Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Faizah menelan makanan di mulut yang tinggal terakhir, lalu ia dorong dengan segelas air putih agar nasi di tenggorokan turun ke perut. "Bibi sama siapa lagi itu." gumamnya ketika pandangan matanya berpaling ke arah bibi bersama wanita yang masih muda. Namun, Faiz tidak mau tahu siapa wanita yang baru datang, lalu ke dapur mencuci piring dan mangkuk bekas dia makan.
"Mbak, baby sitter yang akan membantu merawat si kembar sudah datang." bibi mengatakan jika baby sitter menunggu di ruang keluarga.
"Oh, biar aku panggilkan Tuan Barra, Bi." Faiz meninggalkan dapur.
Sepi, ketika Faizah tiba di kamar, si kembar masih bobo di tempat tidur berjajar, karena memang sengaja tidak Faiz pindahkan ke box. Di pinggir tempat tidur, Barra asik dengan handphone.
"Di luar ada baby sitter menunggu, Tuan..." Ujarnya lalu membetulkan selimut Rohman yang tidak menutup kaki.
Faiz sempat melirik handphone Barra ketika ucapanya tidak dijawab. Ia lantas ingat Ahsan, setiap mantengin handphone pasti main game, tapi berbeda dengan Barra yang ia pantengi angka-angka yang tidak Faiz mengerti.
"Tuan... di luar baby sitter sudah menunggu." Faiz mengulangi karena kata-katanya tidak Barra respon.
Barra menutup handphone lalu memasukkan kaki ke dalam sandal yang tergeletak di lantai, lalu pergi tidak meninggalkan kata-kata.
Saat ini gantian Faizah yang ambil handphone, mengecek wa yang sejak siang tidak dia periksa. Matanya menyipit, ketika beberapa nomor yang tidak ia kenal ramai mengirim pesan. Rupanya istri Ahsan sudah membagikan nomor ke teman-temannya.
Istri Ahsan ternyata lancang, dia tahu kata sandi, pasti Ahsan yang memberi tahu.
Faizah abaikan saja puluhan pesan yang bukan ditujukan untuknya, tapi ada satu nomor yang menyita perhatiannya.
"Dasar wanita tidak berguna kamu, mengurung kami di dalam rumah, tunggu pembalasan aku!" Begitulah chat Ahsan yang ditutup emoji marah.
Faizah tertawa sendiri. "Kapok kamu Bang." ujarnya, tidak mau membalas. Ia membuka ajang menulis novel yang selama ini ia tekuni. Mantan suaminya itu selalu mengatai wanita pengangguran, padahal selama ini Faiz membeli pakaian, bedak, dan keperluan diri sendiri tidak pernah minta Ahsan, tapi dapat dari menulis.
Faizah pun mengecek salah satu karya yang terakhir ia buat, tapi tertunda karena kecelakaan seminggu yang lalu. Banyak sekali pembaca yang sudah menunggu kelanjutan kisah yang dia buat.
"Oeeekk... Oeeek..." bangun salah satu bayi. Faizah segera menutup handphone meletakkan di laci lemari.
"Sebentar sayang..." Faiz memangku Rohman, anak ini memang sering terbangun minta asi daripada Rohim. Faizah pun segera menyusui.
Tok tok tok.
"Masuk..." ucap Faiz, segera ia tutup asetnya dengan kerudung.
Masuk baby sitter yang diantar bibi sampai pintu.
"Permisi Nyonya..." ucap baby sitter tersenyum kepada Faiz. Faizah membalas senyum baby sitter, dalam hatinya geli lantaran dipanggil nyonya.
Faizah menyuruh memasukkan pakaian baby sitter ke dalam lemari. Karena Faiz hanya menggunakan sebelah, sebelah lagi masih kosong.
Dua wanita yang selisih usia 5 tahun itu berkenalan, lebih tepatnya Faiz yang banyak tanya. "Nama saya Dilla Nyonya." Dilla masih saja memanggil Faiz nyonya.
"Jangan panggil aku Nyonya, Dilla. Panggil saja Kakak, aku disini kerja seperti kamu." Faiz tertawa.
"Oh... tapi kok." Dilla menatap dada Faiz yang masih menyusui.
"Ya, ini pekerjaan aku, menyusui si kembar."
Dilla pun manggut-manggut, sekarang mengerti apa maksud Faiz.
Malam ini, malam pertama Faiz menginap di rumah Barra. Walaupun sebentar-sebentar bangun karena si kembar minta asi, tapi pekerjaan Faiz lebih ringan karena ada Dilla.
Dini hari terasa haus, Faiz keluar kamar yang nampak sepi. Pintu-pintu kamar tertutup karena penghuni kamar tengah terlelap. Dia berjalan ke dapur ambil gelas mengisinya dengan air hangat lalu duduk di meja makan meneguk air.
"Faizah" suara berat dari belakang membuatnya bangkit segera dari kursi.
"Astagfirullah... Saya kaget Tuan..." Faiz menoleh ke belakang memandangi Barra yang mengenakan baju koko dan peci. Religius sekali pria itu, mungkin saja baru, atau sudah menjalankan shalat tahajud.
"Bagaimana, si kembar rewel tidak?" Tanya Barra lalu duduk di kursi depan Faizah.
"Tidak rewel Tuan, memang sering terbangun, tapi setelah minum asi dan ganti popok bobo lagi," papar Faiz setelah duduk kembali.
"Minum apa kamu?" Barra melirik gelas di depan Faiz.
"Air putih Tuan... Tuan mau saya ambilkan?"
"Boleh"
Faizah ambil air yang sama, tidak lama kemudian kembali meletakkan di hadapan Barra. Keduanya lanjut ngobrol tentang si kembar. Mereka tidak tahu jika ada mata merah karena melihat kedekatan mereka.
"Kalau gitu saya permisi Tuan..." Faiz meninggalkan meja makan setelah Barra mengangguk.
Malam berganti pagi, Faizah sudah selesai mandi, kemudian membantu Dilla memandikan si kembar. Dua wanita itu masing-masing memegang satu bayi memasang popok, dan pakaian.
"Anak Abi sudah wangi..." muncul Barra yang sudah rapi mengenakan kemeja lengkap dengan dasi dan celana bahan. Rupanya pagi ini ia akan mulai ke kantor setelah sepuluh hari absen.
"Faiz, ini susu untuk ibu menyusui, jangan lupa diminum pagi dan sore." Barra memberikan kotak susu ukuran lima ratus gram.
"Terima kasih Tuan." Faiz tidak menyangka jika Barra bisa tahu sampai sekecil-kecinya, apa yang dibutuhkan wanita ketika sedang menyusui.
"Abi berangkat sayang..." Barra mencium pipi kedua bayinya bergantian. Sempat menggeliat kedua anak itu, mungkin karena geli kena jenggot dan kumis tipis.
Faizah yang masih diam memeluk susu bengong, bayangkan tentang bayinya tiba-tiba muncul di pikirin. Andai saja anaknya hidup, dan Ahsan berubah baik tentu akan menyayangi putrinya seperti itu. Tiba-tiba saja, air mata bening pun menetes. Boleh Faiz pura-pura bahagia di depan Barra, tapi sejatinya hatinya terluka parah. Kehilangan dua orang dalam sehari menjadi pukulan berat yang menghantam dada Faiz.
"Woe, bengong lagi." Barra menjitak pelan kepala Faiz.
Faizah terkejut, segera mengusap air matanya dengan ujung jari.
"Kamu jangan selalu sedih Faiz, jika kamu sering melamun, bengong, bisa-bisa setres hingga mengurangi asi kamu, saya tidak mau itu." Barra menatap Faiz tajam tapi perhatian.
Dilla yang berdiri di tempat itu hanya menonton, tidak tahu apa masalahnya.
"Saya mengerti Tuan." lirih Faizah.
"Sebaiknya kamu sarapan dulu, biar si kembar Dilla yang jaga" titahnya, menatap Dilla hanya sedetik saja, lalu melangkah lebar hendak keluar kamar.
"Baik Tuan," Faizah pun mengikuti Barra yang sudah keluar, hingga berjalan beringan. Chana yang sudah menunggu Barra di meja makan bersama Abdullah, menahan marah melihat mereka.
"Kamu makan bareng kami saja." titah Barra, menghentikan Faiz yang akan ke dapur.
"Barra, kamu tidak salah" Chana tidak mau makan bersama Faizah yang tidak sederajat.
Faizah tidak mau ada keributan hendak melanjutkan perjalanan ke dapur.
"Faizah, kamu membantah perintah saya." tegas Barra ketika Faiz baru maju dua langkah.
...~Bersambung~...
Bener kayanya ada mata² kira2 siapa ya
anda penasaraaaan???
samaaa aku jugaaa 🤣
ayooo trima faiz, jngan lama lama kalau mikir....
lanjut...
semangat...
terima ajaaa