Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Keraguan
Hari-hari berlalu dengan kedamaian yang mulai terasa asing bagi Dafit dan Aletha. Keduanya tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa dibilang sempurna, tetapi mereka juga menyadari bahwa ketidaksempurnaan itu tidak harus menghalangi mereka untuk terus berjalan bersama. Mereka menikmati setiap momen bersama, meskipun kadang tidak ada kata-kata yang terucap, karena kehadiran mereka sudah cukup untuk mengisi ruang kosong di hati masing-masing.
Suatu sore yang cerah, mereka duduk di bangku taman dekat sekolah setelah selesai belajar. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, memberikan sensasi dingin yang menyegarkan. Aletha memandang ke arah langit yang berwarna biru cerah, dengan awan putih yang bergerak pelan. Dafit duduk di sampingnya, menatap wajah Aletha yang terlihat tenang, tetapi matanya menyiratkan banyak hal yang belum dia ungkapkan.
"Tha," kata Dafit, suaranya lembut namun penuh perhatian. "Lo lagi mikirin apa?"
Aletha menoleh, memandang Dafit dengan senyuman tipis di wajahnya. "Gue lagi mikirin kita," jawab Aletha pelan. "Kita tuh, nggak tahu kenapa, selalu berhasil bertahan meskipun banyak hal yang nggak sesuai dengan ekspektasi kita. Kadang gue nggak ngerti gimana kita bisa sampai di titik ini. Gue nggak pernah ngebayangin kita bisa begini, Angkasa."
Dafit tersenyum tipis, kemudian mengerling dengan santai. "Lo maksudnya kita berhasil bertahan dari ujian matematika tadi, ya?" katanya, mencoba meredakan ketegangan dengan humor ringan. "Itu juga salah satu pencapaian, kan?"
Aletha tertawa pelan, namun tawa itu segera mereda ketika ia kembali merenung. "Gue nggak cuma mikirin ujian, sih," kata Aletha, suara halusnya mulai mengandung keraguan. "Gue mikirin hubungan kita. Gue sering merasa, kadang gue nggak pantas ada di sini, di sebelah lo. Gue kadang merasa kalau gue nggak cukup baik buat lo, kalau gue nggak memenuhi harapan lo."
Dafit menatap Aletha dengan pandangan lembut, memahami perasaan yang tak terucapkan. Ia merasakan betapa Aletha berjuang melawan keraguan dan ketakutannya sendiri, meskipun di luar, dia terlihat tenang dan tegar. "Jangan ngomong kayak gitu, Tha," jawabnya perlahan, menatapnya dengan serius. "Lo nggak perlu ngerasa kayak gitu. Gue tahu kalau kadang lo merasa nggak yakin, tapi percayalah, lo nggak pernah gagal di mata gue. Gue percaya kita bisa melewati segala hal yang ada di depan, kita nggak perlu sempurna buat bisa bareng. Yang penting adalah kita jujur sama perasaan kita, dan kita ada satu sama lain."
Aletha menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang mulai menguasai dirinya. "Tapi kadang gue takut, Angkasa. Gue takut kalau kita terlalu terikat dengan ekspektasi, sama harapan-harapan yang sepertinya nggak realistis. Gue takut kalau akhirnya kita justru merusak apa yang sudah kita bangun, kalau kita jadi terjebak dalam hal-hal yang nggak bisa kita kontrol."
Dafit menghela napas panjang, meraih tangan Aletha dengan lembut dan menggenggamnya erat. "Gue ngerti perasaan lo, Tha. Gue juga takut, kadang. Tapi kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi kalau kita nggak coba, kan? Kita cuma perlu berkomunikasi dan jujur sama perasaan kita, nggak perlu khawatir tentang masa depan atau apapun yang belum pasti. Yang penting sekarang, kita ada di sini, bersama-sama. Itu lebih dari cukup untuk gue."
Aletha menatap tangan mereka yang saling menggenggam, merasakan kehangatan yang menenangkan dari sentuhan itu. Ia merasa sedikit lebih tenang, meskipun masih ada kekhawatiran yang mengendap di dalam hatinya. "Lo pernah ngerasa takut nggak sih, kalau kita nanti nggak seperti yang kita bayangin? Kalau kita nanti harus berpisah, atau kalau semuanya berubah?" tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar.
Dafit menatapnya dalam-dalam, seakan ingin memastikan bahwa Aletha bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Tentu. Gue takut, kadang. Gue takut kalau kita nggak bisa bertahan, atau kalau ada hal-hal yang membuat kita terpisah. Tapi, gue percaya kalau kita bisa melewati semua itu, Tha. Gue yakin kita bisa lebih kuat dari ketakutan kita. Kalau kita terus jujur satu sama lain dan tetap berusaha, kita akan selalu punya jalan."
Aletha terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dafit yang begitu penuh makna. Ia merasa ada sesuatu yang perlahan meresap dalam dirinya, memberi rasa aman yang selama ini ia cari. "Makasih, Angkasa," kata Aletha akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang. "Gue merasa lebih tenang kalau gue tahu lo ada di sini, kalau gue nggak sendirian."
Dafit tersenyum lebar, melihat ekspresi Aletha yang mulai lebih terbuka. "Gue selalu ada buat lo, Tha," jawabnya lembut. "Kita nggak perlu langsung punya jawaban untuk semuanya. Yang penting adalah kita terus berusaha dan saling mendukung. Kita jalanin aja pelan-pelan, tanpa terburu-buru. Yang penting, kita nggak perlu khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan atau apa yang mungkin terjadi di masa depan."
Aletha menatapnya dengan penuh rasa syukur, merasakan kelegaan yang mendalam. "Pelan-pelan aja, ya?" tanyanya, matanya berbinar, seperti menemukan jalan keluar dari keraguan yang selama ini menghantuinya.
"Pelan-pelan," jawab Dafit dengan mantap, mengangguk penuh keyakinan. "Tapi kita tetap bergerak maju, Tha. Kita nggak perlu takut untuk jatuh, karena kita selalu punya satu sama lain untuk saling menopang. Kita nggak sendirian, dan kita nggak akan pernah sendirian lagi."
Sore itu, mereka duduk berdua di taman, tidak ada kata-kata besar yang perlu diucapkan, hanya saling berbagi kehadiran dan keheningan yang nyaman. Mereka tahu, meskipun masa depan penuh ketidakpastian, mereka bisa melangkah bersama, sedikit demi sedikit, tanpa terburu-buru, pelan-pelan tapi pasti.
---
Beberapa minggu kemudian, ketika mereka berada di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai, Aletha kembali berbicara tentang perasaan yang selama ini ia pendam. "Angkasa, gue nggak tahu kenapa, tapi setiap kali gue ngerasa yakin, ada aja keraguan yang muncul. Kadang gue mikir, mungkin gue belum siap untuk semua ini. Gue takut kalau gue bakal mengecewakan lo."
Dafit menatapnya dengan tatapan penuh pengertian, mengerti bahwa ketakutan Aletha datang dari rasa tidak percaya diri yang mendalam. "Lo nggak perlu khawatir, Tha," jawabnya lembut. "Gue nggak mengharapkan kesempurnaan dari lo. Gue tahu lo bukan orang yang sempurna, dan gue juga nggak sempurna. Tapi kita saling belajar dari satu sama lain. Kita nggak perlu selalu punya jawaban untuk semuanya, yang penting kita berusaha, kan?"
Aletha tersenyum pelan, merasakan kenyamanan dalam setiap kata yang diucapkan Dafit. "Makasih, Angkasa. Lo selalu tahu bagaimana caranya membuat gue merasa lebih baik, bahkan di saat gue ngerasa nggak cukup baik."
Dafit mengangguk, senyumnya menghangatkan hati Aletha. "Gue cuma ingin lo tahu, kalau gue ada di sini. Kita mungkin belum tahu semua jawaban, tapi gue yakin kita bisa mencari jawaban itu bersama-sama."
Malam itu, setelah mereka selesai makan, Dafit mengantar Aletha pulang ke rumah. Ketika mereka berdiri di depan pintu, ada keheningan yang terasa lebih dalam, namun tidak ada rasa canggung. Dafit menatap Aletha dengan penuh perhatian. "Tha, gue nggak tahu apa yang bakal terjadi besok atau lusa, tapi gue yakin satu hal," katanya dengan suara serius, "Gue nggak ingin kehilangan lo."
Aletha menatapnya, matanya sedikit berkaca-kaca. "Gue juga nggak mau kehilangan lo, Angkasa," jawabnya, suaranya hampir berbisik. "Gue takut, tapi... gue tahu kita bisa menghadapi semuanya, asal kita ada satu sama lain."
Dafit tersenyum, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia meraih tangan Aletha dan menggenggamnya erat. "Kita nggak harus sempurna, Tha. Yang penting kita ada untuk satu sama lain. Gue janji, kita nggak akan pernah pergi."
Aletha mengangguk pelan, merasakan ketenangan yang mulai mengalir dalam dirinya. "Iya, kita nggak akan pergi. Kita akan jalani ini pelan-pelan, tapi kita akan terus berjalan bersama."