Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Hati dan Profesi
Malam semakin larut tatkala Yuniza baru saja selesai memeriksa semua bukti yang terdapat dari salah satu jenazah yang ditanganinya bersama tim. Ia berkesimpulan, bahwa orang itu merupakan korban pembunuhan. Tugasnya yang berkejaran dengan waktu, membuat wanita itu harus bekerja lebih cepat dan teliti.
Setelah semua pemeriksaannya selesai, wanita berhijab itu menyerahkan semua bukti yang diperolehnya pada tim penyidik. Pengalaman Yuniza selama delapan tahun, dengan semua kasus yang cepat dipecahkan, membuatnya dipercaya oleh pihak kepolisian.
Kali ini, sebuah firasat buruk menggelayuti benaknya ketika hendak melepaskan sarung tangan. Tak lama kemudian, pihak kepolisian datang bersama tim forensik lain. Katanya ada jenazah baru yang meninggal, diduga telah dihabisi oleh rekan kerja. Mau tak mau, Yuniza menunda kepulangannya agar sebuah kasus segera terselesaikan melalui jalur autopsi.
Ketika jenazah tiba di ruang autopsi, Yuniza terperangah bukan main. Orang yang berbaring tak bernyawa dengan luka memar serta darah mengucur dari kepala dan hidung, tidak lain adalah suaminya sendiri, Andika.
Sejenak, wanita itu tertegun tak percaya melihat suaminya telah terbujur kaku. Hatinya benar-benar remuk redam bagai dihantam godam. Sesak dadanya memperhatikan pria yang ia sayangi telah tiada. Ia tak kuasa lagi menahan kesedihan yang berkecamuk dalam batin, hingga air mata meleh begitu saja membasahi pipinya.
Kendati demikian, Yuniza berusaha bersikap profesional. Alih-alih menangis terisak-isak di depan jenazah sang suami, ia menjalankan tugasnya sambil berusaha menguatkan diri. Diusapnya air mata yang meluncur deras itu, kemudian memeriksa Andika bersama tim di dalam ruangan autopsi.
"Bu, bukankah ini suami Ibu?" tanya salah satu perempuan yang membantu mengautopsi.
Yuniza mengangguk.
"Bu, apa Ibu kuat menangani pemeriksaan jenazah ini? Sebaiknya, Ibu meminta dokter lain untuk mengautopsi suami Ibu," saran perempuan itu, menatap iba pada Yuniza.
"Lo bisa diem nggak, sih? Kerja mah kerja aja, nggak usah ganggu Bu Yuniza," tegur teman lelakinya.
"Sebaiknya kalian segera bedah dan periksa organ dalam jenazah ini. Barangkali ada bukti lain yang lebih spesifik," ujar Yuniza, sembari memeriksa bagian leher dan kepala dari tubuh suaminya.
Kedua anak muda itu melakukan perintah Yuniza. Dengan peralatan medis lengkap, mereka mulai membedah tubuh pria itu, kemudian meneliti semua bukti yang terdapat di bagian organ dalamnya. Selain itu, mereka juga membuka bagian kepala jenazah, untuk mendapatkan bukti lebih spesifik mengenai dugaan terjadinya pemukulan.
Berada di dalam ruangan autopsi selama berjam-jam bukanlah hal menyeramkan bagi Yuniza dan tim. Mereka sudah terbiasa menangani jenazah-jenazah di dalam ruangan itu, termasuk dengan aroma yang menguar dari tubuh manusia tak bernyawa. Bukan hal aneh pula, jika Yuniza kerap merasakan hal ganjil di tempat kerja, bahkan sampai pulang ke rumah.
Selesai memeriksa semua bukti yang terdapat di beberapa bagian tubuh Andika, Yuniza dan tim menyimpan kembali semua organ dalam ke tempat asalnya, kemudian menjahit kulit bagian dalam dan luar sampai rapi. Yuniza menyimpulkan, bahwa jenazah meninggal sekitar dua jam lalu, setelah dipukul dengan benda tumpul. Ada kemungkinan, pelaku pemukulan lebih dari satu orang.
Catatan mengenai bukti forensik telah rampung, jenazah pun dibawa ke ruang pemulasaraan setelah semua organ tubuh yang diperiksa sudah lengkap. Yuniza menyerahkan catatan itu pada Farhan, yang sudah menunggu di depan ruangan.
"Semuanya sudah saya catat di situ. Saya harap, pelaku segera ditangkap malam ini juga," jelas Yuniza dengan suara tercekat.
"Terimakasih atas kerjasamanya, Bu Yuniza. Kalau begitu, saya pamit undur diri dulu," kata Farhan sembari memegang berkas jenazah di tangannya.
Yuniza mengangguk pelan. Ia tak mampu lagi menahan semua rasa sakit yang menusuk-nusuk selama pemeriksaan jenazah sang suami sejak tadi. Wanita itu menangis tersedu-sedu sambil berjongkok menelungkupkan wajah di lututnya.
Farhan yang hendak meninggalkan ruangan itu, seketika berhenti sejenak. Dipandanginya Yuniza dengan iba, kemudian bergegas pergi. Jauh di dalam lubuk hati, pria itu ingin sekali menghibur wanita yang merupakan alasan ia melajang hingga usianya menginjak kepala tiga. Akan tetapi, profesionalitas dalam menyelesaikan kasus, lebih utama untuk saat ini.
Berdasarkan semua bukti yang didapat, Kasatreskrim mengerahkan anak buahnya untuk menangkap orang-orang yang diduga pelaku. Tak butuh waktu lama, semua tersangka ditangkap malam itu juga, yang dua di antaranya merupakan rekan kerja Andika.
***
Suasana duka berubah gaduh tatkala ibu mertua Yuniza, Bu Erina, datang ke kediaman sang dokter forensik setelah acara pemakaman selesai. Wanita lanjut usia itu mengamuk di antara para pelayat, seakan tak terima bahwa putra semata wayangnya meninggal secara mengenaskan.
"Sudah saya duga, kamu ini pembawa sial, Yuni! Dari awal saya nggak pernah setuju dengan pernikahan kalian, apalagi weton kalian ini tidak cocok. Kalian ini benar-benar keras kepala!" bentak Bu Erina mendorong tubuh menantunya dengan kasar.
"Kenapa Ibu bicara begitu? Saya juga sama-sama kehilangan, Bu. Asal Ibu tahu, saya sendiri yang mengautopsi jasad Mas Andika. Coba Ibu bayangkan, bagaimana hati saya remuk redam selama memeriksa orang yang sangat saya cintai," sanggah Yuniza menepuk-nepuk dadanya sambil menangis sesenggukan.
"Berani-beraninya kamu adu nasib sama saya! Saya ini ibunya! Coba kamu hitung, lebih lama siapa Andika menghabiskan hidupnya. Kamu nikah sama Andika baru delapan tahun, sedangkan saya mengurus Andika dari lahir. Saya lebih sakit kehilangan Andika daripada kamu! Dasar miskin! Anak petani!" cerocos Bu Erina dengan sorot mata menyala-nyala.
Melihat Yuniza semakin disudutkan, Hamdan--kakak kandung Yuniza--segera menarik mundur adik bungsunya itu menjauh dari Bu Erina. Ia tak mau suasana duka ini berubah semakin tegang akibat pertengkaran antara mertua dan menantu.
Adapun putri Yuniza yang bernama Syakila, duduk di pangkuan istri Hamdan. Bocah berusia tujuh tahun itu tak mengerti, mengapa sang nenek begitu marah pada ibunya.
Sementara itu, malam yang kelam perlahan telah berganti pagi. Mentari kian meninggi seiring bergantinya hari. Kabar kematian Andika--manajer di salah satu perusahaan BUMN--menyebar begitu cepat lewat media elektronik dan sosial.
Tentu saja, berita itu menjadi kegegeran tersendiri bagi Karmina. Seperti pagi-pagi sebelumnya, gadis itu menonton berita sembari sarapan bersama adik dan ayahnya di ruang depan. Saat wajah Andika ditampilkan di layar TV, seketika gadis itu berteriak histeris hingga membuat ayah dan adiknya terperanjat.
"Kenape lu teriak-teriak gitu, Mina?" tanya Bu Lela, bergegas menghampiri Karmina dari arah dapur.
"Nyak! Lihat, Nyak! Itu om-om yang mau Mina samperin pas keluar dari kantor polisi!" seru Karmina sembari menunjuk layar televisi.
Bu Lela memicingkan mata sambil manyun. "Ah, masa, sih?"
"Beneran, Nyak! Kemarin Mina mau nyamperin dia biar berhati-hati, tapi ..."
"Tapi ape?" tanya Pak Rohman menunggu jawaban.
"Om-om itu keburu pergi duluan," jawab Karmina.
Sebelum melanjutkan pembicaraannya, Karmina menyimak baik-baik hal penting yang disampaikan reporter. Diketahui, pelaku merupakan rekan kerja korban yang merasa iri dengan pencapaian manajer baru bernama Andika itu. Kini, tersangka telah diamankan polres setempat untuk dilakukan proses penyidikan.
Mendengar semua yang disampaikan di dalam acara berita, Karmina termenung sejenak. Ada yang salah dari kasus pembunuhan itu. Rekan kerja korban, bukanlah pelaku yang sempat terlintas di benak gadis berambut pendek itu.
"Ini nggak bener, Nyak! Beh!" cetus Karmina memandang kedua orang tuanya.
"Apa yang nggak bener, Mina?" tanya Pak Rohman.
"Pelakunya bukan rekan kerja korban!" tegas Karmina.
"Lah? Terus siape dong?" Bu Lela malah penasaran.
"Mina harus cepetan ke kantor polisi, Nyak," ucap Karmina tergesa-gesa menghabiskan sarapannya, kemudian mengambil tas.
Melihat kepanikan di wajah putrinya, Bu Lela menghampiri Karmina yang sedang buru-buru memakai sepatu di teras.
"Lu mau ke kantor polisi? Mau ngapain?" tanya Bu Lela mengerutkan dahi.
"Mina mau lurusin yang sebenernya terjadi, Nyak," jawab Karmina, kemudian mencium tangan ibunya.
"Mina, lu kagak usah ke kantor polisi lagi kenape? Kalau lu demen sama polisi ganteng yang nanyain lu kemaren, ntar Nyak jodohin lu sama dia, ye. Kagak usah ikut campur ama kasus yang lu nggak ngerti!" ujar Bu Lela bersungut-sungut.
"Mina cuma mau ngasih tau yang bener sama yang salah, biar polisi nggak keblinger. Mina pergi dulu. Assalamualaikum!" pungkas Karmina, sambil beranjak dari teras. Langkahnya tampak tergesa-gesa saat meninggalkan kontrakan.
"Waalaikum salam," sahut Bu Lela sembari mengembuskan napas panjang. Ia tak habis pikir dengan perilaku putri sulungnya. Semua perkataan yang keluar dari mulut Karmina, sangat sulit dimengerti olehnya.
"Nyak, Mpok Mina mau ke kantor polisi lagi, ya?" tanya Jayadi dari ambang pintu.
"Iya," jawab Bu Lela. "Lu susulin empok lu sonoh! Nyak takut dia berulah di kantor polisi."
"Lah? Kenapa nggak Nyak aja yang nyusulin Mpok Mina?"
"Nyak masih trauma dateng ke kantor polisi. Lu aja yang susulin," ujar Bu Lela dengan wajah lesu.
"Udahlah, biarin aje. Mpok Mina ke sana bukan buat nyari gara-gara, kok," cetus Jayadi.
Seketika, Bu Lela menautkan kedua alisnya sambil berkacak pinggang. "Maksudnya apa lu bilang kayak gitu? Kalau disuruh orang tua tuh lakuin."
"Yadi mau aja lakuin, cuma ... Yadi ngerasa Mpok Mina bakalan terganggu kalau Yadi ke sana. Lagian, Mpok Mina bakal bikin kasus di TV jadi terang benderang kayak lampu neon. Tenang aja, Nyak," dalih Jayadi merasa malas.
"Lu tuh kagak bisa diandelin, ya," ketus Bu Lela, mendengkus sebal.