Sebuah ramalan kuno mengguncang keseimbangan antara para Akasha dan para Moksa, mereka tinggal di pusat alam semesta bernama Samavetham. Ramalan itu meramalkan kelahiran seorang Akasha terkuat di sebuah planet kecil, yang akan membawa perubahan besar bagi semua makhluk hidup. Ketika para Moksa berusaha menggunakan pohon Kalpataru untuk mencapai ramalan tersebut, para Akasha berupaya mencegah kehancuran yang akan dibawanya.
Di Bumi, Maya Aksarawati, seorang gadis yatim piatu, terbangun dengan ingatan akan mimpi yang mencekam. Tanpa dia sadari, mimpinya mengisyaratkan takdirnya sebagai salah satu dari 12 Mishmar, penjaga dunia yang terpilih.
Ketika ancaman dari organisasi misterius semakin dekat, Maya harus berhadapan dengan kekuatan baru yang bangkit di dalam dirinya. Dibantu oleh reinkarnasi Mishmar yang lain, Maya harus menemukan keberanian untuk melawan atau menghadapi konsekuensi yang dapat mengubah nasib seluruh alam semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Feburizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SENYUMAN KEGELISAHAN
Sesampainya di panti asuhan Dharma di kota Kalynda pada siang harinya, udara segar dan hangat dari matahari yang bersinar menyelimuti panti yang dikelilingi oleh pagar besi bercat putih. Suara tawa riang anak-anak yang bermain di halaman seketika terhenti saat mendengar bus berhenti di depan gerbang panti. Beberapa anak segera melompat bangun, berlari ke arah gerbang.
"Maya! Rendi!" seru seorang anak kecil sambil berlari cepat. Langkah kaki mereka yang tergegas meninggalkan suara riuh langkah kecil di atas kerikil halaman yang berdebum.
"Kalian pulang! Apa kalian baik-baik saja? Kami dengar kalian sakit!" tanya seorang anak perempuan dengan wajah cemas, suara pelan terdengar tertahan, berusaha menahan kepanikan.
Maya hanya mengangguk lemah, sementara Rendi mengangkat tangan, memberi isyarat agar suasana tidak semakin ramai. "Santai saja, aku baik-baik saja. Lebih penting, kasih kami jalan, ya," ujarnya datar, namun dengan nada yang khas, masih terdengar sedikit tegas.
Suster Evlin tersenyum lembut, mengangkat tangannya untuk menenangkan anak-anak yang mulai berkerumun. "Sudah, beri mereka ruang dulu ya. Maya dan Rendi baru saja pulang. Biarkan mereka masuk dan beristirahat dulu." Suara langkah kaki anak-anak mundur terdengar semakin pelan di lantai kerikil halaman, memberi mereka ruang.
Sementara itu, Maya dan Rendi berjalan melewati gerbang panti, disambut dengan hembusan angin sore yang membawa aroma masakan siang yang sudah siap. Begitu mereka memasuki bangunan panti yang sederhana namun hangat, suasana ruangan dengan aroma masakan yang sedap langsung terasa. "Makan siang sudah siap. Maya, Rendi, kalian makan dulu sebelum beristirahat," ujar Suster Evlin lembut, berusaha mencairkan suasana, seperti biasa.
Di ruang makan, suara sendok dan piring saling beradu bergema di antara anak-anak yang berbincang riang. Namun, Maya dan Rendi makan dalam diam, lebih banyak tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, meski suara percakapan di sekitar terasa riuh.
Setelah makan, Maya kembali ke kamarnya, namun tak lama setelah ia merebahkan diri di kasur yang empuk, pintu kamarnya terbuka dengan suara berderit pelan.
"May! Ikut aku ke ruang baca yuk. Aku perlu bicara denganmu," kata Rendi singkat, dengan nada tanpa basa-basi. Suara langkah kaki Rendi yang segera menjauh terdengar menambah kesan mendesak pada perkataannya.
Maya mengerutkan alis. "Nggak mau ah. Aku capek," jawabnya malas sambil memutar badan menghadap tembok. "Tapi ini penting," balas Rendi tegas. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia langsung pergi.
Dengan enggan, Maya bangkit dan berjalan menuju ruang baca. Langkah kakinya yang pelan di atas lantai kayu mengalun kosong, menciptakan suara yang memberi kesan sepi di lorong. Begitu tiba di ruang baca yang sepi, hanya suara angin yang berhembus pelan lewat jendela kecil di sudut ruangan yang terdengar.
Rendi sudah terduduk di kursi kayu dekat jendela, tangannya menyangga dagu. Suara napas berat yang terhembus dari dadanya terdengar jelas saat ia menatap jauh ke luar, matanya terlihat kosong. "Aaagh! Aku nggak ngerti apa-apa!" serunya mendalam, suara rambut yang diacak-acak menambah kesan frustrasi yang sedang dirasakannya.
Maya yang baru duduk memiringkan kepala, bingung dengan perkataan Rendi. "Apanya yang nggak ngerti? Polisi kan bilang itu serangan teroris. Udah jelas, kan?" tanyanya dengan nada yang mencoba mengingat kejadian itu.
Rendi memutar badan, menatapnya tajam. "Masa kamu percaya omongan itu?" suaranya tiba-tiba berubah tajam. "Coba pikir. Orang-orang di candi yang kau ceritakan itu tiba-tiba menghilang, terus polisi nutup kasus ini kayak nggak ada apa-apa. Dan di sana ada orang lain yang punya kekuatan kayak kamu, apalagi nggak cuman satu orang. Kamu nggak merasa itu aneh?" Teriakannya menggetarkan udara yang sunyi di ruang baca itu.
Maya menggigit bibir bawahnya, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Rendi. "Iya sih, tapi… terus kita bisa apa?" jawabnya, suaranya terdengar ragu.
Rendi mendesah panjang, suara napasnya yang berat terdengar jelas di antara heningnya ruangan. "Dengerin aku. Mulai sekarang, kamu harus hati-hati kalau ketemu orang asing."
"Kenapa?" tanya Maya polos.
Rendi menatapnya serius, suaranya menurun menjadi bisikan. "Kamu udah nunjukin kekuatanmu di depan orang-orang itu dan Pak Edi, dia nggak muncul di berita. Nggak mungkin dia selamat dari tendanganmu. Jadi, pasti ada yang nutupin semuanya. Cepat atau lambat, mereka bakal cari kamu."
Maya merasa perutnya sedikit mulas mendengar itu, suara napasnya yang sedikit tercekat memberi tanda kegelisahannya. "Tapi… kan ada orang bawa tombak itu. Dia yang nolong kita, kan?"
"Mungkin. Tapi kita nggak tahu siapa dia sebenarnya. Dia bisa jadi temen, tapi juga bisa jadi musuh. Sampai kita tahu pasti, lebih baik kamu berhati-hati," jawab Rendi, matanya penuh kewaspadaan.
Percakapan itu terus berlanjut hingga suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Suster Evlin muncul di depan pintu ruang baca dengan senyum lembutnya, suara pintu yang terayun pelan mengakhiri percakapan mereka. "Maya, Rendi! Jangan terlalu lama, ya. Kalian butuh istirahat," katanya dengan penuh perhatian.
Rendi berdiri sambil menghela napas. "Yaudah, ya. Kita bahas lagi nanti kalau sempat."
Maya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Keduanya keluar dari ruang baca bersama. Saat mencapai lorong, suara langkah kaki mereka beriringan, namun ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka berpisah; Rendi menuju kamarnya, sementara Maya berjalan pelan kembali ke kamarnya.
Setibanya di kamar, Maya duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela. Dari sana, suara tawa dan teriakan anak-anak yang bermain terdengar riang. Namun, kali ini Maya tidak ikut tersenyum. Pikirannya masih berat, bayangan tentang kejadian di candi terus menghantuinya, menciptakan rasa cemas yang tak kunjung hilang. Dengan helaan napas panjang, ia akhirnya merebahkan tubuh di tempat tidur, mencoba menghilangkan kegelisahan itu meski hanya untuk sementara.