Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Pembangunan
Bulan Desember tiba di Rivendale, membawa hujan yang tak henti-hentinya mengguyur kota. Suhu udara turun drastis, berkisar antara 2°C hingga 10°C, menambah rasa dingin yang menusuk. Langit kelabu menggantung berat, sementara gerimis tak berujung menciptakan genangan-genangan di jalanan berbatu. Pohon-pohon yang meranggas dan dinding-dinding bangunan yang retak akibat kehancuran mencerminkan kesedihan kota yang pernah megah ini.
Bagian timur istana, meskipun sudah tua, tetap berdiri kokoh dan menjadi tempat perlindungan terakhir bagi mereka yang bertahan. Salah satu ruangan yang digunakan adalah kamar pribadi Lady Seraphine, yang kini menjadi pusat pertemuan kecil pagi itu.
Kamar itu hangat, diterangi oleh cahaya pagi yang temaram menembus jendela besar dengan tirai beludru ungu yang sedikit terbuka. Sebuah perapian tua yang terbuat dari batu granit menyala lembut, memberikan sedikit kehangatan di tengah udara dingin. Lady Seraphine berbaring di ranjangnya yang besar, diselimuti kain beludru biru tua, wajahnya tampak pucat tetapi tetap mencerminkan wibawa seorang pemimpin.
Di sofa panjang di sisi lain kamar, Lady Landy berbaring, wajahnya yang kemarin penuh kegelisahan kini lebih tenang setelah menerima ramuan penenang dari Rea. Kaelan berdiri di dekat jendela, memandang hujan yang terus turun tanpa henti. Sementara itu, Rea duduk di kursi kecil di samping tempat tidur Lady Seraphine, memeriksa botol kecil berisi ramuan herbal yang dibawanya.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan Lord Adric melangkah masuk dengan langkah berat. Ia berjalan ke dekat perapian, menatap nyala api seperti mencari ketenangan di dalamnya.
"Ramuanmu berhasil, Rea," kata Lord Adric, memecah keheningan. Suaranya lembut tetapi penuh ketegasan. "Landy terlihat jauh lebih baik pagi ini. Setidaknya, untuk sementara waktu."
Rea mengangguk tanpa senyum, meskipun ada sedikit kelegaan di matanya. "Ramuan itu hanya meredakan gejala. Jika tekanan atau stres datang lagi, kondisinya bisa memburuk."
Lord Adric menghela napas, tangannya membelai janggutnya yang mulai memutih. "Rivendale membutuhkan pemulihan, dan aku tidak bisa melakukannya sendiri." Matanya menatap lantai kayu yang usang. "Bangsawan-bangsawan itu... Mereka hanya peduli pada kekuasaan. Ketika aku kehilangan segalanya, mereka tidak bergerak. Tapi sekarang, ketika kita mulai bangkit, mereka ingin terlibat."
Kaelan menoleh dari jendela, menatap Lord Adric dengan tatapan tajam. "Mereka tidak pantas diberi kesempatan. Setelah semua yang mereka lakukan—atau lebih tepatnya, semua yang tidak mereka lakukan."
"Kaelan," suara Lady Seraphine yang tenang tapi penuh wibawa terdengar dari tempat tidurnya. Ia berbaring sambil menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal tebal. "Kita tidak punya pilihan. Kota ini hancur, dan kita butuh semua sumber daya yang bisa kita kumpulkan. Jika mereka ingin membantu, kita harus menerima. Tapi kita yang akan memegang kendali."
Rea, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Mungkin kita bisa mulai dari penduduk biasa. Mereka yang paling terdampak, tapi juga yang paling siap bekerja keras untuk membangun kembali Rivendale."
Lord Adric menatap Rea, sorot matanya penuh rasa hormat. "Kau benar. Penduduk kita memang tangguh. Tapi mereka butuh arahan, dan itu tugas kita semua. Terutama tugasku."
Lady Seraphine mengangguk lemah, pandangannya tertuju pada peta kecil yang tergantung di dinding dekat meja. "Jika kita ingin melibatkan bangsawan, kita harus melakukannya dengan hati-hati. Mereka mungkin membantu, tetapi kita harus memastikan kita tetap memegang kendali rencana pembangunan."
Kaelan menyilangkan tangan di dada. "Dan bagaimana kita memastikan mereka tidak mengambil alih?"
Lady Seraphine tersenyum tipis, senyumnya penuh arti. "Kita akan mengatur pertemuan di sini. Mereka akan datang kepada kita, di bawah aturan kita."
Lord Adric menambahkan, "Aku sudah memberitahu mereka untuk datang hari ini jika mereka benar-benar ingin terlibat."
"Apa yang akan kita lakukan jika mereka datang?" tanya Rea dengan nada penuh kehati-hatian.
"Kita mulai dengan membahas pekerjaan masyarakat setempat dan potensi Rivendale. Mereka harus tahu bahwa pembangunan ini adalah untuk semua orang, bukan hanya untuk bangsawan," kata Kaelan, sambil melirik lukisan pemandangan yang ada di dinding.
Lady Seraphine mengangguk pelan, tangannya membelai selimut tebal yang menutupi tubuhnya. "Kalau begitu, kita akan menunggu hingga malam untuk mendengar pendapat mereka."
Rea menghela napas panjang, kemudian berkata, "Aku akan mempersiapkan ramuan untuk persiapan. Kita tidak bisa kehilangan lebih banyak orang."
Lord Adric berdiri, menatap semua orang di ruangan itu dengan sorot mata penuh tekad. "Baik. Kita mulai dari sini. Tidak peduli seberapa sulitnya, Rivendale akan bangkit kembali."
Setelah percakapan selesai, Rea pergi ke dapur kecil di bagian belakang istana. Dapur itu sederhana tetapi penuh dengan bahan-bahan herbal yang ditumpuk di meja kayu panjang. Sebuah panci mendidih di atas tungku tua, menyebarkan aroma rempah-rempah yang hangat.
Kaelan menyusulnya, melangkah masuk dengan ekspresi serius. "Rea, kau sudah bekerja sejak pagi. Istirahatlah sebentar."
Rea, yang tengah memotong daun herbal, hanya menggeleng. "Aku hampir selesai, Kaelan. Lagipula, ini penting. Orang-orang bergantung pada kita."
Kaelan memperhatikan wajah Rea yang mulai pucat, lalu melangkah lebih dekat. "Kau keras kepala sekali. Setidaknya, duduklah sebentar."
Rea mengabaikan kata-katanya, tetapi tangannya mulai gemetar saat menuangkan cairan dari botol ke panci. Sebelum ia sempat menyelesaikan pekerjaannya, tubuhnya oleng.
"Rea!" Kaelan menangkapnya tepat waktu, memegang bahunya dengan kuat.
"Aku tidak apa-apa," Rea mencoba menyangkal, meskipun suaranya lemah.
Kaelan mengabaikan protesnya, langsung mengangkat Rea ke dalam pelukannya. "Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Kau butuh istirahat."
"Kaelan, lepaskan aku!" Rea mencoba meronta, tetapi tenaganya terlalu lemah.
Kaelan membawa Rea ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Setibanya di sana, ia membaringkan Rea di atas ranjang sederhana, lalu menarik selimut untuk menutupinya.
"Kau butuh tidur, Rea. Jangan memaksakan diri lagi," katanya dengan nada tegas, tetapi ada kelembutan di matanya.
Rea mendesah, matanya menatap Kaelan dengan rasa tidak percaya. "Tapi aku harus menyelesaikan ramuan..."
Kaelan mendekatkan wajahnya, menatap Rea dengan tatapan serius yang sulit dibantah. "Kalau kau tetap keras kepala, aku akan mengurungmu di sini," katanya sambil meraih bahunya dan menariknya ke dalam pelukan.
Rea membelalak, tetapi tubuhnya terlalu lelah untuk melawan. "Kaelan... apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.
Kaelan tidak menjawab, hanya memeluknya lebih erat, seolah memastikan bahwa Rea merasa aman. "Kau selalu memikirkan orang lain lebih dari dirimu sendiri. Sekali saja, biarkan aku yang menjagamu."
Wajah Rea memerah, tetapi kali ini ia tidak lagi berusaha melepaskan diri. Ada sesuatu dalam nada suara Kaelan—kelembutan yang jarang ia tunjukkan—yang membuat jantung Rea berdegup lebih cepat.
"Aku tidak butuh dijaga," gumam Rea, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Kaelan terkekeh pelan, nada suaranya terdengar lebih hangat daripada biasanya. "Kau mungkin bisa menyembuhkan semua orang di Rivendale, tapi kau tidak pandai menjaga dirimu sendiri, Rea. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh sakit."
Ia membaringkan Rea kembali di atas ranjang dengan hati-hati, kemudian duduk di sampingnya. Tatapan Kaelan kini lebih lembut, matanya menyapu wajah Rea yang pucat tetapi tetap menawan di matanya.
"Kau tahu, aku sering memarahimu karena keras kepala. Tapi sebenarnya aku..." Kaelan berhenti sejenak, seolah-olah ragu untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangannya, tetapi wajahnya mulai memerah.
Rea memiringkan kepala, menatapnya dengan penasaran. "Sebenarnya apa?" tanyanya pelan, nada suaranya kini lebih tenang.
Kaelan menghela napas dalam, lalu mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Rea dengan lembut. "Aku khawatir padamu," katanya akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh kejujuran. "Setiap kali kau memaksakan diri, aku takut sesuatu terjadi padamu. Dan aku... aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika itu terjadi."
Rea terdiam, menatap Kaelan dengan mata membesar. Ia tidak menyangka mendengar hal seperti itu darinya. Kaelan yang biasanya dingin dan tegas kini tampak begitu rentan.
"Kau tidak perlu khawatir," Rea akhirnya berkata, meskipun suaranya bergetar. "Aku tahu batasanku."
"Tapi aku tidak tahu," jawab Kaelan cepat. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Rea, matanya mengunci pandangan Rea. "Aku tidak ingin kehilanganmu, Rea."
Kata-kata itu menggantung di udara, membuat suasana di antara mereka berubah menjadi lebih intim. Rea merasa wajahnya semakin memanas, tetapi ia tidak bisa memalingkan tatapannya. Ada kejujuran yang tulus di mata Kaelan yang membuatnya tak mampu berkata-kata.
"Kaelan..." gumamnya pelan, tetapi ia tidak melanjutkan.
Tanpa disadari, Kaelan meraih tangan Rea dan menggenggamnya erat. Jari-jarinya yang kasar terasa hangat, memberikan rasa nyaman yang aneh di tengah dinginnya udara pagi. "Aku tidak pernah mengatakan ini sebelumnya," katanya, suaranya nyaris berbisik. "Tapi kau penting bagiku, Rea. Lebih dari yang pernah kusadari."
Rea terdiam, merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Namun, genggaman tangan Kaelan memberinya keberanian untuk mengakui perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
"Kaelan..." Akhirnya ia membuka suara, meskipun masih ragu. "Aku juga... aku juga peduli padamu."
Mata Kaelan melembut, senyumnya muncul perlahan, membuat wajahnya yang biasanya serius terlihat jauh lebih hangat. Ia mengangkat tangan Rea, lalu mengecupnya dengan lembut.
"Kalau begitu, mulai sekarang, biarkan aku melindungimu," katanya dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti sebuah janji.
Rea tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. Ia merasa jantungnya perlahan tenang, seolah kehadiran Kaelan memberinya kekuatan baru. "Asal kau tahu, aku tetap tidak akan berhenti bekerja," katanya, mencoba meredakan ketegangan dengan nada bercanda.
Kaelan terkekeh, menggoyangkan kepalanya. "Aku tidak akan meminta itu. Tapi kau harus berjanji untuk mendengarkan tubuhmu dan istirahat saat kau membutuhkannya."
Rea mengangguk pelan. "Baiklah. Aku janji."
Kaelan memeluknya lagi, kali ini dengan lebih lembut. Di luar, hujan masih mengguyur kota Rivendale, tetapi di dalam kamar itu, kehangatan cinta yang mulai tumbuh di antara mereka mengusir dingin yang membekukan.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih