Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
gara-gara baju kurang bahan
Malam itu, suasana di ruang makan rumah Bunda Mila terasa hangat dan penuh canda. Meja makan dipenuhi hidangan lezat yang sengaja dimasak oleh Bunda Mila, yang tak henti-hentinya tersenyum puas melihat Chilla dan Raja duduk berdampingan. Meski suasana itu terlihat menyenangkan, bagi Raja, ini lebih seperti jebakan yang sulit ia hindari.
“Chilla, ambilin dong buat suami kamu,” ucap Bunda Mila tiba-tiba sambil tersenyum manis ke arah menantunya.
“Siap, Bun!” jawab Chilla dengan antusias, langsung meraih sendok nasi. Ia menaruh nasi dan lauk di piring Raja dengan gerakan penuh perhatian. “Ini, makan yang banyak ya, sayang,” tambahnya sambil mengedipkan mata genit ke arah Raja.
Raja hanya menghela napas panjang, jelas terlihat tidak nyaman dengan situasi itu. Namun, ia tidak ingin menimbulkan keributan di depan mertua dan Bunda Mila, jadi ia hanya diam sambil menatap makanannya.
Ayah Bumi, yang duduk di sisi lain meja, tersenyum bangga. “Ayah senang lihat kalian seperti ini. Kalau begini terus, hubungan kalian pasti makin erat,” ucapnya dengan nada puas. “Nanti kita atur waktu buat makan malam sekeluarga. Kita ajak juga orang tua Raja, sekalian Bian sama Citra.”
“Ide bagus, Yah,” sambut Bunda Mila. “Sudah lama kita nggak kumpul keluarga besar seperti itu.”
Chilla hanya tersenyum mendengar rencana itu, sementara Raja menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi kesalnya. Dalam hatinya, ia hanya bisa berharap acara makan malam itu tidak benar-benar terjadi, karena jelas akan semakin mempersulit posisinya.
Namun, Chilla, yang duduk di sebelahnya, merasa ini adalah kesempatan emas. Ia melirik Raja dengan senyum tipis, puas melihat pria itu tidak bisa pergi ke mana-mana. Kali ini, Chilla memutuskan untuk bermain lebih halus. Jika sebelumnya ia sering memaksa dan terang-terangan mengejar perhatian Raja, sekarang ia akan menggunakan pendekatan lembut.
“Oh iya, Raja,” suara Bunda Mila kembali memecah keheningan. “Bunda sengaja suruh kalian ke sini supaya kalian nginep. Besok kan hari Minggu, jadi kalian bisa santai dulu di sini. Gimana, Ayah?”
“Bagus itu,” jawab Ayah Bumi sambil mengangguk setuju. “Rumah ini sepi kalau kalian nggak ada. Sekali-sekali, nginep di sini, bikin suasana rumah jadi ramai lagi.”
Mendengar itu, Raja hampir saja memprotes, namun ia menahan diri. Jika ia menolak, pasti akan menimbulkan kecurigaan. Lagipula, ia tahu betul bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan mertuanya.
“Baik, Bun,” jawab Chilla dengan nada manis. “Kita nginep aja, ya, sayang?” tanyanya sambil menatap Raja dengan pandangan penuh arti.
Raja, yang merasa terpojok, hanya mengangguk kecil. “Iya, terserah,” jawabnya singkat, lalu kembali fokus ke makanannya.
Sementara itu, Chilla terus memutar rencana di kepalanya. Malam ini, ia punya kesempatan untuk mendekatkan diri pada Raja tanpa harus terlihat terlalu agresif. Ia tahu jalan untuk membuat Raja mencintainya masih panjang, tapi ia tidak akan menyerah.
Setelah makan malam selesai, Bunda Mila menyuruh mereka untuk beristirahat di kamar tamu yang sudah disiapkan. Chilla mengikuti Raja masuk ke kamar itu, senang karena berhasil membuat Raja terjebak di situasi yang sulit untuk dihindari.
Saat mereka berdua akhirnya duduk di kamar, Raja menatap Chilla dengan tajam. “Lo seneng banget, kan, lihat gue kayak gini?” tanyanya dengan nada kesal.
“Seneng banget,” jawab Chilla santai. “Malam ini, lo nggak bisa kabur ke mana-mana, sayang. Jadi, siap-siap aja, gue bakal bikin lo sadar kalau gue itu istri yang paling cocok buat lo.”
Raja hanya memutar matanya, mencoba mengabaikan ucapan Chilla. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa semakin sulit untuk melawan Chilla yang kini mulai bermain lebih lembut namun tetap mematikan.
Chilla masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Ia mengambil baju tidur favoritnya, sebuah piyama satin berwarna merah muda yang sering ia kenakan di apartemen. Baginya, pakaian itu nyaman, meskipun bagi orang lain mungkin dianggap terlalu terbuka karena potongannya yang sedikit di atas lutut dan bagian atasnya berlengan pendek.
Setelah selesai, Chilla keluar dari kamar mandi dengan santai. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Raja yang sedang duduk di tepi ranjang menatapnya dengan mata terbelalak.
“Heh, cewek gila! Ngapain lo pake baju kurang bahan kaya gitu?” sergah Raja dengan nada tajam.
Chilla hanya tertawa kecil sambil mendekati meja rias. “Suka-suka gue lah. Baju-baju gue ini, kenapa? Lo kegoda sama penampilan gue, ya?” jawabnya santai, sambil memutar tubuhnya sedikit, memperlihatkan pakaiannya dengan percaya diri.
“Jangan harap!” balas Raja cepat. “Lo udah kaya cewek kurang belaian aja.”
Chilla mengangkat alisnya dan berbalik menghadap Raja. “Ya emang,” jawabnya tanpa ragu. “Kan lo belum pernah sentuh gue. Lagian, baju ini wajar-wajar aja kok. Nggak ada yang salah.”
Raja menghela napas panjang, jelas-jelas kesal dengan jawaban Chilla yang seenaknya. “Ganti baju lo,” ucapnya tegas.
“Nggak mau,” sahut Chilla dengan nada santai namun penuh tantangan.
“Ganti!” Raja bangkit dari duduknya dan mendekati Chilla, menarik lengannya dengan sedikit paksa. Namun, Chilla yang tidak suka diperintah seperti itu, justru mendorong Raja dengan keras.
Dorongan itu membuat Raja kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas ranjang. Yang tidak disangka-sangka, Chilla ikut terdorong ke arah Raja dan jatuh menimpanya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, hingga tanpa sengaja, bibir Chilla menyentuh bibir Raja.
Waktu seolah berhenti sejenak. Kedua mata mereka membelalak, saling menatap dalam keterkejutan. Raja terlalu kaget untuk bergerak, sedangkan Chilla merasa seluruh tubuhnya membeku. Sentuhan itu begitu singkat, namun efeknya terasa begitu kuat di antara mereka.
“Lo... apa-apaan sih?” gumam Raja pelan, suaranya terdengar serak ketika ia akhirnya berhasil menggerakkan tubuhnya.
Chilla langsung bangkit dari posisi tersebut, wajahnya memerah, meskipun ia mencoba menyembunyikannya dengan ekspresi sok santai. “Ups, nggak sengaja. Tapi nggak apa-apa, kan? Kita ini suami-istri,” katanya sambil mengusap rambutnya yang sedikit berantakan.
Raja segera bangkit dari ranjang, menatap Chilla dengan ekspresi campuran antara marah dan gugup. “Lo keterlaluan,” katanya sambil mengalihkan pandangannya. “Bener-bener nggak punya malu, ya.”
Chilla tersenyum kecil, merasa puas karena berhasil membuat Raja kehilangan kendali, meskipun hanya sesaat. “Loh, salah gue apa? Lo yang narik-narik gue duluan, Ja,” jawabnya dengan nada menggoda.
Raja menggelengkan kepala, jelas-jelas bingung bagaimana harus merespons. “Lo itu cewek paling nggak bisa diatur yang pernah gue kenal. Gue nyuruh lo ganti baju, bukannya nurut malah bikin masalah,” ucapnya sambil mengusap wajahnya dengan frustasi.
Chilla mendekat lagi, kali ini dengan senyum penuh arti. “Masalah apa? Gue nggak ngelakuin apa-apa yang salah, kok. Lagian, nggak usah denial gitu deh, Ja. Dalam hati lo pasti seneng, kan?” godanya.
“Seneng? Gue lebih baik keluar dari sini daripada ngadepin lo terus-terusan,” sahut Raja, melangkah ke pintu dengan cepat.
Namun, sebelum ia bisa membuka pintu, Chilla kembali menghalangi jalannya. “Lo mau kabur ke mana? Ini udah malam. Lagian, lo nggak mau, kan, bikin Bunda sama Ayah curiga?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada.
Raja mendengus kesal. “Lo itu...” ia tidak melanjutkan kalimatnya, hanya menatap Chilla dengan ekspresi bingung.
Chilla tertawa kecil, merasa kemenangan ada di tangannya. “Udah, Ja. Jangan terlalu serius. Gue cuma bercanda kok. Tapi, satu hal yang perlu lo inget,” katanya sambil menatap Raja dengan serius. “Gue bakal terus ada di sini. Lo nggak akan bisa kabur dari gue, Raja.”
Raja hanya mendesah, tidak ingin melanjutkan perdebatan. Ia kembali ke ranjang tanpa berkata apa-apa, mencoba mengabaikan semua pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Sementara itu, Chilla tersenyum puas. Satu langkah kecil lagi dalam usahanya untuk membuat Raja menerima keberadaannya sebagai istri.