa yang memisahkan.”
Cai menatap tangan itu. Panasnya terasa bahkan dari jarak beberapa sentimeter. Ia tahu sentuhan itu bisa membakar air biasa, namun entah mengapa ia merasa tubuhnya mungkin bisa menahan panas Sena.
Dengan hati-hati, Cai mengulurkan tangannya. Saat kulit mereka bersentuhan, Cai menghirup napas tajam—bukan karena panas, tapi karena sesuatu di dalam dirinya bergetar hebat. Seperti dua energi berbeda yang saling menyapa. Satu dingin, satu panas, namun keduanya mengalir bersamaan dalam satu denyut.
Sena tersenyum—senyum yang anehnya membuat Cai merasa aman.
“Lihat?” kata Sena lirih. “Kita tidak saling menghancurkan.”
Cai mengangguk pelan, meski dadanya masih bergemuruh.
“Sekarang,” lanjut Sena sambil melepaskan tangannya perlahan, “kita harus pergi ke tempat lain. Ke pusat retakan terbesar. Di sana, energi paling lemah dan paling berbahaya.”
Cai menelan ludah. “Mengapa yang terbesar dulu?”
“Karena itu yang akan runtuh lebih dulu,” jawab Sena.
Cai memandang retakan itu sekali lagi, lalu mengikuti Sena yang mulai berjalan ke arah lembah berbatu yang bersinar merah keemasan.
Namun tepat saat mereka hendak melangkah lebih jauh, suara gemuruh besar terdengar di kejauhan—suara seperti ledakan yang mengguncang tanah. Sena berhenti mendadak.
“Apa itu?” tanya Cai gugup.
Sena memicingkan mata, mencoba menajamkan pendengarannya. “Itu bukan retakan. Itu… sesuatu yang lain.”
Tiba-tiba dari kejauhan muncul cahaya besar, seperti pilar api raksasa yang melonjak ke langit merah. Energinya terasa begitu kuat hingga getarannya mencapai tempat mereka berdiri.
Sena menegang. “Tidak mungkin…”
“Apa yang terjadi?” desak Cai.
Sena menatap pilar itu dengan mata melebar—untuk pertama kalinya, Cai melihat raut ketakutan di wajahnya.
“Itu bukan retakan,” bisiknya. “Itu adalah… tanda kebangkitan.”
Cai menegang. “Kebangkitan apa?”
Sena memandangnya lama, lalu berkata pelan namun tegas:
“Kebangkitan klan Api Merah—kelompok yang membenci semua yang bukan api.”
Dan sebelum Cai sempat bereaksi, langkah-langkah berat terdengar dari arah pilar itu, disertai suara menggelegar:
“ADA MAKHLUK AIR DI WILAYAH API!”
Cai merasakan dadanya mencengkeram.
Sena memegang lengannya.
“Kita harus lari."