NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:565
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 16

Kabut tebal menyelimuti pagi yang dingin, membungkus pepohonan dan jalan raya yang dilalui oleh seorang pembawa pesan. Kudanya melesat cepat dengan napas yang membentuk uap putih di udara yang beku. Di tas pinggangnya, tersimpan sepucuk surat yang akan menentukan hasil dari perang saudara di Bali.

Ia adalah pembawa pesan yang diutus oleh Aryandra untuk menyampaikan permohonan izin memasuki wilayah Buleleng. Surat itu berisi rencana singkat mengenai serangan kejutan terhadap Karangasem dari arah barat yang merupakan sebuah misi dengan tingkat kerahasiaan tertinggi.

Saat tiba di depan benteng desa Batunya yang didirikan oleh Monasphatika, langkah kudanya perlahan terhenti. Suara keras dari menara pengawas kemudian memecah kesunyian. “Oi, berhenti di sana!” Teriak seorang penjaga menggema di udara.

Para prajurit Monasphatika segera muncul dari balik kabut tebal dengan membawa senapan dan crossbow yang sudah membidik pembawa pesan tersebut. Mereka berbaris rapi di depan gerbang benteng, seolah memblokir akses masuk ke wilayah kekuasaan Monasphatika.

“Siapa kau dan apa tujuanmu ke sini?” Tanya penjaga di menara dengan tegas dan penuh curiga.

Pembawa pesan itu mendongak untuk menatap sang penjaga yang berdiri tegak di menara pengawas. Wajahnya terlihat tenang, meski hatinya berdebar. Ia tahu bahwa satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.

“Aku adalah pembawa pesan dari Badung.” Ujarnya dengan suara lantang dan tegas. “Pemimpinku, I Gusti Ngurah Aryandra Yudistira, memerintahkanku untuk menyampaikan surat ini kepada Indra Bhupendra di Singaraja.”

Para prajurit Monasphatika saling memandang dengan kebingungan terpancar dari wajah mereka. Penjaga di menara pun terlihat ragu, meski wajahnya tersembunyi di balik jubah tebalnya.

“Tunggu di sana dan jangan bergerak!” Perintah sang penjaga sebelum turun dari menara untuk memanggil atasannya.

Beberapa menit berlalu dengan suasana tegang yang masih menyelimuti area itu. Hingga akhirnya, seorang pemuda tinggi berambut plontos muncul menunggangi kuda dengan sikap yang penuh wibawa. Ia adalah Adi, anak gunung yang dipercaya oleh Indra Bhupendra untuk memimpin Monasphatika di area ini. Sorot matanya tajam, memandang pembawa pesan itu dengan curiga.

“Selamat datang di wilayah Monaspathika.” Sambut Adi dengan nada penuh otoritas. “Apa benar kau ingin menyampaikan pesan kepada Indra?” Tanyanya mencoba mengkonfirmasi laporan anak buahnya.

“Benar.” Jawab pembawa pesan itu sambil mengeluarkan surat yang dibawanya. “Ini surat dari pemimpinku untuk Indra Bhupendra.”

Adi mengangguk pelan, namun matanya masih meneliti setiap gerak-gerik pembawa pesan itu. Karena tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, ia akhirnya memberi izin. “Masuklah. Aku akan mengawalmu ke Singaraja.” Ucap Adi datar, namun mengandung ancaman yang tersirat.

Pembawa pesan itu mengangguk sebagai tanda bahwa ia memahami betul risiko yang dihadapi. Adi memerintahkan salah satu bawahannya untuk ikut serta, sebagai langkah antisipasi. Mereka bertiga membentuk formasi berbaris dengan pembawa pesan berada di tengah, sementara Adi berada di belakang untuk mengatasi segala kemungkinan buruk.

Perjalanan hanya diiringi oleh derap kaki kuda dan desir angin yang menerpa dedaunan. Adi, yang sejak tadi telah menahan rasa penasarannya, akhirnya memecah kesunyian.

“Apa isi surat itu?” Tanyanya dengan nada penasaran. “Apa yang diinginkan pemimpin kalian sampai harus mengirim surat kepada Indra?” Tambahnya lagi seakan menginterogasi pembawa pesan tersebut.

Pembawa pesan itu menoleh sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi ke depan. “Beliau hanya memohon izin untuk memasuki wilayah Singaraja.” Jawabnya singkat.

Adi mengerutkan kening karena semakin penasaran. “Memohon izin? Untuk apa?”

Pembawa pesan itu menghela napas, seakan menimbang jawaban yang tepat. “Lihat saja nanti. Kau akan tahu saat surat ini sampai di tangan pemimpinmu.”

Wajah Adi berkerut kesal dengan penasaran yang bercampur dalam dirinya. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Kabut tebal masih menyelimuti jalanan, seakan menyembunyikan rahasia yang sebentar lagi akan terungkap.

...***...

Pagi ini terasa begitu cerah di Kota Singaraja. Matahari menyinari taman kota dengan lembut, menciptakan bayangan yang saru dari pepohonan rindang. Para warga dan pasukan Monasphatika terlihat berkumpul bersama, menciptakan suasana yang ramai dan penuh kehangatan.

Di tengah keriangan itu, Indra terlihat sedang asyik bermain bola dengan sekelompok anak-anak. Tawanya lepas, sementara kakinya lincah menggiring bola untuk menggagalkan upaya anak-anak yang berusaha merebutnya.

Di pinggir lapangan, Azmi sedang duduk santai sambil menyaksikan permainan itu dengan senyum yang terkembang. Sesekali, ia meneriakkan semangat kepada anak-anak yang terus berusaha merebut bola dari Indra. “Ayo anak-anak! Masa kalah sama orang yang babak belur gitu?” Godanya membuat anak-anak tertawa dan semakin bersemangat.

“Kalau kalian berhasil merebut bola ini, aku langsung kasih kalian join Monasphatika, deh!” Tambah Indra, sambil terus menggiring bola dengan lihai.

“WOARHHH!” Teriak anak-anak itu berusaha mengejar bola dengan semangat membara.

Azmi tertawa lepas melihat tingkah polos mereka. Namun, tawanya tiba-tiba terhenti ketika pandangannya tertuju ke arah air mancur di pinggir lapangan. Di sana, terlihat sekelompok pasukan Monasphatika sedang berkerumun dengan wajah yang tegang dan bersiaga. Suasana kehangatan itu tiba-tiba tergantikan oleh ketegangan saat para warga lainnya juga melihat kerumunan tersebut.

“Indra, hentikan dulu.” Ujar Azmi sambil bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju air mancur.

Indra, yang menyadari perubahan suasana itu, segera menghentikan permainan. Ia memberikan bola kepada anak-anak sebelum pergi menyusul Azmi. “Bentar, ya, jangan ikut ke sana.” Ucapnya dengan lembut.

Luthfi dan Alicia, yang sedang sibuk mencatat dan menghitung pasokan kentang dari Pancasari dan Batunya, juga ikut menoleh ke arah keributan itu. Mereka serentak menghentikan pekerjaan masing-masing, lalu berjalan mengikuti Indra dan Azmi.

“Ada apa ini?” Tanya Indra saat ia mendekati kerumunan prajuritnya. Suaranya tegas, namun tetap tenang.

Para prajuritnya kemudian membukakan jalan, lalu memperlihatkan sosok Adi yang sedang bersama seorang pria berpakaian navy khas Pasukan Badung. Wajah Adi terlihat serius, sementara pria itu berdiri dengan sikap hormat sambil memegang erat sebuah surat.

“Oh, kau rupanya, Adi.” Sapa Indra mencairkan ketegangan yang sempat tercipta.

“Iya, lama tak berjumpa, Indra.” Balas Adi tersenyum tipis. “Aku datang ke sini untuk menuntun seorang pembawa pesan dari Ba—”

“Dari Badung, kan?” Potong Indra dengan mata tertuju pada pakaian khas sang pembawa pesan. “Aku sudah tahu. Biarkan dia mendekat.” Perintahnya kepada para prajurit Monasphatika yang terlihat dalam posisi siaga.

Sang pembawa pesan melangkah maju, lalu menyerahkan surat yang dibawanya. “Ini pesan yang ditulis langsung oleh pemimpin kami.” Ujarnya dengan suara rendah namun jelas.

Indra mengambil surat itu, lalu membuka amplopnya dengan hati-hati. Matanya menyapu setiap kata yang tertulis, diiringi dengan wajahnya yang perlahan berubah menjadi lebih serius. Setelah selesai membaca, ia terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. Kemudian, dengan gerakan cepat, ia menulis balasan di bagian belakang kertas surat itu.

“Berikan ini kepada Aryandra.” Ucap Indra, sambil menyerahkan surat balasannya kepada sang pembawa pesan. Ia kemudian mengambil sebuah kantong kecil yang berisi kentang rebus dari tangan salah seorang prajuritnya. “Ini sedikit bekal untuk perjalananmu kembali ke Badung.” Ucapnya sambil memberikan kantong berisi kentang itu.

Sang pembawa pesan yang terlihat sungkan mencoba untuk menolak. “Uh, tidak usah repot-repot. Aku sudah memiliki cukup persediaan.”

Indra menggeleng dengan senyum kecil mengembang di bibirnya. “Nggak usah sungkan. Aryandra yang memintaku untuk melakukan ini di suratnya. Terimalah.” Ucapnya sambil melempar kantong tersebut ke arah sang pembawa pesan. Dengan reflek yang mantap, pembawa pesan itu berhasil menangkapnya dengan baik.

Setelah memberikan persediaan makanan, Indra lalu berjalan menghampiri Adi. “Adi, tolong kawal dia lagi sampai di perbatasan.” Ia kemudian merampas kantong berisi kentang rebus dari tangan salah seorang prajuritnya yang lain. “Ini sedikit perbekalan juga untukmu dan anak buahmu. Terimalah.” Perintahnya sambil menyerahkan kantong kecil itu.

Adi mengangguk sambil menyunggingkan senyum. “Serahkan saja padaku. Terima kasih, Indra.”

...***...

Sehari setelah menerima balasan dari Indra, Pasukan Badung bersiap untuk bergerak menuju Singaraja. Pagi itu, langit masih diselimuti kabut tipis, menciptakan suasana yang sunyi yang menenangkan. Keberangkatan mereka diantar oleh segenap pasukan Aliansi, termasuk Aditya dan Wibisana, yang berdiri tegak dengan wajah penuh harapan.

Saat tiba di Mengwi, rombongan itu berhenti. Mereka saling berhadapan, menciptakan momen yang penuh makna sebelum berpisah. Angin pagi yang dingin berhembus pelan, seakan ikut menyaksikan momen perpisahan ini.

“Pastikan tugasmu berjalan dengan lancar, Aryandra,” Ujar Aditya tegas, namun mengandung banyak harapan. Matanya menatap tajam dengan penuh keyakinan bahwa kemenangan pasti berhasil diraih oleh Aryandra.

“Kami akan berusaha sekuat mungkin untuk mengacaukan pertahanan Karangasem.” Tambah Wibisana dengan nada yang lebih tenang. “Aku mohon, menangkanlah pertempuranmu di Karangasem!”

Aryandra mengangguk pelan dengan wajah yang tersenyum optimis. “Aku akan berusaha sekeras mungkin.” Ucapnya lantang dan penuh keyakinan. Ia tahu bahwa pertempuran ini bukan hanya untuk meraih kemenangan, tetapi juga untuk menyelamatkan Sekar yang saat ini menjadi tawanan Ashura.

Aryandra lalu memberikan pesan terakhir sebelum berangkat menuju Singaraja. “Baiklah, aku mendoakan yang terbaik untuk kalian semua.” Ujarnya dengan hangat dan penuh wibawa. “Aku titip sisa pasukan Badung yang akan bertempur di sisi selatan bersama kalian, ya!”

Pertempuran kali ini memang berbeda. Aryandra hanya membawa 20 persen dari pasukannya, termasuk Alex, sang tangan kanan yang selalu setia. Sisanya akan berperang di sisi selatan Karangasem bersama pasukan Gianyar dan Bangli. Strategi ini harus berjalan dengan baik agar misi penyelamatan Sekar sukses.

“Kemenangan akan dianugerahkan kepada kita!” Teriak Aryandra menggema di antara barisan pasukan Aliansi. Sorakannya berhasil membakar semangat setiap prajurit yang hadir. Mereka semua mengangkat senjata tinggi-tinggi, berteriak dengan penuh semangat, seakan ingin mengusir segala keraguan dan ketakutan.

Setelah selesai bersorak-sorak, Aryandra memutar tubuhnya, lalu pergi menuju Singaraja bersama pasukannya. “Semuanya, menuju Singaraja!” Perintahnya sambil menghunuskan pedangnya ke depan.

Pasukan Badung pun bergerak dengan langkah mantap dan teratur. Suara derap kaki dan gemerincing senjata menciptakan irama yang memenuhi seisi jalan, seolah menegaskan aura keberadaan mereka yang kuat. Di belakang, Aditya, Wibisana serta seluruh Pasukan Aliansi berdiri tegak menatap kepergian mereka dengan harapan dan doa.

...***...

Pasukan Badung yang dipimpin oleh Aryandra akhirnya tiba di Benteng Desa Batunya. Kabut tebal yang menyelimuti area itu berhasil menciptakan suasana misterius dan sedikit menegangkan. Benteng pertahanan yang dibangun oleh Monasphatika dengan bahan dasar bambu tampak sangat kokoh dan mengesankan. Aryandra dan pasukannya terpana melihat struktur benteng yang begitu kuat, namun terbuat dari material yang sederhana.

“Benteng ini benar-benar luar biasa.” Bisik Alex sambil memandang sekeliling dengan kagum.

Mereka kemudian disambut oleh lima orang prajurit Monasphatika yang siap menuntun mereka menuju Singaraja. “Selamat datang di Batunya!” Sambut salah satu prajurit itu dengan suara yang tegas. “Dari titik ini, kami akan menuntun kalian menuju Singaraja.”

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati hamparan pertanian kentang yang indah, hingga mendaki pegunungan yang megah. Ketika mereka mencapai puncak, sinar matahari terlihat menembus kabut sehingga menciptakan pemandangan yang memukau. Selain itu, kawanan monyet liar yang hidup di pegunungan terlihat memandangi mereka dengan tatapan yang lucu. Suasana perjalanan yang seharusnya melelahkan, menjadi tak terasa sama sekali karena keindahan alam yang mereka saksikan

Begitu mereka tiba di Gapura Kota Singaraja, Aryandra dan pasukannya melihat seluruh Pasukan Monasphatika berbaris rapi dengan senyuman hangat untuk menyambut kedatangan mereka. Indra, Luthfi, Kiara, dan bahkan Azmi tampak berdiri di barisan depan sebagai petinggi dari kelompok ini.

Indra melangkah maju untuk menyambut Pasukan Badung dengan suara yang tegas dan lantang. “Selamat datang di Singaraja, Aryandra dan juga Seluruh Pasukan Badung!”

Aryandra mengangguk pelan menerima sambutan hangat dari Indra. “Terima kasih, Indra. Lama tidak berjumpa.”

“Iya, lama tidak berjumpa.” Balas Indra dengan senyum kecil mengembang di bibirnya. Namun, senyuman itu segera hilang ketika ia menghela napas panjang, seolah mempersiapkan diri untuk menyampaikan kabar yang kurang menyenangkan.

“Well, karena kalian kebetulan ingin melewati jalur ini saat kami baru saja selesai membangun benteng, aku rasa kalian harus menunggu sebentar. Kami perlu membongkar kembali barikade yang sudah tertancap ke tanah agar kalian bisa lewat.” Ujar Indra sambil menggaruk belakang kepalanya. “Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Tambahnya lagi sambil sedikit membungkuk untuk menunjukan permohonan maaf yang penuh rasa hormat.

Aryandra mengangguk dengan wajah yang tersenyum hangat. “Tidak masalah, kami bersedia menunggu. Maaf kalian harus repot-repot membongkar barikadenya kembali.” Ujarnya dengan sedikit membungkuk kepada Indra untuk menunjukkan rasa hormatnya.

Indra tersenyum lega, lalu mempersilahkan mereka masuk. “Kalau begitu, silakan masuk ke kota kami.” Ucapnya sambil memberikan jalan kepada Pasukan Badung.

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!