Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Bledding Boy
Di sebuah apartemen kecil suatu kota, seorang pria terduduk lemas pada tempat tidurnya. Pikirannya berkelana, menelusuri berbagai hal rumit dalam hidupnya.
Tsukiyama Nakimura, vokalis dari sebuah band bernama Lunar Hare, kini mulai frustasi dalam misi pencarian seseorang yang penting dalam hidupnya.
Seorang pria yang tanpa sadar telah membawanya sejauh ini, lalu menghilang begitu saja tanpa sebuah tanggung jawab untuk menjelaskan tentang segala hal yang sebenarnya terjadi.
Tsukiyama dahulu bukanlah seseorang yang teramat keren dan hebat layaknya saat ini, ia adalah pemalu yang selalu menjadi sasaran empuk untuk dirundung semasa sekolahnya.
Hingga pada suatu hari yang bisa dibilang terburuk dalam hidupnya, hari dimana ia tersudut lemah pada dinding pinggir jalan, dipukuli dan ditendang.
Darah keluar dari sekunjur tubuhnya, dan itu membuatnya merasa seolah melihat malaikat maut yang ingin menjemputnya.
Namun salah satu pria dari belakang mereka, berteriak dengan lantang.
“Apa-apaan kalian ini!? Dia sudah hampir mati!”
Sekumpulan berandal yang tadinya sedang asyik menyiksanya, sontak memandang jengkel pada pria yang tadi berteriak.
“Kematian memang cocok untuk pria cengeng sepertinya!” ujar salah satu pria dari mereka.
“Apaan? Kalian kira membunuh orang lain adalah bukti kekuatan? Dasar tak punya harga diri! Kekuatan pria sejati itu, digunakan untuk melindungi, bukan membunuh!” tegas pria yang tadi membela, menatap tajam pada mereka satu per satu.
Merasa tak terima direndahkan, mereka menyerang pria itu secara bersamaan. Namun mampu dengan mudah dihindari olehnya.
“Oh, begitu? Beraninya main keroyokan? Semakin rendah saja harga diri kalian di mataku,” ucap sang pembela sambil terus menghindari serangan.
“Berisik, kau juga hanya menghindar. Dasar pengecut!” kata salah seorang dari mereka, tak menyerah terus menyerang.
Dengan sigap, sang pembela menahan tinjunya.
“Begitu? Mau aku melakukan perlawanan? Baiklah, jangan nangis ya,” ucapnya dengan santai, lalu meremas tangan orang yang menantang itu hingga terdengar suara keras dari jarinya.
“Argh!” erang yang jarinya dipatahkan, kesakitan.
Dari arah belakang, salah satu anak buah berandal itu mencoba menyerang sang pembela. Dengan cekatan ia memutar balik badan sembari menendang kepala si berandal.
Beberapa anak buah yang lain mencoba menyerang dari arah berlawanan, sedangkan sang pembela hanya menghindar hingga kepala mereka saling terbentur satu sama lain.
Merasa tak ada yang melawan lagi, pria pembela menatap dingin pada sisa berandalan yang tampak ketakutan.
“Masih ada yang mau menyerang lagi?” tanyanya tanpa nada.
Mereka menggelengkan kepala secara serempak, lalu melarikan diri sembari membawa teman-temannya yang sudah tumbang.
“Cih, pengecut!” ledeknya pada para berandal itu.
Ia mendekati Tsukiyama yang sudah dalam keadaan setengah sadar.
Meski buram, Tsukiyama mampu melihat seluruh aksi pria itu, terlihat juga wajah pedulinya yang penuh kekhawatiran.
“Kau tak apa?” tanyanya dengan lembut, sedikit mengangkat dagu Tsukiyama.
Tak mendapat jawaban dari pria lemas berlumur darah, membuatnya menyadari atau mungkin mengingat sesuatu.
“Oh, sudah hampir mati ya? Bertahan lah sebentar, akan ku hubungi ambulance!” lanjutnya sembari merogoh gawai pada saku celana.
Tak lama setelah menghubungi bantuan, mobil putih penyelamat pun datang, keluarlah seorang dokter dari dalamnya, mendekati mereka dengan gagah.
“Ada apa dengannya?” tanya sang dokter.
“Dihajar berandal,” jawab pria itu singkat dan jujur.
“Dasar, anak-anak zaman sekarang. Siapa namamu?” tanya dokter itu lagi.
“Memang itu penting?”
“Penting, untuk data pelapor pasien.”
“Rakuyan. Rakuyan Yakuma dari Silet Cold Fire, agensi Ligth Art Eintertaiment.” jawabnya dengan jujur dan teramat lengkap.
“Baik, lalu nama pasiennya adalah?”
“Hmm..?” Rakuyan menelisik pada tulisan nama siswa di seragam yang dikenakan.
“Tsukiyama Nakimura?” lanjutnya sedikit mengeja.
“Baiklah, Yakuma. Terimakasih atas laporannya. Kami akan berusaha sebisa mungkin menyelamatkannya.”
Dokter itu pun hampir pergi membawa Tsukiyama pada mobil, namun Rakuyan entah mengapa menghentikan langkahnya.
“Tunggu!” panggilnya tegas.
“Nakimura, jika kau masih sadar dan mampu mendengarku, terimalah ini untuk biaya pengobatan dan kebutuhan hidupmu barang hanya sampai beberapa hari kedepan!” lanjutnya.
Rakuyan secara tidak sopan memasukkan setumpukkan uang pada saku celana Tsukiyama. Lebih tepatnya, ia terpaksa melakukan itu karena Tsukiyama pasti tidak akan mampu menggenggam uang tersebut dengan baik.
Itulah pertama kali Tsukiyama bertemu dan mengenal Rakuyan. Masih teringat jelas setelah sembuh dari rumah sakit, uang pemberian Rakuyan bukan hanya cukup untuk hidup beberapa hari, namun juga hingga berbulan-bulan.
Sungguh sosok pahlawan yang luar biasa. Sejak saat itu, Tsukiyama menjadi penggemar berat Rakuyan bahkan bertekad untuk menyusul jejaknya agar bisa berterimakasih dengan cara yang baik dan benar.
Ia berjuang mati-matian demi mengejar impiannya, mempelajari musik dari nol hingga akhirnya mampu membentuk grup band dan kemampuannya kian terasah.
Namun ketika ia berhasil memasuki agensi musik yang sama dengan Rakuyan, pria itu malah terjerat tuduhan tak jelas lalu pergi menghilang entah kemana.
Ketika ia berhasil menemukannya di kota ini, Rakuyan justru menyembunyikan diri dibalik identitas palsu. Hal ini cukup membuat Tsukiyama geram.
“Sial! Apa ini maksud kata-kata keren mu hari itu!? Berhentilah menghindari ku, dasar pengecut!” teriaknya frustasi, sembari membaringkan tubuhnya pada tempat tidur.
Tak lama setelah itu, perutnya berdering minta diisi makanan. Ia pun terpaksa duduk kembali lalu melangkah lemas keluar appartement untuk mencari makan.
Terus melangkah tanpa tujuan, hingga telinganya mendengar suara musik dari sebuah kedai. Rupanya kedai itu memiliki panggung kecil untuk live music.
Hal yang lebih menarik lagi adalah tulisan yang terpajang pada dinding kedai, [Makan Sepuasnya, Bayar Seiklhasnya].
Tanpa ragu Tsukiyama memasuki kedai itu dengan penuh semangat, matanya melebar dengan binar. Senyumannya pun bagai anak kecil.
“Selamat datang, di kedai Lecho’s The Best Friend! Ada yang bisa kami bantu?” sapa kedua pria pada kedai tersebut, dengan ciri khas manis sinisnya yang berbeda.
“Apa benar, makan di sini boleh bayar seiklhasnya?” tanya Tsukiyama dengan semangat yang menggebu.
Kedua pria tersebut, Picho dan Leo, saling melempar tatapan sekilas seolah berdiskusi tanpa suara. Lalu kembali menatap Tsukiyama dengan ramah.
“Tentu saja. Apa yang ingin anda makan siang ini, Tuan?” ucap Picho setia dengan senyuman manisnya.
“Jika dibayar dengan jasa nyanyi di mini panggung sini, boleh ga? Saya rindu sekali bernyanyi di kedai seperti ini!” tanya Tsukiyama lagi, kian bersemangat.
Lagi, Leo dan Picho saling melirik satu sama lain. Lalu Picho menambah kadar gula pada senyumannya.
“Wah, wah.. pelanggan kita banyak yang unik ya, Leo?” ucap Picho dengan ramah.
“Apa yang kau pikirkan, Picho? Dia bukan orang miskin yang tak mampu membayar!” tolak Leo dengan tegas.
“Seperti biasa, kau memang sulit diajak kompromi, wahai pangeran es. Sebentar lagi mereka turun dari panggung, kan? Jadwal musik siang, masih kosong?”
“Tapi, mengapa harus sebagai ganti bayaran?”
“Sudah kubilang, pelanggan kita memiliki keunikan mereka tersendiri.”
Merasa tak bisa mengelak, Leo menghela napas pasrah.
“Baiklah, baiklah. Silahkan pesan makanan sepuasnya, dan bernyanyi semaumu.”
Wajah Tsukiyama kian berseri-seri.
“Terima kasih!” ucapnya penuh semangat.