Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Suara Hati yang Tak Terucap
Bab 24 – Suara Hati yang Tak Terucap
Langit mendung menggantung di atas kota, seolah mencerminkan hati Alya yang semakin hari terasa semakin berat. Sepulang kuliah, ia memutuskan tidak langsung pulang ke apartemen. Ia berjalan tanpa arah, melewati trotoar yang basah oleh gerimis sisa hujan.
Ada sesak yang tak bisa ia ungkapkan.
Bukan hanya karena perjodohan yang terus dipaksakan Mamanya, atau tekanan sebagai penerus bisnis keluarga… Tapi karena hatinya sendiri yang kini mulai kacau.
Dan nama itu... selalu muncul dalam pikirannya.
Calvin.
Pria itu memang tidak pernah bersikap manis, tidak juga menunjukkan kepedulian yang jelas. Tapi entah bagaimana, setiap tatapan dinginnya justru membuat Alya merasa… hangat. Ia tahu ada sesuatu di balik diamnya Calvin. Sesuatu yang belum mampu diungkapkan pria itu—dan entah kenapa, Alya ingin tahu.
Namun di sisi lain, ada Randy… Sahabat yang sejak kecil selalu ada, yang selalu mengerti tanpa harus banyak bicara. Randy yang selalu menjaga jarak demi menghormati perasaan Alya, meski jelas-jelas menyimpan rasa yang lebih.
Alya duduk di bangku taman yang sepi, memeluk tasnya sambil menatap langit yang mulai gelap. Angin malam menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin daripada udara sekitar.
Kenapa semua terasa rumit?
Kenapa cinta harus datang di waktu yang salah?
Kenapa justru hati terarah pada seseorang yang begitu tertutup dan penuh teka-teki seperti Calvin?
Telepon genggamnya bergetar.
"Sudah sampai di apartemen?" — Calvin.
Alya menatap pesan singkat itu lama. Tak segera membalas, hanya menatap layar dengan jantung yang tiba-tiba berdegup tak karuan.
Kenapa perhatian sekecil itu bisa membuatnya merasa… dihargai?
Padahal Calvin tidak mengatakan banyak, tidak menawarkan pundak untuk bersandar. Tapi cukup dengan satu pertanyaan, Alya merasa ia tidak sendiri.
Ia akhirnya membalas singkat. “Belum, masih di luar.”
Tak lama kemudian, Calvin menelepon.
Alya sempat ragu menjawab, tapi akhirnya menekan tombol hijau.
"Halo?" suaranya pelan, sedikit ragu.
"Kamu kenapa?" Suara Calvin di seberang sana tetap datar, tapi terdengar lebih dalam malam ini.
"Aku cuma… pengen sendiri sebentar," jawab Alya jujur.
"Di mana kamu sekarang?"
"Di taman dekat kampus."
Sunyi.
Kemudian Calvin berkata, "Tunggu di situ."
Klik.
Telepon ditutup.
Alya menatap layar yang sudah gelap. Detak jantungnya makin tak karuan.
Dan benar saja, tak sampai lima belas menit, sosok pria itu datang. Dengan jaket hitam, rambut berantakan karena angin, dan tatapan yang seperti biasa—tenang tapi penuh tanda tanya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Calvin duduk di samping Alya. Mereka diam cukup lama, hanya ditemani suara angin dan dedaunan.
"Ada apa?" tanya Calvin pelan. "Apa karena aku?"
Alya menoleh menatapnya, sedikit terkejut. Biasanya Calvin tidak akan memulai percakapan seperti itu.
"Bukan," gumam Alya.
"Lalu kenapa?"
Alya menunduk. "Karena aku takut."
"Takut apa?"
"Takut kalau aku cerita... aku justru akan semakin terlihat lemah."
Calvin terdiam. Ia menoleh, menatap gadis di sampingnya yang berusaha menyembunyikan luka di balik tawa dan keberaniannya selama ini.
"Setiap orang punya sisi lemah, Alya."
Alya tersenyum miris. "Kamu juga?"
Calvin menunduk. "Aku bahkan pernah terlalu lemah sampai menghancurkan orang lain yang mencintaiku."
Keduanya diam. Suasana menjadi sendu. Tidak perlu kata-kata berlebihan, karena luka yang tersembunyi di antara mereka mulai saling menyentuh.
"Apa kamu pernah jatuh cinta?" tanya Alya akhirnya.
Calvin menghela napas panjang. "Pernah. Tapi aku tidak tahu caranya menjaga."
Alya menggigit bibirnya. Hatinya berdesir.
"Dan sekarang?" tanyanya nyaris seperti bisikan.
Calvin menatap Alya dalam. "Aku takut jatuh cinta lagi. Tapi kalau itu terjadi… mungkin aku akan mencobanya dari awal. Perlahan. Tanpa tekanan."
Alya tidak sanggup menatapnya lebih lama. Ada suara di dalam hatinya yang ingin berteriak, ingin berkata bahwa ia mulai menyukai pria ini. Tapi lidahnya kelu, dan egonya masih terlalu tinggi untuk mengakui.
Jadi, mereka kembali diam. Namun dalam diam itu, suara hati mereka sebenarnya saling berteriak keras.
Ada cinta yang ingin tumbuh. Ada luka yang ingin disembuhkan. Ada harapan yang ingin dipeluk.
Tapi tak satupun dari mereka berani mengatakannya malam itu.