SUDAH TERBIT CETAK
Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.
Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.
Beautifully Painful.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Cinta Selalu Ada
Anja
Ia sengaja memilih untuk duduk di bangku yang menempel di sisi kanan halte bernuansa terang benderang karena pijaran cahaya lampu neon yang berbaris panjang di bagian tengah atapnya.
Memperhatikan lalu lalang orang yang kian malam tak juga berkurang keramaiannya. Menampakkan gelombang manusia yang sibuk dengan urusan masing-masing. Datang dan pergi silih berganti seolah tiada habisnya.
Pendaran sinar warna-warni yang berasal dari lampu jalan, lampu penerangan di jembatan penyeberangan, lampu yang berasal dari antrian mobil dan motor yang lewat di depan halte, hingga kelap-kelip lampu dari gedung-gedung di sekitar halte semakin menambah semarak suasana malam.
Ia mulai gelisah karena Cakra tak kunjung datang. Sementara malam kian larut, dan ia menggigil kedinginan plus ketakutan meski halte masih dipenuhi orang namun terasa asing karena tak satupun yang dikenalnya.
Ketika ia sudah hampir menangis, tiba-tiba Cakra muncul sambil terengah dengan wajah yang lebam kebiruan akibat dipukuli Mas Sada siang tadi. Yang begitu melihatnya duduk menyandar di salah satu sisi halte dengan wajah mengkerut, langsung tersenyum lega.
"Lama banget sih!" gerutunya kesal sambil menyusut sudut mata.
Namun Cakra tak menjawab, malah balik bertanya, "Kamu kenapa lagi?"
"Gue kabur dari rumah!" jawabnya cepat. Membuat kedua mata Cakra seolah mau copot.
"Udah nggak usah banyak nanya!" lanjutnya sebelum Cakra angkat bicara. "Intinya gue males di rumah! Nggak ada orang! Gue tidur di rumah lo aja!"
Cakra memandangnya sambil menghela napas, "Nggak mungkin tidur di rumahku, Ja."
"Kenapa nggak mungkin?!" salaknya cepat. Toh ia pernah beberapa kali tidur di rumah teman cowoknya rame-rame dengan teman yang lain saat ada event ramean. Apalagi di rumah Dipa, sering banget malah. Dan semua fine fine aja kok. Orang cuma numpang tidur doang. Hel to the loo, kenapa Cakra malah melarang?
"Rumahku kecil, nggak ada kamar lagi...."
"Gue bisa tidur di ruang tamu!" potongnya cepat.
Cakra kembali menghela napas, "Di tempatku, tamu menginap 24 jam harus lapor ke RT."
"Ribet amat sih!" sungutnya. "Ya tinggal lapor doang!"
Ucapannya membuat Cakra melotot, "Kamu mau digrebek warga?! Muda mudi lawan jenis tidur serumah."
"Belum nanti Mamak pasti marah karena ngajak anak gadis orang tidur di rumah," lanjut Cakra sambil menggelengkan kepala.
"Ngehamilin anak orang aja nggak marah, ini cuma numpang tidur doang. Nggak masalah kan?!" cibirnya sinis.
"Anja!" kini mata Cakra benar-benar menyiratkan kemarahan. "Apa kamu selalu nyebelin begini?!"
"Gue nyebelin?!" bentaknya ikut marah. "Elo lebih nyebelin!"
Cakra menggelengkan kepala dengan wajah muram, "Mak bukannya nggak marah. Tapi terlalu marah sampai nggak bisa marah lagi!"
"Dan kamu....bisa nggak berhenti bersikap kekanak-kanakan? Nggak ngerepotin orang lain, nggak bikin masalah baru sementara masalah lama belum ada yang beres."
"Oh, jadi selain nyebelin gue juga ngerepotin elo?!" potongnya semakin marah. Huh, sepertinya keputusan pergi dari rumah adalah kesalahan besar. Karena ternyata Cakra tak bisa menjadi problem solvernya.
"Oke! Gue pergi sendiri!" lanjutnya cepat sambil berdiri lalu beranjak dari halte dengan menghentakkan kaki. Namun Cakra keburu menarik lengannya.
"Lepasin!!" pekiknya marah.
"Anja," Cakra memperingatkan melalui kedua matanya. "Please. Jangan teriak-teriak di tempat umum. Nanti orang ngira aku lagi jahatin kamu."
"Emang elo jahatin gue!" pekiknya sambil mulai terisak. Entah kenapa akhir-akhir ini ia jadi gampang marah dan menangisi hal-hal remeh.
"Oke...oke....," Cakra mengangkat kedua tangan keatas tanda menyerah. Kemudian menarik tangannya agar kembali duduk di bangku yang kosong.
"Sekarang kamu maunya gimana?" ujar Cakra yang duduk di sebelahnya, dengan mata memandang lurus ke depan ke keramaian jalan raya. Namun masih tetap menggenggam erat tangannya.
"Ini udah malam. Kamu harus banyak istirahat. Besok kita harus sekolah. Bukannya marah-marah di halte begini."
"Gaya ngomong lo kayak bapak bapak tua!" sungutnya sambil berusaha melepaskan diri dari genggaman Cakra, namun gagal karena Cakra justru semakin menautkan jemarinya.
"Aku emang mau jadi bapak, Ja."
Membuatnya semakin keras berusaha untuk melepaskan diri. Namun Cakra tetap pada pendiriannya, tak mau melepaskan. Akhirnya ia pun menyerah tetap digenggam sedemikian rupa meski dengan hati dongkol.
Sesaat mereka berdua terdiam. Sama-sama memandang lurus ke depan dimana pendaran lampu warna-warni terus berpijar seakan membentuk garis lurus yang tak terputus. Sesekali diselingi pekikan klakson dan suara pemberitahuan kondektur bus di depan pintu masuk bus yang berhenti di halte.
Namun duduk diam dengan tangan saling menggenggam lama kelamaan mendatangkan rasa kantuk dan lelah. Terlebih malam semakin larut, membuat mulutnya beberapa kali menguap lebar.
"Aku antar kamu pulang ke rumah," ujar Cakra memecah keheningan diantara mereka.
Namun kenyatannya, setengah jam kemudian ia tengah menunggui Cakra yang sedang mendaftar di resepsionis hotel. Yap, hotel yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Hotel murahan yang AC nya mati dengan suara-suara le ngu han aneh di sekeliling dinding kamar ketika malam hari.
Ia sebenarnya menolak mentah-mentah ide Cakra untuk menginap disini. Namun karena ia pergi dari rumah dengan meninggalkan semua kartu yang bisa mengeluarkan uang miliknya. Hanya membawa sejumlah uang tunai yang ada di dompet. Menolak ide Cakra jelas bukan jalan keluar sempurna. Karena ia juga tak punya uang.
"Percaya atau enggak," suara Cakra membuyarkan lamunannya. "27 again," sambil menggoyang-goyangkan bentuk kunci yang sangat dikenalnya. Kunci yang menggantung di sebuah benda berbentuk persegi panjang berwarna merah menyala dengan tulisan angka 27 yang hampir memudar. Damn!
"Nggak lucu!" sungutnya sambil berjalan lebih dulu meninggalkan Cakra menuju lift.
"Besok kuantar pulang ke rumah," ujar Cakra setelah mereka masuk ke dalam kamar dan kini sedang duduk-duduk. Ia duduk di atas tempat tidur, sementara Cakra duduk di atas kursi plastik. Like yesterday.
"Udah dibilang gue lagi nggak mau pulang!"
Namun Cakra tak menghiraukan gerutuannya, "Kakak kamu nanti nyariin."
"Kakak gue lagi sibuk ngurusin Papa."
"Mama kamu nanti nyariin."
"Mama juga sibuk ngurusin Papa."
"Kamu begini malah bikin Papa kamu tambah sakit. Besok tetap aku antar pulang ke rumah."
"Nggak mau!"
"Kamu kan harus sekolah. Aku juga."
"Gue nggak akan sekolah. Sampai hari Selasa batas waktu elo bayar utang yang 6 juta!" pekiknya kesal karena Cakra tak juga mengerti.
"Habis itu lo antar gue ke klinik buat aborsi."
"Masalah beres. Kita nggak akan ketemu ketemu lagi. Kita jalani hidup masing-masing seperti semula!"
Sesaat Cakra memejamkan mata lalu menghembuskan napas panjang, "Tapi kalau hari Selasa aku bisa balikin yang 6 juta, kamu harus janji lanjutin sampai lahir, terus pulang ke rumah."
Semalaman Cakra tidur dalam posisi duduk di kursi, sementara ia nyaman di atas tempat tidur. Sebenarnya ia merasa kasihan melihat Cakra harus tidur dengan posisi menekuk. Tapi gengsi untuk menawarkan bantuan. Alih-alih bukannya menolong, nanti malah kejadian hampir lima bulan lalu terulang kembali. Amit-amit. Knocked on the woods three times.
Pagi harinya Cakra pergi sebentar membeli sarapan untuk mereka berdua. Nasi uduk tanpa bihun dan sambal untuknya.
"Makasih," ujarnya sambil merengut dan langsung melahapnya karena lapar.
"Nanti aku pergi sebentar," ujar Cakra di sela-sela mereka sarapan. "Kamu jangan kemana-mana sampai aku datang."
"Kunci pintu dari dalam. Nggak usah keluar."
"Itu udah kusiapin makanan sama cemilan," kali ini sambil menunjuk kantong kresek putih besar yang penuh berisi makanan dan minuman.
"Jangan matiin ponsel. Nanti aku kirim makan siang pakai Ojek online."
"Gue ganti nomor!" jawabnya cepat. Membuat Cakra mengernyit.
"Gue kan lagi kabur dari rumah! Nggak mau ngomong sama orang rumah! Jadi harus ganti nomor! Ntar gue chat lo duluan!" sungutnya dengan mulut penuh mengunyah nasi uduk.
Namun ternyata, arti dari kalimat 'nanti aku pergi sebentar' adalah pergi dari pagi sampai petang, barulah Cakra muncul batang hidungnya.
"Lo kemana sih?!" semburnya marah hampir menangis. "Ninggalin gue seharian kayak orang be go!"
"Dibilang kuantar ke rumah nggak mau," Cakra mengkerut. Membuatnya semakin marah lalu melempar bantal dengan kekesalan memuncak yang tepat mengenai muka Cakra.
Tapi Cakra tak terpancing emosi. Dia justru mendudukkan diri di kursi plastik sambil berkata, "Yang 6 juta mau di transfer atau cash?"
"Transfer!" jawabnya cepat dengan ketus.
"Minta nomor rekeningnya."
"Emang udah ada duitnya?!"
Dari sudut mata ia menangkap bayangan Cakra yang mengangguk. Membuatnya berubah pikiran, "Nggak jadi transfer deh! Cash aja!"
"Kalau transfer sekarang, kalau cash besok."
"Cash! Biar bisa gue pakai. Kalau transfer gue nggak bawa kartunya!"
"Oke," Cakra mengangguk. "Berarti besok. Sekarang....kamu mau makan malam sama apa?"
"Gue mau makan di luar!" jawabnya antusias. "Males seharian di kamar melulu!"
Cakra mengajaknya menyusuri jalan raya yang terletak tak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Dimana terdapat deretan tenda yang menjual kuliner khas malam hari. Ada nasi goreng, seafood, pecel lele, sate, hingga martabak dan roti bakar.
Ia yang lapar berat memilih pecel lele yang tendanya paling ramai pengunjung. Ramai identik dengan enak bukan? Ia pun langsung memesan lele dan tahu tempe.
"Lelenya yang kering ya," pintanya pada penjual. Ia memang sangat menyukai lele goreng kering. Kriuk di luar, lembut di dalam. Belum dicocol dengan sambal khas pecel lele, hmmm sedaaap.
Sambil menunggu pesanan datang, ia mengecek ponsel untuk melihat-lihat sosmed. Yang dipenuhi DM dari teman-temannya. Hanum, Bening, bahkan Dipa. Memberikan pertanyaan yang sama, "Lo kenapa nggak masuk Ja? Lo baik-baik aja kan?"
Dan, "Pulang sekolah gw ke rumah elo nya nggak ada. Semoga karena lo lagi di RS nungguin Papa lo ya Ja."
Juga, "Anja, nomor lo kok nonaktif sih? Telpon gue sekarang."
Namun tak ada satupun yang dibalas. Ia benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Jauh dari orang-orang di sekitarnya. Mungkin besok atau beberapa hari lagi, ia akan siap pulang ke rumah dan kembali pergi ke sekolah. Tidak sekarang.
Begitu pesanan datang, ia langsung melahapnya. Sama sekali tak mempedulikan Cakra. Sekilas sudut matanya menangkap bayangan, piring di depan Cakra berisi menu yang sama.
Mereka makan dalam diam. Usai makan Cakra langsung membayar lantas mengajaknya kembali ke hotel.
"Lo tulis tuh semua pengeluaran lo buat gue dari kemarin. Ntar gue bayar kalau udah ada yang 6 juta!" ujarnya memecah kesunyian karena sejak keluar dari tenda pecel lele Cakra tak mengucapkan sepatah katapun.
"Nggak usah," jawab Cakra singkat.
"Nggak usah gimana?!" salaknya kesal. "Gue nggak mau punya utang! Apalagi ke elo!"
"Ini bukan utang kok," kini Cakra sambil menatapnya. "Aku sengaja beliin buat kamu."
Ia hanya mencibir sebal dan terus berjalan.
"Nanti cewek lo marah ke gue lagi!" lanjutnya teringat sesuatu.
"Aku nggak punya cewek."
"Putus gara-gara lo ngehamilin gue?!"
Cakra menghentikan langkah lalu menatapnya kesal, "Bisa nggak lo bersikap normal dan nggak mancing emosi?!"
Ia balas memelototi Cakra, "Enggak!" Baru menyadari jika Cakra kembali memanggilnya dengan sebutan elo bukan kamu seperti beberapa hari terakhir.
"Salah lo sendiri kenapa bisa kepancing emosi?!" lanjutnya sengit.
"Buktinya, temen-temen gue pada betah berteman ama gue! Nggak pernah ribet kayak lo kebanyakan protes! Emang gue orangnya begini! Lo nya aja yang nggak bisa ngontrol emosi! Kenapa jadi gue yang disalahin?!"
Cakra hanya menghembuskan napas mendengar seluruh ucapannya. Lalu berkata dengan wajah serius, "Gue jadi pingin lihat saat lo bener-bener jadi diri lo sendiri. Nggak rebel dan kekanak-kanakan kayak begini."
"Apa lo bilang?!" balasnya sengit. Cakra ini kalau ngomong selalu menyebalkan dan sok tua deh.
"Pastikan gue ada disana saat lo jadi diri sendiri," lanjut Cakra tenang bahkan sambil tersenyum. "Gue yakin bakal jatuh cinta sama lo at the first sight."
Ucapan Cakra membuatnya makin melotot marah.
"Lo tahu kenapa Dipa lebih milih Tiara daripada lo?" Cakra masih tersenyum.
"Kok jadi ke Dipa sih?!"
"Karena lo sering nggak ngehargain orang."
"Ngedikte orang yang ujung-ujungnya nyalah-nyalahin orang."
"Lo juga sering sok tahu yang bikin kita, cowok-cowok ngerasa nggak diakui dan nggak dipercaya."
"Lo terlalu ingin mendominasi, dan itu nggak banget."
Ia tak lagi mampu mendengar ucapan Cakra selanjutnya. Lebih memilih untuk berjalan terlebih dulu dengan air mata berlinang. Apakah memang sifatnya seburuk itu?
"Anja," Cakra berusaha meraih tangannya namun ia keburu menghindar.
"Tuh kan, elo tuh kekanak-kanakan," keluh Cakra. "Dikasih tahu dikit langsung marah, langsung nangis. Gimana eng...."
"Diem lo!" bentaknya dengan air mata berderai.
"Emangnya siapa elo ngejudge gue begitu?! Kita bahkan nggak pernah saling kenal sebelumnya. Emang lo tahu siapa gue?! Enggak kan?!" desisnya sambil terisak.
"Elo nggak punya hak ngomong begitu ke gue!"
"Iya, Ja, gue minta maaf," Cakra masih berusaha meraih tangannya. Namun ia selalu menghindar.
"Gue nggak bermaksud nyakitin elo. Gue cuma pi...."
"Yang nggak ngehargain orang tuh elo!" ia mengarahkan telunjuk tepat di depan hidung Cakra.
"Siapa yang ngehancurin kaca ruang guru?! Siapa yang ngelawan kepala sekolah?! Siapa yang berantem sama guru sampai teriakan lo kedengeran seantero sekolah?!"
"Dan sekarang elo bikin gue hamil!!"
"Apa namanya kalau bukan brengsek sok tahu?!" pekiknya marah sambil meninggalkan Cakra dengan setengah berlari menuju ke hotel.
Dan karena merasa sangat marah, malam ini ia pun kembali membiarkan Cakra tidur menekuk di atas kursi. Ia bahkan tak mengajak bicara sama sekali. Bersikap seolah-olah Cakra tak ada di sana.
mas sadaaaa,anja nakal nih mancing² buat adegan punggung seputih susu part 2😂