Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29 - Semuanya menyebalkan
Aruna sangat senang saat di ajak masak bersama dengan mama mertuaya. Mereka memasak untuk makan malam.
"Mama jadi ingat pas mama ajak kamu buat kue, kamu naik ke atas meja dengan alasan nanti kaki kamu pegal kalau berdiri. Terus Kai pulang terus mengomel lihat kamu cemong."
Aruna salah tingkah, ada rasa malu yang dia rasakan. Ada apa lagi perbuatannya dahulu yang di luar nalar? Tolong disembunyikan, dia tak ingin tau.
"Ayo kita sajikan di meja, nanti panggil suami kamu sama papa."
Mereka menyajikan hasil masakan mereka di atas meja makan.
Belum dipanggil pun, kedua pria beda generasi itu sudah menuju dapur sebab mencium aroma makanan yang menggugah selera.
"Wah enak nih."
"Duduk sayang." Kaivan menyuruh Aruna di sampingnya, Aruna pun menurut.
Mereka makan dengan penuh canda tawa. Kaivan diejek oleh kedua orang tuanya, Aruna yang pada dasarnya jiwa-jiwa pelawak bisa bergaul dengan kedua mertuanya untuk menjahili Kaivan.
"Kami bisa keselek kalau ketawa terus," ketus Kaivan saat istrinya tak berhenti menertawakannya.
"Hahaha." Mereka tertawa kembali melihat komuk Kaivan yang datar.
Astaga! Kenapa ia harus dikelilingi orang-orang yang menyebalkan seperti mereka? Serasa tenaganya terkuras habis menahan emosi karena ejekkan mereka.
"Sudah-sudah fokus makan." Deri menghentikan tawanya.
Mereka pun fokus makan, tidak ada yang bersuara sampai mereka selesai.
----------------
"Kalian nginapkan?" tanya Pharita ikut bergabung di ruang tengah.
Kaivan memandang istrinya yang fokus ke arah layar tv.
"Nginap aja, ya. Aruna kalian nginap ya."
"Iya, mah," jawab Aruna melihat wajah melas mertuanya, jadi tak tega.
"Yes, nanti tidur sama mama ya. Biar Kai sama papa."
"Mana bisa gitu dong, mah," ucap anak dan ayah secara bersamaan.
"Kai enggak mau."
"Papa juga enggak setuju."
"Emang mama butuh pendapat kalian? Big no!" Pharita menjulur lidahnya pada suami dan anaknya.
"Dasar betina nyebelin," sahut mereka.
"Ngomong apa kalian?"
"Emang kita ngomong apa, pah?" tanya Kaivan pada papanya.
"Engak ada tuh, orang kita diam-diam aja."
Pharita memandang mereka dengan tatapan mencurigakan. Mereka pun seolah tidak mempedulikan tatapan Pharita dan fokus menonton acara tv.
Ucapan Pharita tadi bukan bercanda, Pharita benar-benar mengajak menantunya tidur bersama.
"Mah enggak bisa gitu dong, mama sama papa aja. Kai sama Aruna, kenapa pada pisah ranjang gini."
"Cuma sehari Kai."
Kaivan terlihat begitu kesal. Ia memandang istrinya yang hanya diam.
"Kamu mau tidur sama mama? Mama suka ngorok."
Pharita melototkan matanya saat mendengar apa perkataan putranya.
"Sejak kapan mama suka ngorok, emang kamu pernah tidur sama mama, ha?"
"Papa yang bilang ke Kai kalau mama suka ngorok." Kaivan menunjuk papanya yang kelihatan pasrah sedari tadi.
Merasa dikambing hitamkan, Deri langsung membulatkan matanya tak terima dituduh-tuduh.
"Sembarangan kamu! Kapan papa ngomong gitu ke kamu," elak Deri. "Mah, jangan percaya ucapan Kai." Deri buru-buru klarifikasi saat melihat Pharita sudah mulai mengeluarkan tanduknya.
"PAPA!" teriak Pharita.
Kaivan menarik istrinya lalu menggendongnya ke kamar mereka saat mamanya mulai menggebuki sang papa.
Dasar anak durhaka emang, demi tidur bersama dengan sang istri dia mengkambingkan hitamkan papanya.
"Ih Ipan. Mama sama papa ribut di luar gara-gara kamu."
"Biarin aja nanti juga mereka baikan."
"Aishh kamu jahil sekali sama mereka," ucap Aruna duduk di tepi ranjang.
Sedangkan Kaivan mengunci pintu agar mamanya tak bisa masuk.
"Mereka juga jahilin saya tadi."
"Tapi mereka orang tua. Nanti mama marah-marah lagi kamu bawa kabur aku."
"Bawa kabur istri sendiri kenapa emang."
Sebelum tidur, mereka membersihkan wajah dulu.
"Mau saya belikan skincare?" tawar Kaivan, memeluk belakang istrinya yang tengah sikat gigi.
"Skincare itu apa? Manfaatnya apa?" tanya Aruna dengan polos.
"Buat menjaga kulit wajah kamu tetap sehat, tapi itu kalau kamu mau. Kalau enggak, enggak apa-apa juga, kamu tetap cantik."
Aruna mencubit gemes perut Kaivan. Benar-benar tukang gombal.
"Aku mau coba, beliin ya."
"Oke sayang." Kaivan mencium tengkuk leher Aruna. "Tapi ada bayarannya."
"Pakai bayaran? Una enggak punya uang."
"No, bukan pakai uang."
"Terus?"
Kaivan membisikkan sesuatu di telinga Aruna membuat gadis itu tiba-tiba tegang.
"U-na belum selesai datang bulan, anunya masih ada darah."
"Kan mintanya yang ini, kalau itu kan emang belum bisa tapi ini bisakan?" tunjuk Kaivan.
"Hmm anu..."
"Lama..." Kaivan menggendong Aruna keluar dari kamar, merebahkan badan istrinya dengan pelan di ranjang.
"Kaya gituan seperti kemarin?" tanya Aruna.
"Hm..."
Tok-tok!
Ah sial, Kaivan benar-benar kesal. Ini pasti penganggunya adalah sang mama yang tak bisa membuatnya bahagia.
"Kaivan buka pintunya, kenapa kamu ambil menantu mama!"
"Mah udah, mereka pasti sudah tidur mending kita juga tidur, ayo." Deri berusaha mengajak istrinya pergi dari sana.
"Ipan enggak mau bukain pintu buat mama?" tanya Aruna pada Kaivan yang berada di atasnya.
"Enggak, Si Rita-Rita itu biar suaminya yang ngurus." Saking kesalnya pada sang mama, Kaivan dengan kurang ajarnya memanggil mamanya pakai nama.