Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Mobil Kenny melaju membelah malam seperti peluru yang ditembakkan tanpa ragu. Jalanan yang basah oleh hujan sore tadi membuat ban sedikit tergelincir setiap kali ia mengambil tikungan, tetapi Kenny tidak memperlambat. Tidak sekarang. Tidak ketika setiap detik bisa menjadi garis tipis antara hidup atau mati—antara membawa pulang Keyla atau kehilangan dirinya selamanya.
Reno menatap jam di dashboard. “Kenny… kita hampir sampai. Jangan terlalu ngebut, kita butuh kamu waras ketika turun.”
Kenny mengencangkan rahangnya. “Aku waras.”
Reno meliriknya—dan dalam satu detik ia tahu itu bohong. Mata Kenny merah, penuh amarah, penuh rasa bersalah, penuh ketakutan yang sudah terlalu padat hingga tidak lagi bisa dibedakan.
Mobil akhirnya keluar dari jalan utama, masuk ke kawasan industri tua yang sudah separuh mati. Lampu-lampu jalan hanya sebagian yang hidup. Sisanya redup, berkedip, atau padam sama sekali.
Hembusan angin membawa aroma karat, debu, dan sesuatu yang lebih menusuk—bau kelembapan yang bercampur jamur.
“Gudang nomor berapa?” tanya Kenny, suaranya tegang.
Reno membuka ponselnya. “Enam. Lokasinya di ujung barat.”
Kenny menginjak gas sekali lagi. Mobil menyusuri kompleks gudang yang sepi, melewati bangunan-bangunan tua dengan cat mengelupas, pintu besi berkarat, dan jendela yang pecah.
Ketika akhirnya mereka melihat gudang nomor 6, keduanya terdiam sejenak.
Gudang itu tampak seperti mulut raksasa yang menganga.
Sunyi. Gelap. Dan… dingin.
Terlalu dingin.
Reno menelan ludah. “Tempat perfect buat orang gila nyembunyiin seseorang.”
Kenny membuka pintu mobil dengan cepat, hampir lupa mematikan mesin. Reno ikut turun. Udara malam memukul wajah mereka.
Kenny mengambil senter dari bagasi. “Kita masuk.”
Reno mengangguk. “Tapi pelan. Kita nggak tahu posisi orang itu.”
Kenny tidak menjawab. Ia bergerak duluan.
Di dalam gudang…
Kegelapan menyambut mereka seperti tirai yang menutup rapat. Senter Kenny menembus sedikit ruang, menyorot tumpukan kayu lapuk, tong-tong besi berkarat, dan debu yang melayang di udara.
Suara tetesan air terdengar dari sudut ruangan.
Dan di antara gelap itu—Kenny merasakan sesuatu di dadanya.
Bukan suara.
Bukan bayangan.
Tapi rasa.
Keyla ada di sini.
Entah bagaimana ia tahu, tapi tubuhnya bergetar, ingin berlari menembus seluruh ruangan, ingin menghancurkan setiap pintu yang menghalanginya, ingin merobek seluruh gudang kalau perlu.
Namun Reno menariknya pelan. “Tenang. Kita cek ruangan satu-satu.”
Kenny mengangguk, meski jantungnya memukul dada seolah ingin kabur lebih dulu.
Mereka melangkah masuk lebih dalam. Setiap langkah menimbulkan gema kecil. Angin masuk dari celah-celah dinding, membuat pintu logam di sisi kiri berderit panjang.
Reno mengarahkan senternya. “Lihat ini. Ada jejak di lantai.”
Kenny jongkok.
Jejak sepatu. Baru. Masih jelas. Ada garis seretan kecil, mungkin dari kaki seseorang yang diseret.
Darah Kenny mendidih.
“Keyla…” bisiknya.
Jejak itu mengarah ke pintu di ujung ruangan—pintu kecil dari besi yang sedikit terbuka. Cahaya samar keluar dari sela-selanya, seolah ada lampu kecil di dalam.
Reno menarik napas panjang. “Dia pasti di sana.”
Kenny langsung berdiri, siap berlari menghancurkan pintu, tetapi Reno memegang bahunya.
“Kenny. Kalau kamu menerjang tanpa rencana, itu bunuh diri. Orang itu bisa nunggu di balik pintu dengan senjata.”
“Aku nggak peduli!”
“Kenny—”
“Aku bilang aku nggak peduli!”
Reno memejamkan mata, lalu berkata pelan namun tajam, “Kalau kamu mati… siapa yang bakal selamatkan Keyla?”
Kenny terhenti.
Napasnya gemetar.
Reno kemudian melepas bahu Kenny. “Kita tetap masuk. Tapi kita harus siap.”
Kenny mengangguk keras, menelan semua ketakutan yang hampir memecahnya.
Ia memegang gagang pintu besi dengan tangan yang menggigil.
Ia membuka…
Sementara itu, di ruang kecil di dalam gudang—
Keyla duduk bersandar ke dinding dingin. Pergelangan tangannya luka parah karena menggesek tali terlalu keras. Bekapan kain di mulutnya membuat ia sulit bernapas.
Matanya masih tertutup kain hitam, tapi ia tahu penculiknya duduk tidak jauh darinya. Mendengar napas berat itu membuat tubuhnya gelisah.
Suara kursi bergeser.
“Dira,” panggil penculik itu lembut, terlalu lembut untuk sesuatu yang begitu mengerikan. “Kamu masih takut?”
Keyla menggeleng cepat—ia tidak tahu kenapa, ia tidak tahu apa yang diinginkan pria ini, tetapi suara itu membuat memori buruk muncul begitu hidup.
Kilasan lain menghantam kepalanya.
• Anak kecil bersembunyi di balik lemari.
• Pria dewasa membuka pintu dengan marah.
• “Dira! Ayah bilang keluar!”
• Tangan besar mencengkram pergelangannya.
• Jeritan.
• Seorang wanita menangis.
• Darah.
• Pukulan.
• Kegelapan.
Keyla teriak, namun suara itu hanya jadi desisan di balik kain.
Penculik itu mendekat. Ia meletakkan tangannya di pipi Keyla. “Kamu ingat, kan? Ayah tidak pernah bohong. Kamu memang kembali untukku.”
Keyla memutar kepalanya ke arah berbeda, menolak sentuhannya.
Pria itu tertawa pelan, lalu berjalan ke meja kecil, mengambil sesuatu—suara logam beradu.
Pisau.
“Tidak apa-apa… kalau kamu belum ingat semuanya. Ayah akan bantu.”
Ia mendekat dengan langkah ringan.
Keyla menggigil keras.
Pisau itu menyentuh dagunya—dingin, kejam.
“Sekarang… mari kita mulai dari awal lagi.”
Dan saat itulah…
—pintu ruang kecil itu dibuka paksa.
BRAK!
Cahaya senter menerobos masuk.
Penculik itu terkejut dan mundur satu langkah. Keyla tersentak.
“K E Y L A !”
Itu suara yang telah ia tunggu, ia rindukan, ia perjuangkan.
Kenny.
Air mata Keyla langsung jatuh, tubuhnya melemas antara lega dan panik. Ia tidak bisa melihat apa pun, tapi ia tahu suara itu, napas itu, langkah itu—ia tahu itu suaminya.
“Ken…” suaranya teredam kain.
Pria penculik mengangkat pisau. “Jangan bergerak!”
Kenny berhenti seketika. Senter di tangannya bergetar. Wajahnya hitam dan tegang.
Reno menyusul dari belakang, memegang linggis yang ditemukan di luar.
Kenny menatap Keyla—bahkan meski matanya tertutup kain, ia tahu betul itu istrinya. Tali, luka, ketakutan… semuanya menghantamnya seperti badai.
“Kamu…” suara Kenny pecah. “Kalau kamu sentuh dia lagi… aku bunuh kamu.”
Penculik itu tersenyum miring. “Ah… jadi ini suamimu? Aku kira Dira belum menikah.”
“Nama dia KEYLA!” Kenny mendesis marah.
Pria itu menggeleng perlahan. “Tidak. Nama aslinya Dira. Anak kecil yang kabur dariku bertahun-tahun lalu. Aku hanya menjemputnya pulang.”
Kenny maju selangkah.
Pisau itu terangkat.
“Kenny,” Reno memperingatkan. “Jangan gegabah.”
Tetapi Kenny tidak bisa. Tidak lagi. Batas kesabarannya telah dilewati sejak Keyla diseret dari rumah mereka.
“Aku bilang… lepaskan dia.”
Penculik itu terkekeh. “Kalau aku tidak mau?”
Dan saat pisau itu ditarik lebih dekat ke wajah Keyla—
KENNY MELONCAT.
Ia menerjang pria itu dengan kekuatan yang lahir dari ketakutan dan cinta yang putus asa. Tubuh mereka menabrak meja, menggeser kursi, membuat barang-barang jatuh.
Pisau hampir mengenai pipi Keyla, tapi Reno menarik Keyla mundur tepat waktu.
“Kenny!” Reno berteriak sambil menarik tubuh Keyla ke belakang, memotong ikatannya dengan silet kecil.
Pertarungan berlangsung brutal.
Penculik itu besar, kuat, penuh niat membunuh. Tapi Kenny… Kenny adalah orang yang kehilangan akal demi orang yang dicintainya.
Pukulan bertubi-tubi. Terdampar ke lantai. Membentur tong besi. Menahan pisau agar tidak masuk ke dada.
Kenny menahan tangan pria itu dengan seluruh tenaga. “KAU TIDAK AKAN SENTUH ISTRIKU!”
Penculik itu mendorong balik. “Dia bukan istrimu! Dia MILIKKU!”
“DIA MANUSIA! BUKAN MILIK SIAPA PUN!”
Kenny memukul wajah pria itu keras—sekali, dua kali, hingga pisau terlepas jatuh ke lantai.
Reno mengambil pisau itu dan menendangnya jauh.
Penculik itu mencoba kabur menuju pintu samping.
Kenny berdiri, tubuh bergetar, mengikuti langkahnya.
“Jika kamu lari,” katanya dengan suara rendah yang menyimpan kemarahan paling gelap, “aku pastikan kamu tidak akan pernah lihat matahari lagi.”
Penculik itu menoleh, wajahnya berlumur darah.
Dan ia berlari.
Kenny mengejar tanpa ragu.
Pertarungan baru saja dimulai.
Dan malam itu—
tidak ada yang tahu siapa yang akan keluar hidup-hidup.